Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
PERUBAHAN, khususnya di dunia pekerjaan, baik itu perubahan kepemimpinan maupun kebijakan perusahaan, dapat dianggap sebagai hal yang biasa terjadi. Kendati begitu, tidak semua orang bisa menghadapinya lalu merasa stres.
Menurut ahli saraf Dean Burnett, secara alamiah, otak tidak menyukai ketidakpastian akibat perubahan dan segala sesuatu yang tidak pasti berpotensi menjadi ancaman.
Sementara itu, penelitian yang dipublikasikan di jurnal Nature Communications itu menunjukkan orang sebenarnya mengalami
lebih banyak stres akibat ketidakpastian ini dibandingkan dengan perubahan itu sendiri
Baca juga : Studi HCC: Orang Indonesia dengan Emotional Eater 2,5 Kali Berisiko Stres
Lalu bagaimana cara menavigasi perubahan?
Menurut psikolog klinis Analisa Widyaningrum, melalui keterangan tertulis, dikutip Senin (19/2), perubahan dapat dinavigasi dengan cerdas secara emosi.
Kemampuan untuk mengolah emosi inilah yang dapat membantu seseorang melewati segala tantangan yang dihadapi dalam pekerjaan.
Baca juga : Sikap Bersyukur Terbukti Membantu Meredakan Stres
Kecerdasan emosional merupakan kemampuan manusia mengenali dan memahami emosinya lalu menggunakannya untuk mengelola diri sendiri dan hubungannya dengan orang lain.
"Mengolah hati dan perasaan memang bukan perkara mudah. Banyak hal yang tidak bisa dikendalikan yang dapat membuat seseorang tidak nyaman terhadap perubahan, namun bukan berarti membuat seseorang tersebut tidak kompeten. Penting bagi kita untuk memahami level kecerdasan emosi supaya kita bisa mengontrol perasaan dengan lebih baik," kata Analisa.
Menurut Analisa, kecerdasan emosi sangat penting dalam dunia kerja karena dapat meningkatkan kolaborasi.
Baca juga : Studi: Stres Pada Tingkat Tertentu Baik untuk Otak
Selain itu, dengan memiliki kecerdasan ini, karyawan juga mampu mengelola stres, tangguh menghadapi tantangan dan mengatasi ketidakpastian secara efisien sehingga kinerja menjadi lebih produktif, pencapaian target meningkat, dan bisa berkontribusi positif terhadap budaya perusahaan.
"Level kecerdasan emosi seseorang dapat terasa saat bekerja bersama orang tersebut. Bekerja dengan orang yang level kecerdasan emosinya tinggi, kita akan merasa lebih nyaman, tenang dan percaya diri. Hal ini karena orang tersebut memiliki kompetensi personal dan sosial yang baik," tutur Analisa.
Kompetensi personal yaitu mampu memahami emosi yang dimiliki atau self-awareness dan mampu mengendalikannya dalam situasi sulit serta tetap profesional saat bekerja atau self-management.
Baca juga : Atasi Stres dengan Meningkatkan Kualitas Tidur
Orang yang memiliki pemahaman emosi yang baik, dapat mengelola perasaannya untuk tidak berlarut-larut dalam kesedihan dan kekhawatiran. Dia bisa menerima perubahan dengan cepat dan memikirkan langkah ke depan.
Lalu, ia juga memiliki kompetensi sosial yaitu mampu memahami perasaan orang lain dan memiliki keterampilan mengelola hubungan dan membangun dinamika tim yang efektif.
"Sebaliknya, jika kita bekerja dengan orang yang level kecerdasan emosinya rendah, kita juga akan ikut terbawa merasakan sesuatu yang tidak nyaman, malas, bahkan cemas karena orang tersebut memancarkan aura serta emosi yang negatif," kata Analisa.
Baca juga : Bersikaplah Optimis jika ingin Berumur Panjang
Analisa mengatakan saat emotional brain seseorang merasakan sesuatu yang cukup dalam, rational brain-lah yang membalikkan keadaan dan membawanya kembali ke dunia nyata sehingga meskipun dia sedang merasa sedih, tidak nyaman, kecewa, dia tetap bangkit dan melanjutkan hidup.
Pada saat mengalami perubahan, seseorang boleh merasa tidak nyaman, panik, sedih, kecewa, tetapi tidak perlu berlarut-larut.
Menurut Analisa, semua orang yang mengalami perubahan dan mengalami hal yang tidak menyenangkan pasti akan mengalami syok, namun jika mereka memiliki kecerdasan emosi yang tinggi, maka bisa mengendalikan emosi tersebut dengan bijak.
Baca juga : Kotoran Telinga Ungkap Tingkat Stres
Analisa, yang akrab disapa Ana, mengatakan bahwa kecerdasan emosi adalah sesuatu yang bisa dilatih dan distimulus dengan regulasi diri.
Dia pun memberikan kiat untuk meregulasi perasaan sehari-hari agar orang-orang dapat menerima dan merangkul perubahan dengan baik:
Pertama, saat menghadapi sesuatu, amati dulu apa yang terjadi.
Baca juga : Kucing dan Anjing Bisa Kurangi Stres
Kedua, kenali emosi yang hadir, apakah marah, sedih, atau kecewa. Asah diri untuk melakukan rutinitas sederhana supaya kita bisa terkoneksi dengan emosi tersebut, misalnya tulis segala perasaan di notes atau cerita ke orang yang tepat.
Hal ini dapat membuat seseorang sadar emosi apa yang sedang hadir dalam dirinya.
Ketiga, terima dan kelola emosi tersebut dengan menerapkan mindfulness atau kesadaran penuh dan melakukan respons delay. Sebelum meluapkannya, hitung mundur 10 detik untuk memikirkan dengan matang apakah respons yang akan diberikan itu benar. Perlukah marah-marah? Menangis dan lainnya.
Baca juga : Anak Korban Perundungan Alami Peningkatan Risiko Masalah Kesehatan Mental
Keempat, cobalah untuk membuka pandangan lebih jauh lagi dan lakukan reframe. Pahami bahwa ini adalah tantangan yang harus dihadapi.
Semua orang bisa mengalami hal yang sama. Seseorang bisa memosisikan diri sebagai orang lain yang juga ikut merasakan perubahan. Inilah yang dapat membangun bonding dalam pekerjaan.
Kelima, ambil napas, ingat kembali tujuan jangka panjang sehingga apapun yang dihadapi, nantinya bisa mengatasinya dengan baik.
Baca juga : CarbonShare Academy Cetak Tenaga Kerja Bidang Berkelanjutan
"Navigasi perubahan itu bukan tentang menekan emosi yang dirasakan dalam perubahan, tapi bagaimana kita bisa menggunakan emosi yang tepat di situasi yang tepat," pungkas Analisa. (Ant/Z-1)
Sistem outsourcing atau alih daya selama ini menjadi solusi efisiensi bagi berbagai perusahaan di Indonesia.
Setiap generasi sudah pasti memiliki perspektif, gaya, dan harapan masing-masing dengan keunikan sendiri. Begitu pula dengan tantangan-tantangan komunikasi.
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah berbicara tentang tarif sebagai raksasa yang menciptakan lapangan kerja.
LinkedIn Hiring Assistant dirancang untuk menangani tugas-tugas perekrutan yang repetitif dan memakan waktu.
Menjaga kesehatan mental dapat dimulai dengan menghadirkan batasan-batasan dengan rekan, ataupun atasan kerja.
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) bisa terjadi pada seseorang dengan pekerjaan tertentu.
Kondisi macet tidak boleh dipandang sebelah mata karena berbagai studi menunjukkan, kemacetan dan waktu tempuh perjalanan berpengaruh pada tingkat stress, kesehatan dan mental.
Stres menyebabkan penggunaan glikogen otot secara berlebihan. Jika kadar glikogen menurun, pembentukan asam laktat akan terganggu.
Sebanyak 285.380 peserta dinyatakan lolos dari 860.976 pendaftar Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT) 2025.
"Kalimat 'semangat ya' itu seringkali tidak membantu, malah memperburuk keadaan. Lebih baik katakan, 'aku nggak tahu kamu sedang melalui apa, tapi aku ada di sini kalau kamu butuh'.
AKTRIS Kimberly Ryder tidak jadi berangkat haji tahun ini lantaran visa haji furoda tidak terbit. Ia mengaku stres. Begini cara menghadapi stres
Penelitian terbaru ungkap dampak pengawasan terhadap otak manusia, mulai dari perubahan perilaku hingga gangguan kognitif bawah sadar.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved