Memunculkan Negarawan

09/12/2015 00:00
BERKALI-KALI anak bangsa ini dikhianati para elitenya yang mestinya bertindak lurus sebagai pengemban amanat. Namun, untungnya, sebagian rakyat di negeri ini tidak sepenuhnya putus harapan. Mereka masih menyisakan sangkaan baik bahwa ada mutiara di tengah lautan kotoran. Itu terlihat dari masih adanya kerelaan publik berpartisipasi dalam tiap ajang politik.

Sayangnya, harapan yang masih tersisa itu tak kunjung berbalas. Hampir seluruh penyakit akut buruknya moral politik di negeri ini justru bersumber dari para elite. Lebih malang lagi, moral buruk itu bukannya dibenahi, melainkan malah dipupuk dan dipelihara. Dalam situasi seperti itulah, hari ini jutaan rakyat di 269 daerah di Tanah Air menyambut pemilihan kepala daerah secara serentak. Mereka akan memilih sembilan calon gubernur-wakil gubernur dan 260 calon bupati dan wakil bupati serta calon wali kota dan wakil wali kota dengan spirit menemukan pemimpin.

Itu sebuah semangat yang tak boleh dipatahkan, tetapi harus diakui amat sulit diwujudkan, sebab fakta menunjukkan kian banyak orang mencari kehormatan dalam jabatan tanpa memenuhi nilai-nilai prinsipiel dan tanggung jawab dari kedudukannya. Kita tidak bisa memungkiri bahwa bangsa ini tengah menghadapi aib besar, yakni ketika Republik ini surplus politisi, tetapi defisit negarawan.

Publik disodori para calon pemimpin yang lebih mementingkan kehidupan ketimbang harga diri. Bahkan, demi kehidupan itu, mereka kehilangan prinsip-prinsip utama kehidupan. Berbagai cara dilakukan orang untuk meraih kedudukan. Namun, tatkala kedudukan itu telah diraih, mereka tak sungguh-sungguh menyadari bahwa dirinya pejabat yang harus melindungi kehormatannya.

Tidak mengherankan bila akhirnya kita mendapati para elite justru bukan saja menjual kehormatan diri, melainkan juga menjual negara dengan culas. Tanpa sedikit pun merasa bersalah, mereka membabi buta mempertahankan kekuasaan kendati telah nyata mengangkangi etika. Kasus yang terjadi di Mahkamah Kehormatan Dewan di DPR RI secara kasatmata menunjukkan hal itu. Ketika sebagian besar publik menghendaki agar para wakil rakyat di MKD menggelar sidang terbuka, misalnya, mereka malah menutup rapat-rapat sidang demi melindungi kolega sesama partai ataupun sesama anggota koalisi.

Jangan heran bila para tokoh bijak bestari di negeri ini menyebutkan bahwa sikap negarawan telah dibunuh secara sadis dan terang-terangan oleh para wakil rakyat. Wajar belaka bila publik yang geram dengan akrobat politik bergerak mengajak mereka yang ingin menjaga kewarasan untuk tidak memilih calon kepala daerah yang diusung partai pelindung dan pendukung pengangkangan akal sehat.

Gerakan masif, baik di dunia nyata maupun alam maya lewat media sosial, itu memberikan pesan yang jelas kepada para calon pemimpin di daerah untuk berhenti memain-mainkan kehendak rakyat. Beragam aksi tersebut juga merupakan seruan kepada seluruh pemilik hak suara di pilkada serentak untuk menggunakan nurani demi munculnya para negarawan sejati.

Negarawan sejati tidak cuma mengatasnamakan atau mencatut nama rakyat demi kepentingan pribadi, tetapi sungguh-sungguh berjuang menyejahterakan rakyat dan ikhlas mundur bila gagal memperjuangkannya. Negarawan sejati tak mungkin mencatut nama presiden dan wakil presiden, tetapi sungguh-sungguh memuliakan mereka sebagai bagian simbol negara. Pilkada serentak hari ini mestinya mampu menghasilkan sejumlah negarawan, mungkin tidak terlalu banyak, tapi cukup untuk menjaga kewarasan demokrasi.



Berita Lainnya