Headline
Putusan MK harus jadi panduan dalam revisi UU Pemilu.
Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.
VAKSIN herpes zoster (shingles) mungkin dapat mencegah atau menunda terjadinya demensia, menurut data baru yang menarik perhatian.
Dalam sebuah studi yang diterbitkan pada 23 April di jurnal JAMA, para peneliti menganalisis rekam medis elektronik dari seluruh Australia. Mereka menemukan lansia yang memenuhi syarat untuk menerima vaksin herpes zoster gratis secara signifikan lebih kecil kemungkinannya untuk didiagnosis menderita demensia dalam 7,4 tahun berikutnya dibandingkan mereka yang sedikit terlalu tua untuk memenuhi syarat program vaksinasi tersebut.
Temuan ini mendukung hipotesis viral terhadap penyakit Alzheimer, yang menyatakan infeksi virus berkontribusi terhadap perkembangan kondisi ini. Secara khusus, hipotesis ini mengarah pada kelompok virus herpes, termasuk virus varicella-zoster, penyebab cacar air dan herpes zoster.
Jika dikonfirmasi melalui penelitian tambahan, hasil studi ini menunjukkan alat yang efektif dan berbiaya rendah untuk mengurangi risiko demensia mungkin sudah tersedia.
“Sulit membayangkan ada hal lain selain vaksin yang dapat menjelaskan efek perlindungan yang kuat ini,” ujar Dr. Sten Vermund, dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat di Universitas South Florida, yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut, kepada Live Science melalui email.
Jika seseorang pernah terkena cacar air, virus varicella-zoster bisa tetap tidak aktif di sistem saraf selama beberapa dekade sebelum aktif kembali sebagai herpes zoster. Kemampuan untuk tetap tersembunyi dan kemudian “terbangun kembali” adalah ciri khas dari virus herpes.
Vaksin herpes zoster membantu membangun kekebalan dan mencegah reaktivasi virus, sehingga sangat efektif dalam mencegah herpes zoster dan komplikasinya, seperti nyeri saraf jangka panjang, kehilangan penglihatan, dan risiko infeksi kulit bakteri.
Studi-studi sebelumnya menunjukkan orang lanjut usia yang telah divaksinasi herpes zoster cenderung memiliki tingkat demensia yang lebih rendah. Namun, studi tersebut memiliki kelemahan utama: orang yang memilih untuk divaksinasi biasanya lebih sadar kesehatan, memiliki pola makan sehat, dan rutin berolahraga. Jadi, meskipun ada korelasi, tidak dapat disimpulkan vaksinasilah penyebabnya.
Uji coba klinis berskala besar secara acak akan menjadi cara terbaik untuk membuktikan apakah vaksin benar-benar melindungi dari demensia, tetapi uji coba semacam itu mahal dan berisiko secara etis karena menahan vaksin dari sebagian peserta.
Dr. Logan DuBose, pendiri Olera.care, mengatakan, “Akan lebih baik jika ada studi acak dan terkontrol yang membandingkan vaksin herpes dengan plasebo, daripada studi observasional retrospektif seperti ini. Namun, karena vaksin terbukti efektif melawan herpes zoster, ada tantangan etis untuk tidak memberikannya kepada sebagian orang.”
Peneliti studi baru ini mengambil pendekatan berbeda. “Yang membuat studi kami istimewa adalah kami memanfaatkan skenario yang sangat mirip dengan uji coba acak,” kata penulis senior Dr. Pascal Geldsetzer dari Universitas Stanford.
Program vaksinasi herpes zoster diluncurkan di Australia pada 1 November 2016. Program ini memberikan vaksin gratis kepada orang berusia 70–79 tahun. Mereka yang berusia tepat 80 tahun sebelum program dimulai tidak memenuhi syarat, sementara yang berusia 80 tahun tepat setelahnya memenuhi syarat.
“Seperti dalam uji coba klinis, kami memiliki kelompok yang memenuhi syarat vaksin dan yang tidak, dan mereka pada dasarnya sangat mirip — satu-satunya perbedaan adalah mereka lahir beberapa hari lebih awal atau lebih lambat,” kata Geldsetzer.
Para peneliti menganalisis data dari lebih dari 101.200 individu di 65 praktik medis umum di Australia, dengan fokus pada mereka yang lahir tepat sebelum dan sesudah 2 November 1936 — tanggal batas kelayakan vaksinasi.
Selama 7,4 tahun masa tindak lanjut, tingkat demensia pada kelompok yang memenuhi syarat vaksinasi lebih rendah 1,8 poin persentase dibandingkan yang tidak memenuhi syarat. Secara keseluruhan, 3,7% dari kelompok yang memenuhi syarat didiagnosis demensia, dibandingkan 5,5% dari kelompok yang tidak.
Efek ini tidak ditemukan pada kondisi kronis lainnya seperti tekanan darah tinggi, penyakit jantung, atau diabetes — menunjukkan bahwa vaksin herpes zoster memberikan efek perlindungan khusus terhadap demensia. Tidak ada pula peningkatan dalam layanan pencegahan lain, seperti skrining kanker atau vaksin flu tahunan di antara yang memenuhi syarat vaksin — semakin memperkuat kemungkinan bahwa perbedaan demensia ini disebabkan oleh vaksin itu sendiri.
Geldsetzer dan timnya sebelumnya melakukan analisis serupa di Wales dan menemukan bahwa vaksin herpes zoster dikaitkan dengan penurunan 20% tingkat diagnosis demensia baru pada individu yang divaksinasi.
“Saya awalnya berpikir bahwa perbedaannya hanya sedikit, hanya 1,8% lebih kecil kemungkinannya untuk didiagnosis,” kata DuBose. “Namun, dua studi yang dirancang baik dan menunjukkan hal yang sama membuat temuan ini sangat meyakinkan.”
DuBose mencatat bahwa studi ini bisa diperluas dengan meneliti apakah efek vaksin berbeda tergantung pada latar belakang genetik seseorang. Misalnya, varian gen APOE4 dikenal terkait dengan demensia, dan efek vaksin bisa saja berbeda berdasarkan faktor genetik ini.
Diperlukan lebih banyak penelitian untuk memahami mekanisme perlindungan vaksin terhadap demensia. Salah satu teori menyebutkan bahwa reaktivasi virus varicella-zoster dapat menyebabkan kerusakan otak melalui berbagai mekanisme, termasuk penumpukan protein abnormal dan peradangan kronis. Dengan mencegah reaktivasi, vaksin mungkin mencegah kerusakan tersebut.
Hipotesis lain menyatakan bahwa vaksin bekerja bukan dengan menargetkan virus secara langsung, melainkan dengan menyesuaikan sistem kekebalan tubuh sehingga memperlambat atau mengubah jalannya perkembangan demensia.
Kini, Geldsetzer dan timnya sedang mencari dana dari pihak swasta dan filantropis untuk meluncurkan uji klinis resmi guna menguji kemampuan vaksin herpes zoster dalam melindungi dari demensia. (Live Science/Z-2)
Sebuah studi terbaru mengungkapkan vaksin herpes zoster dapat menurunkan risiko demensia hingga 20% dalam tujuh tahun setelah vaksinasi.
Nyeri saraf jangka panjang atau nyeri pascaherpes (NPH) pada lokasi ruam cacar api dapat berlangsung berbulan-bulan hingga bertahun-tahun setelah cacar api sembuh
Faktor hormonal pada perempuan menjelang menstruasi atau setelah menstruasi kerap memiliki imunitas yang menurun sehingga mudah sakit dan tertular cacar api.
Berdasarkan data Maret 2025, cakupan imunisasi dewasa di Indonesia saat ini masih sangat rendah hanya 0,5 per 1.000 populasi.
Harrison Ford terpaksa membatalkan kehadirannya sebagai presenter di Oscar 2025 setelah didiagnosis menderita herpes zoster.
DOKTER spesialis Kejiwaan Tiur Sihombing mengungkapkan mencegah demensia alzheimer bisa dilakukan dengan cara memperbaiki kualitas tidur.
Menciptakan pola tidur melalui sleep hygiene bagi lansia dinilai dapat memberikan istirahat yang cukup dan menjaga fungsi otak.
Dilansir dari The Atlantic, pareidolia merupakan fenomena psikologi saat setiap orang dapat melihat bentuk tertentu pada gambar biasa, namun persepsinya cenderung berbeda dengan orang lain.
Pikun dini atau demensia, yang sebelumnya hanya dikaitkan dengan usia lanjut, kini semakin banyak ditemukan pada generasi milenial dan Gen Z
Hipertensi yang tidak terkelola dengan baik terbukti meningkatkan risiko terjadinya demensia.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved