Headline

Gaikindo membeberkan penyusutan penjualan mobil di Tanah Air.

Konflik Thailand-Kamboja Menguji ASEAN

Darmansjah Djumala Dubes RI untuk Austria dan PBB (2017-2021), dosen hubungan internasional FISIP Unpad
07/8/2025 05:05
Konflik Thailand-Kamboja Menguji ASEAN
(Dok. Pribadi)

PERBATASAN Thailand-Kamboja kini membara lagi. Kontak senjata serupa pernah meletus pada 2008. Jika dirunut balik ke belakang, konflik itu terjadi karena tidak jelasnya garis perbatasan Thailand-Kamboja. Ketika masih menjajah Indochina, pemerintah kolonial Prancis membuat peta pada 1907 dengan garis batas yang tak jelas. Justru di sepanjang perbatasan itulah, Kuil Preah Vihear dan candi-candi lain, seperti Ta Muen Thom dan Ta Muen Toch, terletak.

Sejatinya, pada 1962 International Court of Justice (ICJ) memutuskan Kuil Preah Vihear berada di wilayah Kamboja berdasarkan peta yang dibuat Prancis pada 1907. Namun, keputusan ICJ itu tidak mencakup status wilayah di sekitarnya. Pada 2008 UNESCO menetapkan candi itu sebagai situs warisan dunia milik Kamboja.

Ternyata keputusan ICJ dan UNESCO itu masih menyisakan masalah: di mana batas wilayah antara Thailand dan Kamboja? Itulah inti pusaran sengketa kedua negara yang sampai saat ini sering memantik konflik bersenjata.

Di balik peta dan garis batas yang tak jelas, Kuil Preah Vihear menjadi simbol perebutan kedaulatan. Menjadi pertanyaan: mengapa Kuil Preah Vihear menjadi objek sengketa? Jika dilihat dari perspektif sumber konflik tradisional, konflik Thailand-Kamboja terkait dengan Kuil Preah Vihear ini cukup unik: konflik yang dipicu warisan budaya (cultural heritage). Merujuk pendapat ahli, kini dunia tak lagi pusing dengan persaingan ideologi. Faktor budaya malah menjadi motor penggerak dalam peningkatan intensitas hubungan internasional (Michael J Mazarr, Culture in International Relations, Global Policy Forum, Spring 1996).

Dalam konteks inilah konflik Thailand-Kamboja atas Kuil Preah Vihear menemukan relevansinya. Persepsi strategis Thailand dan Kamboja terhadap satu produk budaya (dalam hal ini candi) menentukan cara mereka menilai hubungan mereka satu sama lain. Candi bukan lagi sekadar benda budaya, melainkan sesuatu yang sudah menjelma menjadi benda politik simbol kedaulatan negara. Persepsi strategis seperti itulah yang menjadi pencetus konflik bersenjata di perbatasan.

Konflik antara Thailand dan Kamboja, jika berkepanjangan, dapat mencoreng nama baik ASEAN, yang selama ini dikenal sebagai kawasan relatif stabil. Meski setuju untuk gencatan senjata, konflik itu masih menyimpan api di balik sekam. ASEAN dihadapkan pada ujian sejarah: mampukah entitas regional ini menyelesaikan konflik di antara negara anggota mereka sendiri?

Ada beberapa tantangan yang akan dihadapi ASEAN jika ingin menyelesaikan konflik. Pertama, kendala normatif. Pasal 2 Piagam ASEAN menegaskan prinsip 'non-interference' dalam urusan dalam negeri negara anggota. Prinsip itu membuat negara anggota rikuh mencampuri konflik bilateral. Jikapun ada negara anggota yang bersedia untuk memediasi konflik, hal itu bergantung pada konsensus politik bilateral kedua negara yang bertikai.

Pernah tercatat Indonesia berinisiatif menjadi mediator konflik Thailand-Kamboja pada 2011. Meski Indonesia mampu mempertemukan pejabat tinggi kedua pihak untuk memulai dialog, penyelesaian akhir konflik itu justru diputuskan ICJ. Bukan oleh ASEAN sendiri. Di sini terlihat bahwa prinsip non-interference menjadi kendala psikologis bagi negara anggota ASEAN untuk menyelesaikan masalah internal mereka.

Kedua, kendala struktural. ASEAN tidak memiliki lembaga penegakan hukum yang kuat dalam menyelesaikan konflik antaranggota mereka. Menurut laporan International Crisis Group (2011), berulangnya konflik Preah Vihear mencerminkan 'ASEAN lacks the institutional tools to effectively intervene in intra-regional disputes'.

Meskipun ada Piagam ASEAN yang mengatur penyelesaian sengketa, mekanismenya sering kali bersifat sukarela, tidak mengikat, dan bergantung pada kemauan politik negara anggota yang berkonflik. Peran yang dimainkan ASEAN dalam konflik internal lebih bersifat fasilitatif, bukan enforcement (pelaksanaan) atau coersive (paksaan).

Dalam rumusan Donald E Weatherbee, ASEAN ialah 'a diplomatic community, not a security community' (International Relations in Southeast Asia, 2014). Artinya, ASEAN lebih piawai sebagai forum diskusi ketimbang sebagai aktor resolusi konflik. Karakter penyelesaian konflik model itu sangat rentan dengan intervensi asing, terutama oleh negara-negara yang mempunyai kepentingan strategis di kawasan.

Ketiga, model penyelesaian di atas menghadapkan ASEAN pada kendala selanjutnya, yaitu rivalitas geopolitik. Tantangan yang dihadapi ASEAN dalam menyelesaikan konflik Thailand-Kamboja menjadi semakin kompleks jika dilihat dari perspektif geopolitik Asia-Pasifik. Kawasan itu diwarnai semakin tajamnya rivalitas Amerika Serikat versus Tiongkok.

Rivalitas kekuatan besar ini memaksa anggota ASEAN memiliki sikap sendiri-sendiri ketika berurusan dengan dua negara tersebut. Masyarakat internasional tentu tidak lupa bagaimana 'tunduknya' Kamboja pada tekanan Tiongkok saat KTT ASEAN 2012 di Phnom Penh. Diduga karena tekanan Tiongkok, Kamboja sebagai tuan rumah KTT tidak memasukkan isu Laut China Selatan dalam agenda pembahasan.

Beribu alasan bisa diucapkan. Namun, tidak masuknya isu Laut China Selatan dalam pertemuan mahapenting bagi ASEAN jelas menunjukkan pengaruh Tiongkok yang kuat terhadap kebijakan luar negeri Kamboja. Sementara itu, Thailand, Filipina, dan Singapura, meski di bidang ekonomi berhubungan erat dengan Tiongkok, dalam aspek strategis, pertahanan, politik, dan militer ketiga negara ini lebih dekat ke Amerika Serikat.

Dengan konstelasi kedekatan seperti itu, sulit membayangkan soliditas ASEAN dalam menyikapi konflik Thailand-Kamboja. Tersebab kepentingan geopolitik AS versus Tiongkok, posisi ASEAN dalam konflik Thailand-Kamboja akan terbelah. Indikasi campur tangan asing sudah kelihatan: pada pertemuan mediasi yang diinisiasi PM Malaysia Anwar Ibrahim pada 28 Juli lalu Dubes AS dan Dubes Tiongkok ikut hadir.

Sejauh ini ada persepi publik bahwa ASEAN sangat ingin mencitrakan diri sebagai entitas regional yang mandiri. Bahkan menjadi aktor utama dan pusat dari proses kerja sama dan arsitektur keamanan serta ekonomi di kawasan Asia Tenggara dan lebih luas lagi di kawasan Indo-Pasifik (ASEAN Centrality). Namun, kehadiran wakil dua negara adikuasa di pertemuan mediasi oleh Malaysia mengindikasikan adanya 'pengaruh' pihak ketiga.

Publik bisa saja menafsirkan itu sebagai inferioritas ASEAN terhadap negara adikuasa. Apa pun tafsir yang ditawarkan, satu hal yang jelas, yaitu telah terjadi pergeseran besar dalam narasi geopolitik kawasan: konflik regional ASEAN kini semakin terbuka sebagai ajang kontestasi global.

Dengan komplikasi hubungan antara ASEAN, AS, dan Tiongkok, konflik Thailand-Kamboja benar-benar menguji ASEAN. Menghadapkan mereka pada tantangan tidak ringan. Kendala normatif dan struktural bisa membuka pintu masuk bagi pihak ketiga untuk cawe-cawe dalam konflik.

Dalam banyak kasus, intervensi asing akibat rivalitas kepentingan geopolitik negara adikuasa lebih sering memperparah, alih-alih menyelesaikan konflik. Jika ASEAN ingin tetap menjadi entitas regional yang mandiri dan relevan bagi negara anggota dan kawasan, mereka harus kembali pada khitah mereka: menyelesaikan konflik internal mereka dengan jalan damai, dialog, dan konsensus.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya