Headline
Serangan Israel ke Iran menghantam banyak sasaran, termasuk fasilitas nuklir dan militer.
Serangan Israel ke Iran menghantam banyak sasaran, termasuk fasilitas nuklir dan militer.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
BISPHENOL-A (BPA), zat kimia yang sering ditemukan pada berbagai barang di sekitar kita, kini kembali menjadi sorotan terkait potensi risiko kesehatan.
BPA tidak hanya terdapat pada kemasan pangan, tetapi juga pada thermal paper yang digunakan pada struk belanja, peralatan olahraga, dan peralatan medis seperti selang kateter dan tambalan gigi.
Namun, seberapa besar risiko kesehatan yang ditimbulkan oleh BPA sebenarnya?
Baca juga : 8 Efek Samping Mengonsumsi Buah Alpukat Secara Berlebihan
Guru Besar bidang ilmu Rekayasa Proses Pengemasan Pangan dan Teknologi Pangan IPB Nugraha Edhi Suyatma menjelaskan bahwa BPA merupakan bahan baku utama dalam pembuatan plastik polikarbonat dan epoksi.
Setelah diproses menjadi polikarbonat, kandungan BPA pada material ini hampir tidak ada dan yang tersisa pun tidak mudah larut.
“BPA diproses bersama bahan lain untuk menghasilkan polikarbonat yang kuat. Kandungan BPA dalam polikarbonat yang telah jadi sudah sangat minim dan tidak mudah lepas,” paparnya.
Baca juga : 7 Bahaya Terlalu Sering Minum Kopi, Bisa Osteoporosis
Lebih lanjut, Nugraha menjelaskan bahwa sisa BPA pada kemasan polikarbonat atau epoksi hanya dapat bermigrasi dalam kondisi ekstrem.
“Polikarbonat sangat tahan panas dengan titik leleh mencapai 200 derajat Celsius. Selama proses distribusi, kemasan tidak akan terkena suhu lebih dari 50 derajat Celsius. Oleh karena itu, risiko migrasi BPA sangat kecil,” jelasnya.
Sementara itu, Ahli Endokrinologi dan Metabolik Laurentius Aswin Pramono menegaskan bahwa pedoman dunia kedokteran dan kesehatan saat ini menggunakan pendekatan evidence-based medicine atau kedokteran berbasis bukti.
Baca juga : Dampak Mikroplastik pada Kesehatan, Mengapa Kita Harus Peduli?
Tingkat tertinggi dalam pembuktian ilmiah adalah studi meta-analisis, yang mengompilasi berbagai hasil penelitian dan menganalisisnya untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas.
“Studi meta-analisis belum menunjukkan bukti yang konsisten bahwa BPA menyebabkan risiko kesehatan seperti diabetes atau kanker pada manusia. Sebagian besar penelitian hanya dilakukan pada hewan coba dengan dosis yang sangat besar,” jelas nya.
Menurut Aswin, BPA tidak tercantum dalam panduan kesehatan manapun dan belum ada konsensus ilmiah yang mengaitkan BPA dengan penyakit serius.
Baca juga : Jangan Disepelekan, ini 11 Bahaya Sering Makan Gorengan
“Belum ada bukti ilmiah yang kuat yang menunjukkan bahwa BPA dapat menyebabkan diabetes atau kanker pada manusia. Penelitian yang ada umumnya dilakukan di laboratorium dengan hewan coba,” imbuhnya.
Hal serupa disampaikan oleh Nugraha. Ia mencatat bahwa studi-studi terkait BPA belum menunjukkan hasil yang konsisten dan belum cukup kuat.
Penelitian di Makassar menunjukkan bahwa uji migrasi BPA pada kemasan pangan berada dalam rentang 0,0001 – 0,0009 mg/kg, jauh di bawah batasan BPOM sebesar 0,05 mg/kg.
Selain itu, penelitian dari ITB menunjukkan bahwa BPA tidak terdeteksi pada galon dari beberapa merek yang umum dikonsumsi di Indonesia.
“Temuan ini menunjukkan bahwa BPA tidak terdeteksi bahkan dengan alat yang paling sensitif sekalipun,” ujarnya.
Tolerable Daily Intake (TDI) untuk BPA yang ditetapkan adalah 4 mg/kg berat badan. Jadi, untuk seseorang dengan berat badan 75 kg, batas asupan harian BPA adalah 300 mg.
“Jika air minum terpapar oleh BPA, kadarnya sangat rendah. Anda perlu mengonsumsi 10.000 liter air sekaligus untuk mencapai kadar BPA yang melebihi ambang batas aman, yang praktis mustahil dilakukan,” ujar Aswin.
Aswin juga menjelaskan bahwa tubuh kita secara alami memetabolisme berbagai zat kimia termasuk BPA. Zat ini dipecah oleh hati dan dikeluarkan melalui saluran pencernaan atau urin.
“BPA yang masuk ke dalam tubuh akan dimetabolisme oleh hati dan dibuang melalui saluran pencernaan atau ginjal,” jelasnya.
Diskusi ini menegaskan bahwa meskipun BPA sering menjadi perhatian publik, bukti ilmiah yang ada saat ini belum cukup untuk mengkonfirmasi risiko kesehatan yang signifikan dari zat ini. (Z-10)
KOMUNITAS Konsumen Indonesia (KKI) menyoroti adanya upaya pengaburan fakta bahaya BPA melalui opini beberapa pakar.
Ahli kesehatan Ngabila Salaman memastikan bahwa kemasan pangan yang menggunakan Bisfenol A (BPA) masih aman dipakai.
POLEMIK mengenai Bisphenol-A (BPA) yang bisa sebabkan infertilitas, termasuk mikropenis pada pria disebut tidak terbukti kebenarannya.
SPESIALIS kandungan & kebidanan dari Tzu Chi Hospital, Ervan Surya menegaskan Bisphenol A (BPA) tak memengaruhi tingkat kesuburan seseorang.
Tindakan cepat dan tepat dapat membuat perbedaan signifikan dalam penanganan kecelakaan pada anak.
SAAT bayi tertidur tak jarang orangtua tidur di samping bayinya. Banyak orangtua yang memilih tidur bersama bayinya untuk memudahkan menyusui di malam hari.
MENGASUH bayi yang baru lahir memang menantang. Ada beberapa alat untuk meringankan pengasuhan bayi sehari-hari, seperti salah satunya baby bouncer.
IKATAN Dokter Anak Indonesia (IDAI) memperkirakan kasus (diabetes melitus) DM tipe 1 pada anak usia 12 hingga 18 tahun meningkat saat ini dengan kenaikan mencapai 70%.
Sebagian dari kita mungkin pernah membawa ponsel atau buku ke toilet, berharap memanfaatkan waktu untuk membaca artikel atau sekadar menggulir media sosial.
Memasak mie instan dengan air mentah dapat menimbulkan berbagai risiko kesehatan yang serius. Oleh karena itu, selalu pastikan untuk menggunakan air bersih dan aman
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved