Headline

Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.

Bahlul di Raja Ampat

10/6/2025 05:00
Bahlul di Raja Ampat
Ade Alawi Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

PERJUANGAN mengusir penjajah lebih mudah ketimbang melawan bangsa sendiri.

Pernyataan proklamator Bung Karno itu masih relevan ketika kita melihat betapa sulitnya melawan kezaliman dari bangsa sendiri. Memang, tak sulit melawan penjajah, bangsa Indonesia bisa kompak merapatkan barisan mengibarkan panji perlawanan meskipun bermodal bambu runcing. Kaum penjajah menjadi common enemy rakyat yang harus ditumpas.

Namun, selepas kemerdekaan yang susah payah diraih, mengorbankan jiwa, raga, harta, dan sebagainya, penjajahan dalam bentuk lain masih muncul, seperti penegakan hukum yang tebang pilih, padahal Indonesia sudah menyatakan sebagai negara hukum sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.

Alih-alih bangsa ini merasa nyaman hidup di negara yang berdasarkan rechtsstaat, hingga kemerdekaan memasuki usia 80 tahun, bangsa ini masih mengalami kezaliman dalam perkara hukum.

Hukum masih milik orang kaya, orang berpangkat, dan orang yang memiliki jabatan penting. Mereka bisa mengatur hukum sesuka hati. Ibarat lampu lalu lintas, bukannya patuh pada lalu lintas, justru mereka memindahkan lampu lalu lintasnya, bahkan mungkin membuangnya ke semak-semak.

Politik penyanderaan pun dimainkan sekadar untuk membungkam lawan-lawan politik, bukan untuk kepentingan law enforcement. Sejatinya, prinsip negara hukum ialah supremasi hukum, pemisahan kekuasaan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif), perlindungan hak asasi manusia, dan imparsialitas peradilan.

Tak hanya ranah hukum yang menurut band Sukatani harus 'bayar, bayar', pengelolaan sumber daya alam yang semrawut sejak Orde Baru sampai sekarang ialah kezaliman yang harus diakhiri.

Pengelolaan sumber daya alam seharusnya mengacu kepada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Selama Orde Baru (1967-1998) Indonesia kehilangan hutan (deforestasi) seluas 40 juta hektare untuk beragam kepentingan. Deforestasi dan kerusakan hutan itu berdampak pada kerusakan ekosistem, kehilangan keragaman hayati, gangguan hidrologi, dan peningkatan risiko banjir dan tanah longsor.

Rezim developmentalisme nan militeristis di bawah Jenderal Soeharto mengedepankan pembangunan secara membabi buta. Kala itu, yang tidak setuju dengan kebijakan pembangunan diberi stigma 'antipembangunan', 'antipemerintah', 'subversif', 'PKI', dan sebagainya.

Dari trilogi pembangunan yang diusung Orde Baru aspek stabilitas nasional lebih mengemuka daripada pertumbuhan ekonomi, apalagi pemerataan ekonomi. Atas nama stabilitas nasional, penguasa merasa sah mengintimidasi, meneror, menculik, dan menghilangkan paksa seseorang.

Bukannya tercipta pemerataan ekonomi, melainkan ketimpangan ekonomi yang menganga. Hanya keluarga Soeharto dan kroni-kroni mereka yang hidup makmur hingga tujuh turunan, sementara rakyat hanya bisa gigit jari. "Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin," kata Rhoma Irama dalam lagu Indonesia (1981).

Selain musiknya mengasyikan, lirik yang sarat kritik sosial itu sesuai dengan aspirasi masyarakat. Lagu itu kemudian berkumandang ke seantero Nusantara. Namun, penguasa kebakaran jenggot. Akibatnya, Rhoma dan lagunya itu dicekal di mana-mana.

Ketimpangan ekonomi yang diangkat Rhoma Irama pada era Orde Baru masih berlangsung sampai era saat ini, pascareformasi. Era yang seharusnya mampu mengoreksi praktik lancung penyelenggaraan negara, seperti KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).

Ketimpangan ekonomi ini juga merupakan paradoks ketika kita melihat berlimpahnya sumber daya alam di Indonesia. Salah satunya di Pulau Papua, pulau yang saat ini terdiri dari enam provinsi, yaitu Papua, Papua Barat, Papua Barat Daya, Papua Tengah, Papua Selatan, dan Papua Pegunungan.

Pulau yang terletak di ujung timur Indonesia tak diragukan lagi memiliki sumber daya alam yang melimpah, yaitu emas, tembaga, batu bara, nikel, minyak bumi, gas alam, flora dan fauna, dan satwa endemik.

Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2020 menyebutkan Papua memiliki tambang emas terbesar di Indonesia dengan luas mencapai 229.893,75 ha.

Ironisnya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tentang jumlah penduduk miskin di Indonesia pada periode Maret 2024, lima provinsi termiskin didominasi dari Tanah Papua, yaitu Papua Pegunungan, Papua Tengah, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Papua Barat Daya.

Kini mata tertuju ke Kabupaten Kepulauan Raja Ampat, Provinsi Papua Barat.

Wilayah yang sering mendapat julukan 'sepenggal surga' atau the last paradise (surga terakhir) itu memiliki 610 pulau, dengan empat pulau besar: Salawati, Batanta, Waigeo, dan Misool.

Raja Ampat terletak di jantung pusat segitiga karang dunia (coral triangle) dan merupakan pusat keanekaragaman hayati laut tropis terkaya di dunia. Belum lagi keanekaragaman terumbu karang, hamparan padang lamun, hutan mangrove, dan pantai tebing berbatu yang indah.

Alhasil, Raja Ampat ditetapkan sebagai global geopark oleh UNESCO karena memiliki warisan geologi, ekologi, dan budaya lokal yang sangat tinggi.

Kini, ikon wisata Indonesia yang mendunia itu diguncang isu kerusakan lingkungan oleh aktivitas pertambangan nikel menyusul hasil invetigasi Greenpeace Indonesia. Tagar #SaveRajaAmpat pun menguar di jagat media sosial.

Anehnya, sejumlah menteri Kabinet Merah Putih bersilang pendapat. Publik dilanda kebingungan, pernyataan pembantu Presiden Prabowo mana yang bisa dipegang, apalagi yang mengeksploitasi tambang nikel di Raja Ampat ialah anak usaha BUMN.

Padahal, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil melarang penambangan di pulau kecil. Setali tiga uang, sami mawon, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-XXI/2023 juga melarang hal yang sama.

Hukum sudah terang benderang melarang penambangan di Raja Ampat. Namun, kuasa gelap demi fulus dan/atau jabatan sering kali membuat orang melakukan tindakan bahlul (bodoh, KBBI) untuk kepentingan sesaat. Mereka nekat melanggar hukum, tak malu menabrak etika, termasuk etika lingkungan.

Kiranya perlu disimak filosofi leluhur Raja Ampat bahwa hutan ialah mama, laut ialah bapak, dan pesisir ialah anak. Upaya menyelamatkan Raja Ampat tak bisa ditawar-tawar lagi, tak bisa dinego, seperti halnya NKRI harga mati. Tabik!



Berita Lainnya
  • Maaf

    14/8/2025 05:00

    KATA maaf jadi jualan dalam beberapa waktu belakangan. Ia diucapkan banyak pejabat dan bekas pejabat dengan beragam alasan dan tujuan.

  • Maksud Baik untuk Siapa?

    13/8/2025 05:00

    ADA pejabat yang meremehkan komunikasi. Karena itu, tindakan komunikasinya pun sembarangan, bahkan ada yang menganggap asal niatnya baik, hasilnya akan baik.

  • Ambalat dalam Sekam

    12/8/2025 05:00

    BERBICARA penuh semangat, menggebu-gebu, Presiden Prabowo Subianto menegaskan akan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

  • Blokir Rekening di Ujung Lidah

    11/8/2025 05:00

    KEGUNDAHAN Ustaz Das’ad Latif bisa dipahami. Ia gundah karena rekeningnya diblokir.

  • Resonansi dari Pati

    09/8/2025 05:00

    Pemimpin dianggap berhasil bila ia mampu memainkan peran sebagai pelayan bagi rakyat.

  • Semakin Dilarang semakin Berkibar

    08/8/2025 05:00

    FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.

  • Menerungku Silfester

    07/8/2025 05:00

    KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.

  • Harapan dalam Angka

    06/8/2025 05:00

    PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future 

  • Ampun Dah

    05/8/2025 05:00

    USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.

  • Amnesti tanpa Amnesia

    04/8/2025 05:00

    BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.  

  • Abolisi, Amnesti, Rekonsiliasi

    02/8/2025 05:00

    PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.

  • Belajar dari Vietnam

    01/8/2025 05:00

    KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,

  • Insinuasi Jokowi

    31/7/2025 05:00

    ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.

  • Masih Rojali-Rohana

    30/7/2025 05:00

    TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.

  • Gurita Serakahnomics

    29/7/2025 05:00

    FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.

  • Destinasi Wisata Proyek Mangkrak

    28/7/2025 05:00

    JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.