Headline

Nyanyi Bareng Jakarta (NBJ) terinspirasi dari komunitas serupa di luar negeri yang mewadahi orang bernyanyi bersama tanpa saling kenal.

Suporter Koruptor

19/7/2025 05:00

PROSES legislasi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Hukum Acara Pidana menunjukkan lagi-lagi DPR dan pemerintah mengabaikan partisipasi publik. Pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) itu sempat mendapatkan kritik tajam karena rampung secara kilat, hanya dalam dua hari.

Kini, ketika RUU KUHAP tengah dibahas Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi Komisi III DPR RI, giliran lembaga antirasuah menyampaikan kerisauan. Sejumlah ketentuan dalam draf hasil pembahasan DIM dinilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat melemahkan pemberantasan korupsi.

Tidak tanggung-tanggung, ada 17 poin tentang potensi masalah di revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tersebut yang menjadi catatan KPK. Antara lain, keberlanjutan penanganan kasus di KPK hanya berdasarkan KUHAP. Padahal, lembaga antirasuah berpedoman pada KUHAP, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), dan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).

Kemudian, penyadapan hanya boleh dilakukan pada tahap penyidikan, dan harus dapat izin ketua pengadilan. Poin lain yang tidak kalah melemahkan ialah pencegahan ke luar negeri hanya terhadap tersangka. Artinya saksi tidak boleh dicegah.

Tentu saja hal itu akan sangat menyulitkan penyidik KPK untuk menggali keterangan terkait dengan perkara korupsi. Bisa dipastikan peluang terduga korupsi untuk melarikan diri sebelum dijerat sebagai tersangka akan terbuka lebar. Apa lagi itu namanya jika bukan melemahkan pemberantasan korupsi?

Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej memang telah menegaskan bahwa KUHAP dibentuk bukan untuk mengatur tindak pidana yang bersifat khusus atau lex specialis, melainkan yang bersifat hukum umum. Asas hukum menyebut lex specialis derogat legi generali bahwa hukum yang khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum.

Oleh karena itu, menurut Wamenkum, penanganan kasus tindak pidana korupsi oleh KPK akan tetap berpijak pada UU KPK dan UU Tipikor.

Namun, pernyataan Wamenkum hanya bersifat lisan. Tindak pidana lex specialis harus ditegaskan secara tertulis dan jelas dalam KUHAP, bahwa penanganan korupsi dikecualikan dari aturan-aturan KUHAP yang bertentangan dengan yang telah diatur dalam UU Tipikor dan UU KPK.

Tanpa penegasan secara tertulis dalam undang-undang, yang terjadi nantinya ialah debat kusir penafsiran undang-undang dan implementasinya dalam hal pemberantasan korupsi. Penyidik tindak pidana korupsi bakal mudah kena telikung. KPK tampaknya menyadari betul betapa asas hukum tersebut bisa saja diputarbalikkan hingga memaksa KPK harus berpedoman pada KUHAP. Itu sebabnya, KPK mengungkapkan kerisauan.

Kerisauan tersebut jangan pula dianggap enteng karena begitu besar dampaknya terhadap upaya pemberantasan korupsi. Pemerintah bersama DPR mestinya memberikan perhatian serius dan memperbaiki draf untuk mengakomodasi aspirasi KPK. Di situ pula, legislator bisa membuktikan bahwa penyusunan undang-undang benar-benar melibatkan partisipasi publik dan lembaga-lembaga terkait.

Cukup sudah upaya yang terus-menerus memperlemah KPK maupun menghambat penanganan korupsi. Rakyat juga sudah muak melihat para koruptor kerap mendapatkan keringanan hukuman, leluasa sogok sana-sini untuk mendapat fasilitas bintang lima di penjara, dan begitu cepat mendapatkan pembebasan dari bui.

Sudah menjadi kewajiban moral maupun fungsional pemerintah bersama DPR memperkuat pemberantasan korupsi. Bukan malah memperlemah dan dengan sendirinya menjadi suporter koruptor.

 



Berita Lainnya