Headline
Kementerian haji dan umrah menaikkan posisi Indonesia dalam diplomasi haji.
Kementerian haji dan umrah menaikkan posisi Indonesia dalam diplomasi haji.
PUTUSAN Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pelaksanaan pemilu menjadi pemilu nasional dan daerah menuai heboh yang belum berkesudahan. Beragam pandangan dan sikap dari banyak kalangan merespons putusan tersebut. Partai politik merupakan pihak yang paling tajam dan cenderung sinis ketika memberikan pendapat mereka. Pernyataan yang disampaikan sebagai respons atas putusan itu cenderung menempatkan MK sebagai pihak yang salah dan melanggar konstitusi.
Partai-partai politik, khususnya pemilik kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), memang pihak yang paling tidak happy dengan putusan ini. Dalam pandangan mereka, putusan ini tidak hanya mengambil kewenangan lembaga legislatif sebagai pembentuk undang-undang karena MK membuat norma baru, tetapi juga Mahkamah diduga kuat melakukan pelanggaran konstitusi. Pemisahan waktu pelaksanaan pemilu bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Ini adalah perkara besar yang tidak bisa dibiarkan terjadi.
Ketua DPR Puan Maharani menyebut putusan pemisahan pemilu nasional dan lokal (daerah) menyalahi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUDNRI) 1945. Pelaksanaan pemilu daerah dua atau dua setengah tahun sejak pelantikan anggota legislatif nasional atau presiden dan wakil presiden terpilih bertentangan dengan periodesasi pelaksanaan pemilu lima tahun sekali. Fraksi-fraksi di DPR, sebutnya, akan melakukan konsolidasi untuk menyikapi hal tersebut.
Tidak jauh berbeda, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyatakan lembaganya tidak mau tergesa-gesa mengambil sikap melakukan rekayasa konstitusi. Perlu dilakukan kajian dan simulasi sebelum lembaga legislatif menerima atau menolak putusan dari lembaga penafsir tunggal konstitusi. Alat kelengkapan dewan ikut mengkaji putusan yang mahapenting ini. Hasilnya tidak berbeda jauh dengan sikap yang disampikan pimpinan DPR. Bahkan, seorang kader Partai Gerinda yang duduk di Komisi II menyatakan tidak menutup kemungkinan DPR tidak akan melaksanakan amar putusan MK karena ada dugaan pertentangan dengan konstitusi.
MK sendiri telah membantah pendapat yang menyatakan putusan itu memunggungi konstitusi. Pemisahan pemilu nasional dan daerah sejalan dengan pendapat hukum mahkamah dalam putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang memuat model-model keserentakan pemilu. Salah satu model tersebut adalah sebagaimana yang ada dalam putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024. Tafsir konstitusional terhadap Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) bukanlah pelaanggaran karena MK menegaskan agar pembentuk UU melakukan rekayasa konstitusi (constitutional engineering) untuk mengatur masa peralihan.
Sebagai satu-satunya lembaga yang diberi mandat oleh konstitusi sebagai penafsir tunggal konstitusi, MK memiliki otoritas penuh dalam menguji konstitusionalitas sebuah kata, frasa, ayat, pasal, bahkan sebuah UU terhadap UUD. Putusannya pun bersifat final, mengikat, dan berlaku seketika bagi semua orang. Ia harus diterima dengan suka atau terpaksa.
Sikap menolak yang diperlihatkan petinggi partai dan politisi senayan tersebut berkebalikan ketika MK mengeluarkan Putusan Nomor 90/PUU XXI/2023 yang memberi karpet merah bagi Gibran Raka Buming Raka, putra sulung Joko Widodo, maju sebagai calon wakil presiden. Putusan ini bahkan memuat norma baru, mengatur batasan usia seseorang yang berhak menjadi calon presiden dan/atau wakil presiden. Menariknya, jika membaca secara cermat putusan ini, tampak keganjilan antara pendirian hukum para hakim (ada yang dissenting opinion dan concurring opinion) dengan amar putusan. Akan tetapi, tidak ada reaksi apalagi resistansi dari Senayan dan Istana.
BATANG TARANDAM
Memisahkan waktu pelaksanaan pemilu anggota DPRD dan menggabungkannya dengan pilkada sesungguhnya bukan hal baru. Jauh sebelumnya, gagasan pemilu serentak DPRD dengan kepala daerah sudah ada sejak Orde Lama. Dalam memori penjelasan bagian umum UU Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah disebutkan masa jabatan kepala daerah seharusnya disesuaikan dengan masa pemilihan anggota DPRD-nya sehingga kepala daerah itu berdiri dan jatuh bersama-sama dengan DPRD-nya itu.
Penjelasan ini menyiratkan sudah ada kehendak pembentuk undang-undang pada masa itu untuk melakukan pemilu bersama memilih anggota DPRD dan kepala daerah dalam satu paket waktu yang sama secara langsung. Terpisah dengan pelaksanaan pemilu nasional.
Dalam kerangka ini perlu pula ditegaskan ternyata sedari awal sistem pemilihan secara langsung untuk mengisi jabatan kepala daerah telah didesain oleh pembentuk UU ini. Menarik mencermati dasar pemikiran yang mereka gunakan. Bahwa seorang kepala daerah sebelum diserahi kepercayaan dan kekuasaan, haruslah orang yang dekat dan dikenal oleh masyarakatnya. Berhubung dengan itu, jalan satu-satunya untuk memenuhi maksud tersebut ialah bahwa kepala daerah itu haruslah dipilih langsung oleh rakyat dari daerah yang bersangkutan.
Namun, sangat disayangkan pemilihan langsung kepala daerah pada masa tersebut tidak berhasil diselenggarakan karena situasi keamanan dan politik pemerintahan yang belum stabil. Kondisi masyarakat dan daerah 'belum sampai kepada suatu taraf yang dapat menjamin berlangsungnya pemilihan dengan diperolehnya hasil-hasil dari pemilihan itu yang sebaik-baiknya. Perlu waktu setidaknya empat tahun untuk memastikan dan mempersiapkan berbagai ketentuan yang lebih bersifat praktis berkaitan dengan pelaksanaan pilkada langsung. Sekaitan dengan itu, pengisian jabatan kepala daerah untuk sementara dilakukan melalui DPRD setempat.
Celakanya, model pemilihan kepala daerah melalui DPRD ini menjadi pilihan aman bagi pemerintah yang sedang berkuasa. Perubahan undang-undang yang mengatur pemerintahan daerah silih berganti dilakukan. Namun, norma yang mengatur soal model pengisian jabatan kepala daerah tidak pernah disentuh. Baru setelah rezim pemerintahan Orde Baru berakhir, untuk pertama kali, tahun 2005 dilakukan pilkada langsung dengan dasar hukum UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Sekarang, upaya untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah melalui DPRD seperti yang dipraktikkan penguasa Orde Baru ramai disuarakan. Pemikiran politisi saat ini ternyata jauh lebih mundur dari para politisi awal-awal kemerdekaan. Para politisi yang membangun karire politik di masa demokrasi modern ternyata tidak memberi jaminan cara berfikirnya juga modern dan visioner.
Keinginan menggabungkan waktu pemilihan DPRD dengan kepala daerah secara serentak tidak bisa dilepaskan dari konteks situasi politik dan demokrasi saat itu. Keberhasilan pelaksanaan Pemilu 1955 yang dianggap cukup demokratis turut menjiwai semangat pembentuk UU No 1/1957. Semangat mewujudkan kedaulatan rakyat cukup terasa. Usaha untuk memperkuat sekaligus membangun kemandirian pemerintahan daerah, jauh dari bayang-bayang kekuasaan hegemonik pusat yang mendikte daerah dilakukan secara sungguh-sungguh. Nuansa ini tergambarkan dalam keseluruhan memori penjelasan UU tersebut.
Karena itu, ketika MK memisahkan pemilu nasional dan daerah, semestinya tidak perlu ada penolakan dengan mencari berbagai alasan. Pemilu daerah produk MK itu bukan ahistoris. Sebaliknya, seperti pepatah Melayu, putusan ini seperti mengangkat batang tarandam. MK telah membayar utang sejarah yang begitu lama di(ter)kubur dan ingin kembali diperdalam kuburnya oleh politisi yang saat ini sedang memegang palu kekuasaan.
Putusan MK itu diyakini sudah melalui berbagai kajian dan pertimbangan berbagai aspek. Hal ini bisa dibaca dalam pertimbangan hukum mahkamah sebagai gambaran pendapat dan sikap hukukm para hakim (ratio decidendi) sebelum sampai pada kesimpulan dan amar putusan. Putusan ini satu rangkain sikap hukum mahkamah dengan putusan sebelumnya, yaitu putusannya nomor 55/PUUXVII/2019 yang mana salah satu model keserentakan pemilu yang konstitusional ditawarkan kepada pembentuk undang-undang adalah pemilu serentak lokal atau daerah (poin 3.16 opsi nomor 4).
KEPATUHAN HUKUM
Pemilu daerah merupakan upaya mengembalikan hakikat kedaulatan rakyat yang bermakna. Mereka diberikan ruang waktu dan kesempatan yang luas untuk menimbang kadar seseorang yang akan dipilih menjadi pemimpin atau wakil mereka. Pemilu daerah menjadi salah satu jembatan untuk mendekatkan secara nyata hubungan wakil rakyat dengan konstituennya. Pemimpin daerah dengan rakyatnya. Alangkah ironisnya bila pemilu justru membuat pemilih menjadi orang asing di hadapan politisi yang mereka pilih untuk menjadi perpanjangan tangan dan lidah meraka.
Akhirnya, sebagai negara hukum, cara terbaik menyikapi putusan MK itu hanyalah dengan menaati dan menjalankannya. Pembentuk undang-undang sejatinya tidak mempermasalahkan, apalagi menolak putusan yang lahir lembaga penafsir tunggal konstitusi.
Ini merupakan momentum sejarah untuk menata ulang pemilu kita menjadi lebih demokratis sesuai dengan perkembangan dan dinamika demokrasi dan ketatanegaraan. Putusan ini bukan untuk ditolak, tetapi untuk ditelaah selanjutnya diimplementasikan melalui perubahan Undang-Undang Pemilu.
Para pemegang kuasa di dua cabang kekuasaan negara, yaitu DPR dan pemerintah, tidak perlu marah dan tersinggung dengan putusan pengadilan konstitusi, apalagi sampai mempreteli kedudukan hakim konstitusi dengan merevisi UU-nya. Kedewasaan perlu diperlihatkan ketika menyikapi putusan lembaga pengadilan sekalipun putusan tersebut tidak disukai karena merugikan kekuasaan yang sedang digenggam. Itu karena sebagai negara hukum, kekuasaan harus tunduk dan wajib ditundukkan di bawah hukum.
Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa biaya transportasi LPG 3 kilogram (kg) bukan merupakan obyek pajak. Hal itu ditegaskan MK pada putusannya nomor 188/PUU-XXII/2024.
Fajri menilai proses pemilihan oleh DPR tidak sesuai dengan tata cara pemilihan hakim konstitusi dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK).
Jalan keluarnya antara lain mengkodifikasi semua undang-undang terkait pemilu dan politik ke dalam satu payung hukum tunggal, mungkin melalui metode omnibus law.
Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Feri Amsari menyoroti proses seleksi calon hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang akan menggantikan posisi hakim Arief Hidayat.
Koordinator Tim Kuasa Hukum Iwakum, Viktor Santoso Tandiasa, menilai Pasal 8 UU Pers tidak memberikan kepastian hukum bagi wartawan
Faktor pertama kenaikan PBB adalah semakin tidak terbendungnya pola politik transaksional dan politik berbiaya tinggi dalam Pilkada langsung.
Selama Pilkada 2024, TVRI menayangkan sebanyak 439 debat mulai dari tingkat provinsi hingga kabupaten/kota.
SEKJEN Partai Gerindra Sugiono merespons usulan gubernur dipilih oleh pemerintah pusat.
KOMITE Pemilih Indonesia (Tepi Indonesia) menolak wacana pengembalian sistem pemilihan kepala daerah atau pilkada dari pemilihan langsung oleh rakyat menjadi pemilihan oleh DPRD
Titi Anggraini menyebut pilkada lewat DPRD tidak relevan lagi membedakan rezim Pilkada dan Pemilu setelah ada putusan Mahkamah Konstitusi atau MK
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved