Headline
Perekonomian tumbuh 5,12% melampaui prediksi banyak kalangan.
Perekonomian tumbuh 5,12% melampaui prediksi banyak kalangan.
BARANG oplosan bukanlah fenomena baru di negeri ini. Beragam komoditas di pasaran sudah akrab dengan aksi culas itu. Banyak produk kebutuhan masyarakat sering kali dioplos, mulai dari kebutuhan primer hingga barang-barang tersier.
Untuk urusan oplosan, negeri ini pernah dihebohkan dengan adanya bahan bakar minyak (BBM) yang dioplos, yakni antara BBM kualitas sedang dan jenis BBM berkualitas paling bawah. Begitu juga dengan gas elpiji oplosan, yakni elpiji kemasan 12 kg ternyata disuntik dari elpiji kemasan 3 kg yang disubsidi pemerintah.
Isu adanya gula oplosan juga pernah terjadi. Bahkan, informasi soal penjualan daging oplosan pun sempat nyaring beberapa waktu lalu. Pula, pernah ada isu kosmetik oplosan. Semua komoditas bisa dioplos demi mengeruk uang besar.
Kini, aksi serupa terjadi pada bahan paling pokok di Republik ini, yakni beras. Komoditas utama dan kebutuhan pokok rakyat itu juga tidak luput dari praktik lancung tersebut. Pengoplosan beras telah terjadi sejak lama dalam beragam modus dan motif.
Masalah beras oplosan kembali mencuat ke permukaan setelah aparat penegak hukum dan pemerintah menemukan bahwa pada ratusan merek beras yang beredar di pasaran, ternyata kualitasnya tidak sesuai dengan yang tertera pada label. Investigasi yang dilakukan oleh Satgas Pangan bersama Kementerian Pertanian dan kepolisian pada pertengahan 2025 itu mengungkap, ada 212 merek beras di Indonesia terbukti melanggar standar mutu, baik dari sisi bobot kemasan, informasi label, maupun kandungan beras.
Sebanyak 85,56% beras premium tidak sesuai standar mutu, 59,78% dijual di atas harga eceran tertinggi (HET), dan 21,66% tidak sesuai berat kemasan. Untuk beras medium, sebanyak 88,24% tidak memenuhi mutu, 95,12% dijual melampaui HET, dan 9,38% memiliki berat kurang dari klaim di kemasan. Hal itu mengacu pada investigasi selama 6-23 Juni 2025 yang melibatkan 268 sampel beras dari 212 merek di 10 provinsi.
Praktik pengoplosan beras bukanlah hal baru dalam industri pangan Indonesia. Pada dasarnya, beras oplosan merujuk pada pencampuran beras dengan kualitas rendah ke dalam kemasan beras bermerek atau premium, yang kemudian dijual ke masyarakat dengan harga lebih tinggi.
Di balik praktik pengoplosan ini, tersimpan permasalahan struktural yang lebih besar, yakni lemahnya pengawasan distribusi pangan, kaburnya mekanisme penegakan hukum, serta eksploitasi sistem ekonomi oleh pelaku industri yang mencari celah keuntungan melalui jalan pintas.
Persoalannya tetap sama, yakni penyakit laten yang terjadi karena adanya selisih harga antara beras subsidi dan beras premium. Kini, selisih itu dapat mencapai Rp2.000 hingga Rp3.000 per kilogram. Dengan volume distribusi yang tinggi, praktik ini memberikan keuntungan besar bagi pelakunya.
Nilai kerugian akibat praktik ini bukanlah angka kecil. Menteri Pertanian Amran Sulaiman bahkan menyebut bahwa potensi kerugian konsumen akibat beras oplosan bisa mencapai Rp99 triliun per tahun. Adapun penyalahgunaan distribusi beras subsidi ditaksir menimbulkan kerugian hingga Rp2 triliun per tahun.
Secara hukum, praktik pengoplosan ini jelas melanggar Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 8 undang-undang itu menyatakan pelaku usaha dilarang memproduksi atau memperdagangkan barang yang tidak sesuai dengan mutu, takaran, atau label yang dicantumkan. Tidak hanya memperbesar kerugian ekonomi rakyat, praktik semacam itu juga memperlebar ketimpangan sosial. Selain itu, merusak struktur pasar secara keseluruhan dan menurunkan efektivitas kebijakan pangan yang dicanangkan pemerintah.
Karena itu, skandal beras oplosan tidak boleh dianggap sebagai insiden sesaat. Persoalan ini mestinya menjadi alarm keras bahwa semua praktik pengoplosan mesti segera diakhiri.
Sudah saatnya bangsa ini mampu menyembuhkan diri dari penyakit laten pengoplosan. Benahi penyaluran barang-barang subsidi yang membuka ketimpangan harga di pasaran. Perketat sistem pengawasan secara berjenjang. Jangan beri ampunan kepada mereka yang berlaku lancung. Ingat, terlampau banyak kejahatan terus berkelindan karena tak pernah ada mekanisme sangat serius terkait dengan penjeraan.
Jangan sampai publik terus menjadi korban, yang pada ujungnya bisa memicu krisis kepercayaan.
BERAGAM cara dapat dipakai rakyat untuk mengekspresikan ketidakpuasan, mulai dari sekadar keluh kesah, pengaduan, hingga kritik sosial kepada penguasa.
MANTAN Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong dan mantan Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto telah resmi bebas dari tahanan.
Kebijakan itu berpotensi menciptakan preseden dalam pemberantasan korupsi.
ENTAH karena terlalu banyak pekerjaan, atau justru lagi enggak ada kerjaan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memblokir puluhan juta rekening milik masyarakat.
KASUS suap proses pergantian antarwaktu (PAW) untuk kader PDI Perjuangan Harun Masiku ke kursi DPR RI masih jauh dari tutup buku alias belum tuntas.
Intoleransi dalam bentuk apa pun sesungguhnya tidak bisa dibenarkan.
KEPALA Desa ibarat etalase dalam urusan akuntabilitas dan pelayanan publik.
KONFLIK lama Thailand-Kamboja yang kembali pecah sejak Kamis (24/7) tentu saja merupakan bahaya besar.
NEGERI ini memang penuh ironi. Di saat musim hujan, banjir selalu melanda dan tidak pernah tertangani dengan tuntas. Selepas banjir, muncul kemarau.
Berbagai unsur pemerintah pun sontak berusaha mengklarifikasi keterangan dari AS soal data itu.
EKS marinir TNI-AL yang kini jadi tentara bayaran Rusia, Satria Arta Kumbara, kembali membuat sensasi.
SEJAK dahulu, koperasi oleh Mohammad Hatta dicita-citakan menjadi soko guru perekonomian Indonesia.
MUSIBAH bisa datang kapan pun, menimpa siapa saja, tanpa pernah diduga.
MEGAPROYEK pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) pada awalnya adalah sebuah mimpi indah.
PROSES legislasi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Hukum Acara Pidana menunjukkan lagi-lagi DPR dan pemerintah mengabaikan partisipasi publik.
DIBUKANYA keran bagi rumah sakit asing beroperasi di Indonesia laksana pedang bermata dua.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved