Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

MK: Penghapusan Presidential Threshold Bisa Cegah Pilpres Calon Tunggal Lawan Kotak Kosong

Devi Harahap
02/1/2025 20:30
MK: Penghapusan Presidential Threshold Bisa Cegah Pilpres Calon Tunggal Lawan Kotak Kosong
Wakil Ketua MK Saldi Isra.(Dok. Antara)

MAHKAMAH Konstitusi (MK) menyatakan bahwa jika pengaturan presidential threshold terus dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden atau pilpres akan terjebak dengan calon tunggal melawan kotak kosong.

Wakil Ketua MK Saldi Isra, saat membacakan pertimbangan hukum Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 menjelaskan kecenderungan tersebut, paling tidak dapat dilihat dalam fenomena pemilihan kepala daerah yang dari waktu ke waktu semakin bergerak ke arah munculnya calon tunggal atau pemilihan dengan kotak kosong.

“Artinya, menurut Mahkamah, membiarkan atau mempertahankan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu berpeluang atau berpotensi terhalangnya pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat dengan menyediakan banyak pilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden,” ujar Saldi di Gedung MK pada Kamis (2/1)

Jika hal itu terjadi, kata Saldi, maka makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser dari salah satu tujuan yang hendak dicapai dari perubahan konstitusi, yaitu menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan demokrasi.

Selain itu, Saldi menegaskan bahwa sekalipun norma presidential threshold dalam Pasal 222 UU Pemilu telah dinyatakan inkonstitusional, sebagai negara dengan sistem presidensial yang dalam praktik tumbuh dalam balutan model kepartaian majemuk (multi-party system), partai politik tetap harus memperhitungkan potensi jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden.

“Agar jumlah pasangan calon sama dengan jumlah partai politik peserta pemilu. Semua partai politik yang telah dinyatakan sebagai peserta pemilu pada periode yang bersangkutan atau saat penyelenggaraan pemilu berlangsung, dalam revisi UU Pemilu, pembentuk undang-undang, dapat mengatur agar tidak muncul pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan jumlah yang terlalu banyak,” ujarnya.

Jika calon yang muncul melebihi jumlah partai politik yang ada, menurut MK hal itu dapat berpotensi merusak hakikat pelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat.

Mahkamah juga mempertimbangkan bahwa sekalipun secara konstitusional terdapat ketentuan Pasal 6A ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang pada pokoknya telah mengantisipasi kemungkinan terjadinya pemilu presiden dan wakil presiden putaran kedua (second round),

“Jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden yang terlalu banyak belum menjamin berdampak positif bagi perkembangan dan keberlangsungan proses dan praktik demokrasi presidensial Indonesia,” kata Saldi.

Dalam Putusan ini, Mahkamah juga memberikan pedoman bagi pembentuk UU untuk melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering) agar tidak muncul pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan jumlah yang terlalu banyak dengan memperhatikan beberapa hal.

“Pertama, semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Kedua, pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional,” ujar Saldi.

Ketiga, kata Saldi, dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan partai politik peserta pemilu tersebut tidak menyebabkan dominasi partai politik atau gabungan partai politik sehingga menyebabkan terbatasnya pasangan calon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih.

“Keempat, partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya,” jelas Saldi.

Kelima, lanjut Saldi, perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk perubahan UU Pemilu melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian (concern) terhadap penyelenggara pemilu termasuk partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation). (Z-9)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri Rosmalia
Berita Lainnya