Headline

Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.

Fokus

F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.

Bahlul di Raja Ampat

10/6/2025 05:00
Bahlul di Raja Ampat
Ade Alawi Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

PERJUANGAN mengusir penjajah lebih mudah ketimbang melawan bangsa sendiri.

Pernyataan proklamator Bung Karno itu masih relevan ketika kita melihat betapa sulitnya melawan kezaliman dari bangsa sendiri. Memang, tak sulit melawan penjajah, bangsa Indonesia bisa kompak merapatkan barisan mengibarkan panji perlawanan meskipun bermodal bambu runcing. Kaum penjajah menjadi common enemy rakyat yang harus ditumpas.

Namun, selepas kemerdekaan yang susah payah diraih, mengorbankan jiwa, raga, harta, dan sebagainya, penjajahan dalam bentuk lain masih muncul, seperti penegakan hukum yang tebang pilih, padahal Indonesia sudah menyatakan sebagai negara hukum sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.

Alih-alih bangsa ini merasa nyaman hidup di negara yang berdasarkan rechtsstaat, hingga kemerdekaan memasuki usia 80 tahun, bangsa ini masih mengalami kezaliman dalam perkara hukum.

Hukum masih milik orang kaya, orang berpangkat, dan orang yang memiliki jabatan penting. Mereka bisa mengatur hukum sesuka hati. Ibarat lampu lalu lintas, bukannya patuh pada lalu lintas, justru mereka memindahkan lampu lalu lintasnya, bahkan mungkin membuangnya ke semak-semak.

Politik penyanderaan pun dimainkan sekadar untuk membungkam lawan-lawan politik, bukan untuk kepentingan law enforcement. Sejatinya, prinsip negara hukum ialah supremasi hukum, pemisahan kekuasaan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif), perlindungan hak asasi manusia, dan imparsialitas peradilan.

Tak hanya ranah hukum yang menurut band Sukatani harus 'bayar, bayar', pengelolaan sumber daya alam yang semrawut sejak Orde Baru sampai sekarang ialah kezaliman yang harus diakhiri.

Pengelolaan sumber daya alam seharusnya mengacu kepada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Selama Orde Baru (1967-1998) Indonesia kehilangan hutan (deforestasi) seluas 40 juta hektare untuk beragam kepentingan. Deforestasi dan kerusakan hutan itu berdampak pada kerusakan ekosistem, kehilangan keragaman hayati, gangguan hidrologi, dan peningkatan risiko banjir dan tanah longsor.

Rezim developmentalisme nan militeristis di bawah Jenderal Soeharto mengedepankan pembangunan secara membabi buta. Kala itu, yang tidak setuju dengan kebijakan pembangunan diberi stigma 'antipembangunan', 'antipemerintah', 'subversif', 'PKI', dan sebagainya.

Dari trilogi pembangunan yang diusung Orde Baru aspek stabilitas nasional lebih mengemuka daripada pertumbuhan ekonomi, apalagi pemerataan ekonomi. Atas nama stabilitas nasional, penguasa merasa sah mengintimidasi, meneror, menculik, dan menghilangkan paksa seseorang.

Bukannya tercipta pemerataan ekonomi, melainkan ketimpangan ekonomi yang menganga. Hanya keluarga Soeharto dan kroni-kroni mereka yang hidup makmur hingga tujuh turunan, sementara rakyat hanya bisa gigit jari. "Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin," kata Rhoma Irama dalam lagu Indonesia (1981).

Selain musiknya mengasyikan, lirik yang sarat kritik sosial itu sesuai dengan aspirasi masyarakat. Lagu itu kemudian berkumandang ke seantero Nusantara. Namun, penguasa kebakaran jenggot. Akibatnya, Rhoma dan lagunya itu dicekal di mana-mana.

Ketimpangan ekonomi yang diangkat Rhoma Irama pada era Orde Baru masih berlangsung sampai era saat ini, pascareformasi. Era yang seharusnya mampu mengoreksi praktik lancung penyelenggaraan negara, seperti KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).

Ketimpangan ekonomi ini juga merupakan paradoks ketika kita melihat berlimpahnya sumber daya alam di Indonesia. Salah satunya di Pulau Papua, pulau yang saat ini terdiri dari enam provinsi, yaitu Papua, Papua Barat, Papua Barat Daya, Papua Tengah, Papua Selatan, dan Papua Pegunungan.

Pulau yang terletak di ujung timur Indonesia tak diragukan lagi memiliki sumber daya alam yang melimpah, yaitu emas, tembaga, batu bara, nikel, minyak bumi, gas alam, flora dan fauna, dan satwa endemik.

Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2020 menyebutkan Papua memiliki tambang emas terbesar di Indonesia dengan luas mencapai 229.893,75 ha.

Ironisnya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tentang jumlah penduduk miskin di Indonesia pada periode Maret 2024, lima provinsi termiskin didominasi dari Tanah Papua, yaitu Papua Pegunungan, Papua Tengah, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Papua Barat Daya.

Kini mata tertuju ke Kabupaten Kepulauan Raja Ampat, Provinsi Papua Barat.

Wilayah yang sering mendapat julukan 'sepenggal surga' atau the last paradise (surga terakhir) itu memiliki 610 pulau, dengan empat pulau besar: Salawati, Batanta, Waigeo, dan Misool.

Raja Ampat terletak di jantung pusat segitiga karang dunia (coral triangle) dan merupakan pusat keanekaragaman hayati laut tropis terkaya di dunia. Belum lagi keanekaragaman terumbu karang, hamparan padang lamun, hutan mangrove, dan pantai tebing berbatu yang indah.

Alhasil, Raja Ampat ditetapkan sebagai global geopark oleh UNESCO karena memiliki warisan geologi, ekologi, dan budaya lokal yang sangat tinggi.

Kini, ikon wisata Indonesia yang mendunia itu diguncang isu kerusakan lingkungan oleh aktivitas pertambangan nikel menyusul hasil invetigasi Greenpeace Indonesia. Tagar #SaveRajaAmpat pun menguar di jagat media sosial.

Anehnya, sejumlah menteri Kabinet Merah Putih bersilang pendapat. Publik dilanda kebingungan, pernyataan pembantu Presiden Prabowo mana yang bisa dipegang, apalagi yang mengeksploitasi tambang nikel di Raja Ampat ialah anak usaha BUMN.

Padahal, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil melarang penambangan di pulau kecil. Setali tiga uang, sami mawon, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-XXI/2023 juga melarang hal yang sama.

Hukum sudah terang benderang melarang penambangan di Raja Ampat. Namun, kuasa gelap demi fulus dan/atau jabatan sering kali membuat orang melakukan tindakan bahlul (bodoh, KBBI) untuk kepentingan sesaat. Mereka nekat melanggar hukum, tak malu menabrak etika, termasuk etika lingkungan.

Kiranya perlu disimak filosofi leluhur Raja Ampat bahwa hutan ialah mama, laut ialah bapak, dan pesisir ialah anak. Upaya menyelamatkan Raja Ampat tak bisa ditawar-tawar lagi, tak bisa dinego, seperti halnya NKRI harga mati. Tabik!



Berita Lainnya
  • Superman Sungguhan

    25/7/2025 05:00

    'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.

  • Tom Lembong

    24/7/2025 05:00

    VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.

  • Tamparan Sahdan

    23/7/2025 05:00

    BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima

  • Keabadian Mahaguru

    22/7/2025 05:00

    IBARAT bunga layu sebelum berkembang, itulah sikap Rektor Universitas Gadjah Mada 2002-2007 Profesor Sofian Effendi terkait dengan dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.

  • Macan Kertas Pertimbangan MK

    21/7/2025 05:00

    ANDAI pemohon tidak meninggal dunia, kontroversi soal boleh-tidak wakil menteri (wamen) merangkap jabatan komisaris, termasuk merangkap pendapatan, bisa segera diakhiri.  

  • Debat Tarif Trump

    19/7/2025 05:00

    MANA yang benar: keputusan Amerika Serikat (AS) mengurangi tarif pajak resiprokal kepada Indonesia dengan sejumlah syarat merupakan keberhasilan atau petaka? 

  • Jokowi dan Agenda Besar

    18/7/2025 05:00

    PAK Jokowi, sapaan populer Joko Widodo, tampaknya memang selalu akrab dengan 'agenda besar'.

  • Obral Komisaris

    17/7/2025 05:00

    SANG fajar belum juga merekah sepenuhnya ketika ratusan orang memadati pelataran salah satu toko ritel di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (14/7).

  • Uni Eropa, Kami Datang...

    16/7/2025 05:00

    Bagi kita, kesepakatan itu juga bisa menjadi jembatan emas menuju kebangkitan ekonomi baru.

  • Aura Dika

    15/7/2025 05:00

    TUBUHNYA kecil, tapi berdiri gagah seperti panglima perang yang memimpin pasukan dari ujung perahu yang melaju kencang di atas sungai.

  • Gibran Tuju Papua Damai

    14/7/2025 05:00

    KESIGAPAN Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka patut diacungi dua jempol. Ia menyatakan kesiapannya untuk berkantor di Papua sesuai dengan instruksi Presiden Prabowo Subianto.  

  • Negosiasi Vietnam

    12/7/2025 05:00

    DIPLOMASI itu bukan cuma soal politik. Pun, diplomasi atau negosiasi dagang tidak melulu ihwal ekonomi. Diplomasi dan negosiasi juga soal sejarah, kebudayaan, dan bahkan seni.

  • Akhirnya Komisaris

    11/7/2025 05:00

    PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.

  • Tiga Musuh Bansos

    10/7/2025 05:00

    BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.

  • Senjata Majal Investasi

    09/7/2025 05:00

    ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.

  • Beban Prabowo

    08/7/2025 05:00

    Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.