Headline
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
Lebih dari dua dekade, konflik antara Barisan Revolusi Nasional (BRN) dan Pemerintah Thailand di wilayah selatan seperti Pattani, Yala, Narathiwat, dan sebagian Songkhla yang berpenduduk mayoritas Melayu-Muslim terus berlangsung. Sebagai etnis Melayu-Muslim, mereka merasa terdiskriminasi oleh negara Thailand yang mayoritas beragama Buddha, sehingga memicu gerakan separatis dari kelompok etnis Melayu-Muslim.
Kelompok ini juga merasa adanya pembatasan dalam penggunaan bahasa Melayu di tengah dominasi narasi nasionalisme Thai-Buddha dalam pendidikan dan media lokal yang dikontrol pemerintah Thailand. Konflik ini menjadi salah satu konflik bersenjata berkepanjangan di Asia Tenggara yang berakar pada isu etnis, agama, dan sejarah.
Sejak 2004, konflik bersenjata meningkat signifikan, dengan aparat keamanan, sekolah, hingga warga sipil menjadi korban. Berdasarkan laporan Deep South Watch (2024) dalam Annual Summary of Violence in Southern Thailand, tercatat lebih dari 7.000 orang tewas sejak 2004, dan sebagian besar korban adalah warga sipil.
Baru-baru ini, insiden serangan bom di wilayah Phuket, Phangnga, dan Krabi — yang merupakan destinasi wisata — memantik meningkatnya intensitas konflik. Otoritas Thailand mengklaim serangan tersebut sebagai taktik baru bernama white face, yakni rekrutmen anggota BRN tanpa catatan kriminal maupun catatan intelijen negara.
Meluasnya wilayah konflik di luar daerah tradisional menimbulkan kekhawatiran bahwa konflik ini tidak lagi semata-mata isu domestik Thailand, tetapi juga berpotensi mengganggu stabilitas kawasan.
Upaya perdamaian telah beberapa kali digagas melalui proses perundingan. Pemerintah Thailand berulang kali mencoba berdialog, tetapi negosiasi tidak membuahkan hasil karena pihak BRN bersikap resisten. Sejak proses perdamaian diinisiasi pada 2013, untuk pertama kalinya BRN mengirimkan delegasi ke meja perundingan pada 2020.
Secara terbuka, BRN menyatakan kesiapan untuk terlibat aktif dalam negosiasi damai dengan menekankan keinginan solusi yang adil dan menjunjung martabat rakyat Melayu-Patani. Langkah ini disinyalir sebagai bentuk keterbukaan terhadap komunitas internasional.
Meskipun berbagai upaya dialog dilakukan, hingga kini belum tampak tanda-tanda tercapainya kesepakatan damai. Salah satu proses perundingan formal dimediasi oleh Malaysia dalam kerangka Bina Damai.
Pada Februari 2023, kedua pihak menyepakati rencana Joint Comprehensive Plan toward Peace (JCPP), yang bertujuan mengurangi kekerasan, melibatkan masyarakat sipil dalam konsultasi publik, serta mencari solusi politik jangka panjang. Namun implementasi JCPP menghadapi banyak tantangan, mulai dari fragmentasi internal di tubuh BRN, dominasi militer dalam kebijakan keamanan Thailand, hingga rendahnya kepercayaan publik terhadap proses damai.
Eskalasi kekerasan sejak awal 2025 menunjukkan bahwa dialog belum cukup berhasil membungkam senjata di lapangan.
Dalam konteks konflik kawasan, pertanyaannya bukan lagi apakah ASEAN harus terlibat atau tidak, tetapi bagaimana ASEAN dapat berkontribusi secara konstruktif tanpa melanggar prinsip non-intervensi yang menjadi dasar organisasi ini.
Prinsip non-intervensi memang penting untuk menjaga kedaulatan negara anggota, tetapi ASEAN juga berkomitmen terhadap promosi dan perlindungan hak asasi manusia serta penyelesaian damai sengketa, sebagaimana tertuang dalam Piagam ASEAN dan lembaga-lembaga seperti AICHR (ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights) dan AIPR (ASEAN Institute for Peace and Reconciliation).
Banyaknya pelanggaran HAM selama konflik menjadi sorotan internasional. Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri Thailand memungkinkan aparat menahan tersangka hingga 30 hari tanpa dakwaan. Penahanan tanpa proses hukum (arbitrary detention) ini jelas tergolong pelanggaran HAM.
Organisasi internasional seperti Amnesty International dan Human Rights Watch mencatat banyak warga ditahan tanpa bukti cukup, diintimidasi, bahkan disiksa. Ironisnya, anak-anak dan guru kerap menjadi korban karena sekolah dijadikan objek militerisasi maupun sasaran balasan. Kedua belah pihak, baik BRN maupun aparat keamanan, dituduh melakukan serangan.
Sebagai lembaga hak asasi di kawasan, AICHR memang belum secara eksplisit mengangkat konflik Thailand Selatan dalam agendanya, tetapi menyambut baik pengesahan Undang-Undang Pencegahan Penyiksaan dan Penghilangan Paksa oleh pemerintah Thailand. Proses ratifikasi Konvensi Anti-Penyiksaan baru dilakukan pada 2022, dan implementasi UU ini — jika dijalankan efektif — dapat menjadi titik awal pertanggungjawaban militer atas pelanggaran HAM di wilayah konflik.
ASEAN dapat mendorong Thailand untuk benar-benar menerapkan UU tersebut di wilayah selatan, serta menjadikan AICHR sebagai forum dialog bagaimana kebijakan keamanan dapat dijalankan tanpa melanggar prinsip HAM.
Selain itu, beberapa negara anggota seperti Indonesia dan Filipina memiliki pengalaman serupa. Indonesia dengan proses perdamaian Aceh dan Filipina dengan pembentukan Bangsamoro menjadi bukti keberhasilan negosiasi damai di Asia Tenggara. AIPR bisa menjadi rumah untuk berbagi praktik terbaik dari pengalaman negara-negara tersebut.
Berkaca pada pengalaman kedua negara, inisiatif penanganan konflik ini tidak harus bersifat formal dan konfrontatif, tetapi dapat diwujudkan melalui track II diplomacy yang mempertemukan akademisi, tokoh masyarakat, serta perwakilan pemerintah dalam diskusi lintas negara. Pendekatan ini sejalan dengan semangat ASEAN Way, yakni penyelesaian konflik berbasis konsensus, harmoni, dan solidaritas kawasan.
Sudah sewajarnya ASEAN menjadikan konflik BRN–Thailand Selatan sebagai isu kawasan, mengingat relevansinya terhadap agenda keamanan manusia dan stabilitas regional. Peristiwa belakangan ini patut menjadi perhatian kolektif, termasuk serangan bom di kawasan wisata seperti Phuket yang mengindikasikan meluasnya konflik di luar wilayah tradisional. Serangan terhadap kawasan wisata sebagai salah satu penopang ekonomi nasional, pada akhirnya juga berpotensi memengaruhi stabilitas ekonomi kawasan.
Tantangan besar bagi ASEAN adalah perlunya pendekatan baru dalam merespons konflik internal negara anggota. Seringkali ASEAN terjebak dalam kerangka pembelaan atas kedaulatan negara, sehingga pendekatan solidaritas regional yang berorientasi pada perlindungan warga tidak terlihat sama sekali. Jika ASEAN terus menolak merespons atas nama kedaulatan, dan mengesampingkan keselamatan warga, maka relevansi ASEAN sebagai organisasi kawasan akan dipertanyakan. Pendekatan yang berfokus pada perlindungan warga justru dapat meningkatkan kepercayaan publik bahwa ASEAN mampu menghadapi tantangan nyata di tingkat akar rumput.
Konflik ini bersifat asimetris, dengan unsur nasionalisme, identitas etnis dan agama, serta tantangan terhadap kebijakan negara yang sentralistik. Penyelesaian konflik antara BRN dan Pemerintah Thailand tidak cukup hanya berfokus pada penghentian kekerasan, tetapi juga menuntut upaya membangun tatanan politik yang lebih adil, inklusif, dan menghargai identitas lokal. ASEAN memiliki peran penting dalam mendorong dan memfasilitasi proses ini.
Memang, penyelesaian konflik tersebut memerlukan komitmen jangka panjang dari seluruh aktor yang terlibat. Dalam hal ini, ASEAN dapat mengoptimalkan peran aktor diplomasi track II dan track III, seperti forum ASEAN People’s Forum (APF) dan SEA Peace Network yang bernaung di bawah Civil Society Organizations (CSO). Forum-forum ini dapat dijadikan wadah advokasi isu minoritas dan konflik lokal.
Dalam konteks konflik ini, tantangan bagi dunia internasional adalah persoalan internalisasi konflik, di mana Pemerintah Thailand menolak mengategorikannya sebagai isu keamanan transnasional. Sikap kehati-hatian ASEAN dapat dipahami, sehingga ASEAN harus hadir bukan sebagai lembaga justifikasi, melainkan mitra damai kawasan. Dengan demikian, stabilitas perdamaian di Asia Tenggara dapat terus diwujudkan dalam semangat One Vision, One Identity, One Community. (Z-10)
Contoh termudah memahami personalisasi konten, adalah tawaran konten yang tersaji di media digital. Di platform tersebut preferensi disesuaikan kepada tiap-tiap khalayak.
PERNYATAAN Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, yang menyebut tidak ada bukti kekerasan seksual dalam Peristiwa Mei 1998 membuat kegaduhan di Indonesia.
Ia menilai biro tersebut penting karena hukum dan HAM saling berkaitan dalam pemerintahan dan pelayanan publik.
DIREKTUR Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid mengatakan jelang peringatan 27 tahun reformasi, kebebasan sipil dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) semakin mundur.
PROGRAM mainstreaming hak asasi manusia (HAM) atau pengarusutamaan HAM disebut krusial untuk diimplementasikan di semua kalangan masyarakat, termasuk Aparatur Sipil Negara (ASN).
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved