Headline

DPR setujui surpres pemberian amnesti dan abolisi.

Fokus

Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.

Pakar: Gagasan Pilkada Lewat DPRD tidak Relevan Lagi setelah Ada Putusan MK

Devi Harahap
31/7/2025 11:36
Pakar: Gagasan Pilkada Lewat DPRD tidak Relevan Lagi setelah Ada Putusan MK
ilustrasi(Antara Foto)

PAKAR Hukum Pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraini menegaskan usulan pilkada lewat DPRD seharusnya tidak lagi muncul ke publik usai keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Titi menyebut pilkada lewat DPRD tidak relevan lagi membedakan rezim Pilkada dan Pemilu.

Titi menerangkan, dua Putusan MK dengan jelas menyebut desain pemilu serentak daerah dilakukan untuk memilih DPRD dan kepala daerah dalam satu hari yang sama. Artinya, Pilkada dilakukan dengan mekanisme Pemilu melalui pemilihan langsung oleh rakyat. 

“Jadi, di sana dengan adanya putusan MK sebenarnya untuk diskursus Pilkada oleh DPRD atau Pilkada tidak langsung ini ya sudah selesai. Tidak usah lagi melihat ke belakang dan terus berusaha untuk mengembalikan pilkada ke DPRD,” katanya saat dikonfirmasi pada Kamis (31/7). 

Menurut Titi, desain pilkada dan pemilu sama-sama diselenggarakan dengan asas langsung umum bebas, rahasia, juru dan adil.  Atas dasar itu, jika pilpres dan pileg dilaksanakan secara langsung, maka hal itu berlaku untuk penyelenggara pilkada. 

“Masyarakat semakin terbiasa dengan praktik Pilkada langsung, tidak ada penolakan. Dan kita menuju penataan konsolidasi demokrasi yang makin baik,” jelasnya.

Selain itu, Titi menilai soal efisiensi tak bisa dijadikan alasan untuk mengubah sistem pemilihan. Menurutnya, akar masalah politik biaya tinggi di pilkada bukanlah terletak pada metode pemilihan langsung atau pemilihan tidak langsung, melainkan terletak pada penegakan hukum terhadap mahar politik hingga politik uang.

“Perubahan sistem pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dari pemilihan oleh DPRD menjadi pemilihan langsung melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 dilatarbelakangi oleh praktik politik uang yang tinggi di mana terjadi jual beli dukungan atau jual beli kursi dan suara dari para anggota DPRD demi keterpilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh para anggota DPRD (candidacy buying),” ujarnya.

Kendati demikian, Titi menegaskan sistem pemilihan tidak langsung dengan pola asimetris hanya dapat diterapkan pada wilayah daerah-daerah yang memiliki kekhususan sebagai amanat undang-undang otonomi daerah. 

“Itu harus dengan argumentasi kekhususan dan keistimewaan yang valid dan diatur di dalam undang-undang khusus kira-kira begitu,” ujar Titi. 

Dewan Pembina Perludem itu mendorong para pembuat kebijakan agar fokus mewujudkan tata kelola pilkada yang terintegrasi dan bisa menyelesaikan berbagai masalah yang selama ini terjadi seperti mahar politik, politik uang, politisasi bansos, mobilisasi ASN, ketidaknetralan penyelenggara, hingga manipulasi suara.

“Konsolidasi demokrasi Indonesia makin tertata, hanya saja masih banyak masalah yang disebabkan perilaku elite dan politisasi yang siap menang tapi tidak siap kalah, sehingga cenderung melakukan berbagai tindakan pragmatis untuk melakukan berbagai cara supaya bisa menang,” ucapnya. 

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indriyani Astuti
Berita Lainnya