Headline
Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.
Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.
KERANGKA hukum pemilu yang demokratis ialah komponen krusial dalam praktik demokrasi suatu negara. Lebih spesifik, undang-undang pemilu merupakan aturan, institusi, dan proses yang menerjemahkan kehendak rakyat menjadi tata kelola yang demokratis (Gardner, 2024). Ranah undang-undang pemilu bahkan terkait erat dengan teori-teori filsafat dan politik tentang demokrasi yang bervariasi sesuai dengan konteks masyarakat dan historis negara (Schultz, 2016).
Hukum internasional publik juga ikut memberikan kerangka kerja bagi pemilu demokratis serta menawarkan kriteria yang transparan dan objektif untuk menilai implementasi dari suatu proses elektoral. Standar internasional membantu membangun konsensus mengenai apa itu pemilu yang adil dan demokratis, meskipun hingga kini belum ada definisi yang diterima secara universal.
Undang-undang pemilu menjadi instrumen hukum strategis bagi eksistensi partai, elite, dan kelompok politik. Dalam praktik pembentukan undang-undang pemilu, partai-partai pasti akan mendukung pengaturan yang memaksimalkan peluang mereka untuk mendapatkan kursi, sekalipun itu mengorbankan proporsionalitas atau stabilitas jangka panjang. Bahkan, manipulasi terhadap aturan merupakan bentuk malapraktik pemilu yang sejak awal dilakukan untuk mengamankan kepentingan partisan atau kelompok tertentu.
Petahana yang diuntungkan oleh status quo memiliki kecenderungan untuk resisten melakukan reformasi pengaturan pemilu yang mungkin akan mengurangi keunggulan elektoral mereka. Dengan demikian, salah satu hambatan utama reformasi hukum pemilu ialah kenyataan para legislator merupakan aktor utama yang bertanggung jawab merevisi aturan, tetapi mereka juga merupakan pihak yang diuntungkan dari kondisi status quo. Akibatnya, mereka memiliki insentif yang kuat untuk menghalangi perubahan (Norris, 2017)
Karena sifatnya yang sangat partisan dan rentan manipulasi, pengadilan turut memainkan peran penting dalam menafsirkan dan memastikan kesesuaian pengaturan pemilu dengan prinsip-prinsip demokrasi dan konstitusi. Peninjauan yudisial (judicial review) menjadi instrumen penting untuk menyelesaikan tantangan terhadap regulasi pemilu, terutama saat berhadapan dengan aturan yang ambigu dan multitafsir.
MERUMUSKAN TUJUAN
Mengingat posisinya yang esensial dalam menjamin keadilan kompetisi elektoral, di tengah tarik-menarik kepentingan yang kuat, undang-undang pemilu harus memiliki rumusan tujuan yang jelas dan terukur. Rumusan tujuan diperlukan untuk mengimbangi pragmatisme yang menyertai dalam pembentukannya. Carey dan Reynolds (2011) menyebut sejumlah tujuan yang harus termuat dalam reformasi hukum pemilu.
Mencakup pertama, inklusivitas. Dalam tujuan ini, pemilu harus menyediakan sarana bagi kelompok-kelompok minoritas, khususnya perempuan, juga kelompok etnis dan agama, untuk memperoleh representasi agar parlemen mencerminkan keberagaman yang ada di masyarakat. Kedua, distorsi minimal. Pemilu harus menghindari bahaya terjadinya disproporsionalitas yang besar, yakni ketika partai memperoleh proporsi kursi yang jauh melampaui proporsi perolehan suara yang mereka dapat. Ketiga, insentif untuk membangun koalisi. Aturan pemilu seharusnya mendorong kandidat dan kelompok yang sepemikiran untuk bersatu di bawah koalisi yang terbentuk secara alamiah.
Lalu, yang keempat, akuntabilitas individu. Pemilu harus memungkinkan pemilih memberi ganjaran atau hukuman atas kinerja legislator secara individual, bukan hanya terhadap partai atau koalisi secara keseluruhan. Adapun yang terakhir, kelima, kesederhanaan. Pilihan-pilihan yang dihadapi pemilih, keputusan yang diharapkan mereka buat, dan hubungan keputusan-keputusan tersebut dengan siapa yang akan memerintah haruslah sesederhana mungkin.
Kelima tujuan itu hampir tidak mungkin dipenuhi secara sempurna. Bisa dipahami jika dalam pengaturan pemilu dilakukan kompromi atau kombinasi pertukaran (trade-offs) untuk mengoptimalkan manfaat bagi sistem demokrasi. Karena itu, ketika membentuk undang-undang pemilu, harus tersedia waktu yang cukup dan deliberasi yang memadai agar semua aspek dan implikasi dari pengaturan yang dibuat bisa selaras dengan tujuan yang telah dirumuskan.
REFLEKSI HISTORIS
Merefleksikan pembentukan undang-undang pemilu di Indonesia selama era reformasi merupakan gambaran konteks historis dan dinamika politik yang penuh tarik-menarik partisan. Percepatan penyelenggaraan pemilu di tahun 1999 hadir sebagai instrumen yang dipilih untuk keluar dari masa transisi secara demokratis.
Undang-Undang (UU) No 3 Tahun 1999 dirumuskan sebagai dasar hukum dengan semangat kuat untuk terwujudnya pemilu yang jujur, adil, dan murni. Melalui UU Partai Politik dan UU Pemilu, Pemilu 1999 menjadi musim semi bagi sistem multipartai setelah sekian lama keragaman pilihan politik dibekap Orde Baru.
Setelah Pemilu 1999, hampir setiap pemilu disertai pula dengan penggantian UU Pemilu. UU 12/2003 dan UU 23/2003 untuk Pileg dan Pilpres 2004; UU 10/2008 dan UU 42/2008 untuk Pileg dan Pilpres 2009; UU 8/2012 untuk Pileg 2014; serta UU 7/2017 untuk Pemilu serentak 2019 dan 2024. Hanya, pada Pemilu serentak 2024, UU Pemilu tidak mengalami perubahan, tetap menggunakan UU yang sama dengan Pemilu serentak 2019. Akan tetapi, ketiadaan perubahan UU justru disikapi presiden dengan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) untuk merespons sejumlah dinamika Pemilu 2024.
Sejak Pemilu 1999, Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu hampir semuanya merupakan legislasi inisiatif pemerintah. Hanya pada Pemilu 2014, RUU Pemilu menjadi legislasi inisiatif DPR. Bila dibandingkan, pembentukan draf RUU Pemilu inisiatif DPR lebih alot dan penuh dinamika ketimbang pembentukan draf RUU Pemilu inisiatif pemerintah. Hal itu karena perbedaan posisi politik sudah mengerucut sejak awal pembentukan draf RUU di antara partai-partai di DPR. Bahkan pada 2011, naskah RUU Pemilu inisiatif DPR yang menjadi dokumen resmi pembahasan bersama pemerintah, tidak memuat pengaturan ambang batas parlemen secara bulat. Terdapat dua opsi ambang batas parlemen dalam draf RUU Pemilu versi DPR yang diputuskan finalnya saat pembahasan bersama pemerintah.
Karena kuatnya tarik-menarik kepentingan partisan dalam UU Pemilu, sejak Pemilu 2004, pengesahan RUU Pemilu selalu menyertakan proses voting di rapat paripurna. Sebabnya, forum lobi antarfraksi tidak mampu mempertemukan kutub-kutub kepentingan di antara partai-partai parlemen. Materi voting RUU pemilu selalu berkutat dengan variabel sistem pemilu: electoral threshold, ambang batas parlemen (parliamentary threshold), ambang batas pencalonan presiden, metode pemberian suara, ataupun formula konversi suara menjadi kursi. Itu semua soal hidup-mati partai.
Saking alotnya, sejak Pemilu 1999, tidak ada pembahasan RUU Pemilu yang selesai sesuai jadwal. Semua molor dan melampaui tenggat. Bahkan dalam pembahasan RUU Pemilu tahun 2017, pemerintah sempat mengancam menarik diri dari pembahasan apabila ketentuan ambang batas pencalonan presiden diturunkan besarannya.
Lebih buruk lagi, jelang Pemilu 2024, karena pragmatisme presiden untuk mempertahankan stabilitas koalisi –yang bertemu dengan kepentingan partai-partai terkait dengan ambang batas parlemen dan ambang batas pencalonan presiden, RUU Pemilu justru dicabut dari prioritas legislasi Prolegnas 2021. Padahal, secara objektif banyak evaluasi penyelenggaraan pemilu serentak 2019 yang memerlukan perbaikan pengaturan. Karena tidak ada perubahan, akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) jadi tumpuan. Partai, masyarakat sipil, dan politisi berduyun-duyun mengajukan pengujian norma UU 7/2017 untuk mengadvokasi kepentingan mereka. UU 7/2017 menjadi UU yang paling banyak diuji selama berdirinya MK sejak 2003.
Fenomena yudisialisasi politik tersebut ternyata diikuti dampak lain berupa politisasi MK. Salah satunya melalui Putusan MK No 90/PUU-XXI/2023. Putusan kontroversial yang mengubah syarat usia calon presiden dan wakil presiden di tengah berlangsungnya proses pengumuman pencalonan. Kredibilitas Pilpres 2024 bukan hanya dipertanyakan di dalam negeri, tapi menjadi catatan dunia internasional yang menurunkan kinerja demokrasi Indonesia dalam banyak pengukuran indeks global.
BERIKAN LEGASI
Menuju Pemilu 2029, RUU Pemilu merupakan legislasi prioritas Prolegnas 2025. Inisiatif dari Badan Legislasi (Baleg) DPR. Sayangnya, sampai pertengahan 2025 belum ada perkembangan bermakna soal pembahasannya. Belajar dari sejarah pengaturan terdahulu, pemerintah dan DPR penting untuk meninjau ulang pendekatan penyusunan draf RUU Pemilu. Mengingat kompleksitas perumusan draf RUU Pemilu di antara fraksi-fraksi di DPR, sebaiknya RUU Pemilu diubah menjadi inisiatif pemerintah.
Secara konsolidasi kelembagaan, pemerintah lebih mudah merumuskan sikap politiknya karena tidak menghadapi fragmentasi seperti parlemen. Sembari pemerintah melalui kementerian terkait menyiapkan naskah akademik dan draf RUU, fraksi-fraksi di DPR bisa bekerja mengidentifikasi isu-isu strategis dan merumuskan pilihan kebijakan yang sejalan dengan visi politik mereka. Keterlibatan penyelenggara pemilu dan partisipasi publik tentu harus jadi bagian integral dari proses tersebut.
Semua pihak perlu terus mengingatkan pembentuk undang-undang agar tidak melulu pragmatis. Pemerintah dan DPR harus memberikan legasi baik untuk demokrasi Indonesia. Terpenting, segera mulai pembahasan RUU Pemilu.
ANGGOTA Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah mendapatkan laporan bahwa sekolah pusing untuk mengolah limbah dari Makan Bergizi Gratis (MBG).
Robert Rouw menilai keberadaan jalan tol di Riau, khususnya Tol Pekanbaru–Dumai dan Tol Pekanbaru–Bangkinang, telah membuka akses baru dan mempercepat mobilitas masyarakat maupun logistik.
DPR RI meminta Kemendagri segera menyusun blue print atau cetak biru peta besar wilayah administratif di seluruh Indonesia.
Ketua Komisi III DPR Habiburokhman mengkritik Mahkamah Konstitusi (MK) yang kerap membatalkan undang-undang hasil pembahasan panjang DPR lewat sidang pengujian.
Kegiatan ini ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara Sekretaris Jenderal DPR RI Indra Iskandar dan pihak GoCorp Gojek.
"MK sekadar menegaskan bahwa meski DPR dan pemerintah memiliki kewenangan membentuk undang-undang, tapi prosedurnya tidak bisa mengabaikan keterlibatan rakyat,"
gugatan uji materiil terkait syarat caleg harus sesuai domisili dapil jika bakal terjadi penguatan kelembagaan partai politik di daerah.
ADA 20 Februari lalu, Presiden Prabowo telah melantik 481 kepala daerah hasil pilkada serentak 2024. S
Ia juga memberi catatan pembahasan RUU Pemilu yang merupakan kodifikasi pengaturan pemilu dan pilkada dalam satu naskah harus dibarengkan waktunya dengan pembahasan Revisi UU Partai Politik.
Titi menjelaskan faktor penyebab rendahnya partisipasi pemilih pada Pilkada itu perlu dibuktikan, apakah ada kesengajaan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved