Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

Tangis dan Nyanyian Warnai Pledoi Sri Wahyumi

Abdillah Muhammad Marzuqi
02/12/2019 21:04
Tangis dan Nyanyian Warnai Pledoi Sri Wahyumi
Sri Wahyumi Maria Manalip(MI/ Pius Erlangga)

BERPAKAIAN putih, mantan Bupati Kepulauan Talaud Sri Wahyumi Maria Manalip duduk di kursi pesakitan. Tangan kanannya erat memegang pengeras suara.

Saat itu, Wahyumi tengah membaca nota pembelaan di Pengadilan Tipikor Jakarta (12/2). Ia dituntut hukuman pidana 7 tahun dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan penjara atas dugaan kasus suap terkait pekerjaan revitalisasi Pasar Lirung dan Pasar Beo tahun anggaran 2019 di Kabupaten Kepulauan Talaud. Ia juga diduga menerima gratifikasi atas jabatannya.

"Tujuh tahun penjara ini sangat memberatkan bagi saya dan sungguh tidak adil. Sepertinya saya ini sudah dianggap melakukan kejahatan luar biasa bagi masyarakat dan daerah yang saya pimpin. Saya dianggap penjahat yang berbahaya bagi negara," ucap Sri Wahyumi.

Ia juga mempertanyakan tuduhan dan dakwaan yang menjeratnya. Ia merasa telah bekerja keras membangun Indonesia dari ujung perbatasan. Ujung-ujungnya, imbalan yang didapatnya adalah penjara.

"Apakah tuntutan ini adalah imbalan atas kerja keras saya yang selama ini membangun Indonesia dari ujung perbatasan? Apakah tuntutan ini imbalan bagi saya yang mengangkat harkat dan martabat orang di perbatasan?" ujarnya mempertanyakan.

Wahyumi juga mempertanyakan hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik.

"Apakah saya menggunakan jabatan politik saya untuk menyengsarakan masyarakat Talaud dan merugikan negara sehingga saya dituntut dengan hukiman tambahan yakni mencabut hak politik. Sungguh ini sangat tidak manusiawi dan ini adalah pembunuhan karakter bagi saya," tegasnya.

Dalam pledoi berjudul PDKT Berujung OTT; Hadiah Diakhir Pengabdian, Wahyumi juga mengungkapkan kejanggalan saat terjadinya operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK. Ia mengaku tidak ada satupun barang bukti sebagaimana yang dituduhkan.

"Anehnya saat saya ditangkap KPK saat OTT, kondisi saat jtu tidak ada satupun barang bukri di tangan saya. Dan saya sedang bekerja normal di Kantor Bupati. Bagaimana ini bisa didefinisikan melakuian OTT tanpa bukti," lanjutnya.

Wahyumi juga menduga KPK bernafsu dan bersemangat menangkapnya atas dasar rumor negatif. Sehingga OTT terkesan terburu-buru.

Terkait dengan tuduhan gratifikasi, Wahyumi mengatakan bahwa hadiah jam tangan dari pengusaha Bernard Hanafi Kalalo adalah hadiah ulang tahun. Lagi pula, ia tidak merasa menerima jam tersebut sampai perkara ini disidangkan.

Ia juga mengungkit fakta persidangan sebelumnya bahwa percakapannya via telefon dengan Benhur maupun Bernard tak pernah bicara fee 10% proyek Pasar Beo dan Pasar Linrung. Wahyumi juga mengaku pernah menggunakan perangkat komunikasi satelit meski tidak berfungsi. Ia berniat mengembalikan barang tersebut pada Bernard sekaligus melapor ke KPK.

"Ini kah perlakukan yang adil bagi saya selaku warga negara Indonesia?" tandasnya.

Sebelum mengakhiri pledoi, Wahyumi juga mengungkapkan keinginannya untuk pulang ke kampung halaman. Ia mengaku rindu pada keluarga dan memungkasi pledoi itu dengan lagu Di Doa Ibuku Namaku Disebut. Seolah tegar, ia lalu berjalan pelan ke meja majelis hakim untuk menyerahkan nota pembelaan pribadinya. (OL-8)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Polycarpus
Berita Lainnya