Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Petualangan Netanyahu Membahayakan Dunia

Smith Alhadar Penasihat Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES)
16/6/2025 05:00
Petualangan Netanyahu Membahayakan Dunia
(MI/Seno)

PADA 13 Juni dini hari, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengerahkan 200 jet tempur untuk menyerang situs nuklir dan militer, serta membunuh ilmuwan nuklir, kepala staf militer, serta kepala Garda Revolusi Iran.

Serangan ini terjadi ketika perundingan soal program nuklir Iran antara Amerika Serikat (AS) dan Iran telah memasuki putaran keenam. Kendati keberhasilan penyelesaian melalui jalan diplomasi lebih menjanjikan, Presiden AS Donald Trump terbujuk Netanyahu untuk memilih jalan militer yang membahayakan keamanan Timur Tengah, bahkan dunia.

Iran telah membalas serangan Israel, tapi saling serang keduanya belum akan berhenti. Mengapa Netanyahu lebih memilih jalan perang ketimbang diplomasi?

 

MENJAGA SUPREMASI MILITER ISRAEL

Iran adalah penandatangan Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT). Dengan begitu, anggota NPT berhak menggunakan nuklir untuk kepentingan sipil. Namun, menurut sumber intelijen Israel (Mossad), program nuklir Iran juga diniatkan untuk membuat bom atom. Untuk mencegah hal itu, pada 2015 kesepakatan antara Iran dan lima kekuatan dunia plus Jerman (P5+1) rampung. Iran pun mengizinkan pengawas nuklir PBB (IAEA) untuk mengawasi program nuklirnya. Namun, hasil ini tidak memuaskan Israel dan negara-negara Arab Teluk. Mereka lebih memilih penyelesaian ‘model Libia’ di mana program nuklirnya dibongkar seluruhnya.

Trump juga sepakat dengan posisi Israel dan Arab Teluk. Maka, segera setelah menduduki Gedung Putih (2017-2021), Trump secara sepihak mundur dari kesepakatan itu dan diikuti dengan ‘tekanan maksimum’ untuk mencekik ekonomi Iran.

Kesepakatan nuklir Iran memang mengizinkan Iran mengekspor minyak ke pasar global dengan imbalan program nuklirnya dibatasi. Tindakan Trump ini sempat menimbulkan krisis di Teluk karena Iran menyerang tanker-tanker di dekat Selat Hormuz, instalasi minyak Arab Saudi, dan pangkalan militer AS di Iran sebagai balasan atas pembunuhan Jenderal Iran Qassem Soleimani.

Setahun setelah Trump mundur dari kesepakatan, Iran meningkatkan pengayaan uranium dari 3,67% sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian menjadi 60%. Dengan kata lain, Iran hanya butuh satu langkah lagi, yaitu pengayaan 90% untuk memungkinkannya membuat bom nuklir.

AS, Israel, dan negara-negara Barat kian gusar karena Iran pun membatasi kerja samanya dengan IAEA. Tujuan Iran hanya meningkatkan bargaining position vis a vis AS. Tapi, sekali lagi, Trump hanya mau Iran membongkar seluruh program nuklirnya sesuai dengan harapan Israel.

Namun, situasi saat ini sudah berbeda karena Arab Teluk sudah berbaikan dengan Iran. Setelah penghancuran dan genosida di Gaza, Arab melihat Israel justru sebagai kekuatan instabilitas kawasan. Karena itulah, Trump berpura-pura tidak terlibat dalam serangan Israel ke Iran. Meskipun, beberapa hari sebelumnya Trump mengirim 300 rudal Hellfire ke Israel, dan mengaku juga bahwa dia sudah diberi tahu Netanyahu.

Perundingan AS-Iran ternyata hanya kedok untuk mengelabui Iran. Hal itu dilakukan karena Arab tidak mendukung perang dengan Iran. Di AS pun, baik sebagian Demokrat maupun Republik, menentang dukungan AS terhadap Israel.

Trump tidak hanya menuntut instalasi nuklir Iran dibongkar seluruhnya – meskipun Israel diduga memiliki 200 hulu ledak nuklir tanpa membukanya kepada IAEA untuk verifikasi – tapi juga mengharuskan Iran menghentikan program rudal balistik dan rudal jelajahnya.

Dus, semua hal yang menjadi sumber pertikaian Iran dengan musuh-musuhnya ialah menjaga agar Israel tetap menjadi kekuatan militer yang superior. Dan, AS serta negara-negara Barat harus menjaga status Israel ini karena ia adalah proksi mereka di Timur Tengah.

 

MENGALIHKAN DUNIA DARI GAZA

Hal lain yang ingin dicapai Israel dalam serangan ke Iran ialah mengalihkan perhatian domestik dan dunia dari Gaza. Gara-gara genosida dan ethnic cleansing di Gaza, Israel menjadi negara pariah. Pada 17 Juni nanti akan diadakan konferensi internasional PBB tentang negara Palestina di New York yang disponsori Prancis dan Arab Saudi. Harapan dari konferensi itu ialah dukungan internasional bagi berdirinya negara Palestina dengan teritori Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur sesuai dengan resolusi-resolusi Dewan Keamanan PBB.

AS tidak menghendaki konferensi tersebut, apalagi Israel. Karena itu, serangan besar Israel yang provokatif terhadap Iran dipastikan akan menarik perhatian dunia dan menyatukan kembali rakyat Israel yang terbelah akibat dampak sosial, ekonomi, dan politik.

Menyerang Iran pun dianggap sebagai target yang bisa diterima Barat. Pasalnya, selain isu nuklir, Iran ditengarai membantu Rusia dalam agresi ke tetangganya. Iran mengakui drone-drone-nya dipakai Rusia dalam menyerang Ukraina, tapi pesawat-pesawat nirawak itu diekspor ke Rusia sebelum pecah perang Rusia-Ukraina.

Dengan teralihnya perhatian dunia dari Gaza, maka pembunuhan, dehumanisasi, dan menjadikan kelaparan sebagai senjata lebih leluasa dijalankan Israel dalam kebijakan depopulasi Gaza. Kebetulan Trump masih konsisten dengan gagasan ini, yaitu mengosongkan Gaza untuk dijadikan Riviera of Middle East.

 

DAMPAK PERANG

Tujuan utama serangan Israel terhadap Iran ialah meruntuhkan rezim mullah sebagaimana yang dikatakan Netanyahu pascaserangan Israel. Ia menyerukan agar rakyat Iran bangkit untuk mengambil alih negara. Tapi seruan ini kecil kemungkinan akan berhasil. Orang Iran bisa berbeda dalam banyak hal, tapi nasionalisme akan selalu mengikat mereka sebagai satu bangsa.

Dulu, ketika pecah Revolusi Iran 1979, banyak pemuda yang menolak revolusi minggat ke luar negeri. Tapi ketika Irak di bawah Presiden Saddam Hussein menyerang Iran, sebagian besar dari mereka pulang kampung untuk ikut berperang melawan Irak.

Dus, perang yang dimulai oleh Israel tanpa alasan yang masuk akal justru akan memperkuat persatuan rakyat Iran. Dan, perang ini akan berkepanjangan. Martabat Iran dilukai sehingga membalasnya merupakan keniscayaan. Yang mengkhawatirkan, perang ini akan meluas ke seluruh kawasan kalau nanti Iran menyerang pangkalan-pangkalan militer AS di hampir seluruh negara Timur Tengah. AS memang menyatakan serangan Israel merupakan serangan unilateral, tapi AS tak mencegahnya. Malah mengirim rudal Hellfire. Ini sudah menunjukkan AS terlibat secara tidak langsung dalam perang.

Kekhawatiran lain ialah negara-negara Arab membiarkan langitnya digunakan pesawat Israel dan AS untuk menyerang Iran. Sebelumnya, Iran sudah memperingatkan negara-negara Arab Teluk bahwa pembiaran langit mereka digunakan Israel atau AS untuk menyerang Iran, maka Iran akan memandang mereka sebagai musuh.

Akan tetapi, sulit bagi negara Arab Teluk menjaga sikap netral mereka bila Selat Hormuz ditutup oleh Iran. Selat Hormuz, tempat lalu-lalang puluhan tanker internasional untuk mengangkut minyak dari kawasan itu, tentunya sangat strategis. Bila Iran menutupnya, negara-negara Arab akan kehilangan miliaran dolar AS setiap hari.

Kalau demikian, Iran akan menambah musuh yang akan membakar Timur Tengah. Pangkalan militer AS dan instalasi minyak di kawasan itu akan jadi target serangan Iran. Namun, bisa jadi Iran akan binasa bila salah kalkulasi. Serangan Israel yang tanpa mampu ditangkis dan serangan balasan Iran ke Israel yang tak berdampak signifikan menunjukkan Iran tak memiliki kapasitas militer yang mumpuni untuk mengimbangi Israel.

Hal itulah yang memberanikan Israel membombardir Iran tanpa kehilangan satu pesawat pun. Iran memang dalam posisi sulit. Melanjutkan perang tanpa kemampuan cukup untuk mengimbangi musuh justru makin membahayakan eksistensi rezim mullah. Tapi berdiam diri berarti menyerah.

Sementara itu, harga minyak dunia telah melejit hingga 9% di tengah geopolitik dan geoekonomi global yang tidak menentu akibat kebijakan tarif Trump. Hal tersebut bisa menimbulkan keresahan sosial yang membahayakan stabilitas global. AS sebagai pihak yang terlibat dalam kasus ini tak dapat diharapkan memainkan peran stabilisasi. Kevakuman akan diisi Tiongkok dan Rusia. Dalam setiap hasil perundingan, Iran selalu melaporkan kepada dua negara sahabatnya. Tujuannya agar mereka mengetahui setiap perkembangan dan mungkin juga memberi masukan kepada Iran tentang peta jalan yang mesti jadi pertimbangan.

Tindakan Iran ini mengindikasikan ketidakpercayaan terhadap perundingan dengan AS. Selain keduanya negara besar, Tiongkok dan Rusia punya kepentingan bagi eksistensi rezim Iran. Bagi Rusia, Iran penting untuk menjaga hegemoninya di Asia Tengah yang kaya minyak. Bila AS dan sekutu Barat mengendalikan Iran, negara-negara Asia Tengah yang tak berpantai (landlocked) memiliki akses ke Teluk sehingga ketergantungan mereka pada Rusia menyusut. Ini akan mengecilkan pengaruh Rusia dalam geopolitik dan geoekonomi global.

Tiongkok juga sangat berkepentingan dengan rezim mullah yang anti-Barat. Selain menyerap 70% produksi minyak Iran, Tiongkok juga pembeli terbesar minyak Arab Saudi. Dus, bila perang Iran-Israel berkobar hingga ke seluruh Teluk, Tiongkok akan juga terkena getahnya karena, selain harga minyak naik, pengangkutannya terganggu kalau Iran menutup Selat Hormuz. Di luar itu, posisi Iran sangat strategis dan instrumental dalam mendukung proyek infrastruktur global Tiongkok.

Terakhir, Iran dan Rusia berperan sebagai pengimbang pengaruh AS di Timur Tengah. Dus, Netanyahu masih akan melanjutkan perang dengan Iran untuk membuat Gaza dilupakan dunia, karier politiknya terjaga, Iran kehabisan sumber daya, dan publik Israel dipersatukan kembali karena menghadapi musuh bersama.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya