Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Vonis Ringan Koruptor Dana Pandemi

10/6/2025 05:00

UPAYA memberantas korupsi di negeri ini seperti tidak ada ujungnya. Tiap rezim pemerintahan mencetuskan tekad memberantas korupsi. Namun, alih-alih perilaku korup semakin terkikis, koruptor justru masih merajalela.

Mungkin dalam pikiran mereka, ancaman sanksi pidana tidak menakutkan. Toh vonis hakim biasanya ringan dan bisa saja 'dibeli'. Bila demikian pikiran mereka, sama sekali tidak salah. Vonis ringan untuk koruptor memang sudah menjadi kebiasaan.

Terbaru, vonis majelis hakim yang diketuai Syofia Marlianti Tambunan terhadap tiga pelaku korupsi alat pelindung diri (APD) covid-19. Eks Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan, Budi Sylvana, dijatuhi hukuman 3 tahun penjara dan denda sebesar Rp100 juta subsider 2 bulan kurungan. Vonis itu lebih ringan ketimbang tuntutan jaksa, yakni 4 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan.

Kemudian, Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri (PPM) Ahmad Taufik dijatuhi hukuman 11 tahun penjara serta Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (EKI) Satrio Wibowo divonis 11 tahun dan 6 bulan. Padahal, jaksa menuntut bui 14 tahun dan 4 bulan untuk Ahmad serta 14 tahun dan 6 bulan untuk Satrio.

Majelis hakim menggunakan alasan klasik 'belum pernah dihukum' dan 'punya tanggungan keluarga' untuk meringankan hukuman. Terhadap Budi, hukuman hanya 3 tahun karena ia terbukti tidak menerima uang hasil kongkalikong.

Hakim menutup mata pada perbuatan para pelaku yang merugikan rakyat yang jumlahnya jauh lebih banyak daripada 'tanggungan keluarga' pelaku. Yang lebih memprihatinkan lagi, majelis hakim menafikan bahwa korupsi ketiga pelaku dilakukan pada masa penanganan bencana nasional pandemi covid-19.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) pada Pasal 2 ayat (2) menyebutkan, ketika tindak pidana korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu, pelaku dapat dijatuhi pidana mati. Dalam penjelasan pasal tersebut, keadaan tertentu di antaranya pada waktu terjadi bencana alam nasional.

Bukan hanya itu, majelis hakim tidak mengindahkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2020. Aturan itu mengelompokkan korupsi dengan kerugian negara di atas Rp100 miliar sebagai kategori paling berat. Hakim diberi panduan untuk menjatuhkan vonis 16-20 tahun hingga seumur hidup untuk pelaku dengan tingkat kesalahan tinggi dan kerugian negara paling berat. Ahmad dan Satrio masuk kategori itu. Nyatanya, hukuman yang dijatuhkan hanya 11 tahun penjara.

Jika mengacu pada Perma No 1/2020 tersebut, Budi yang disebut tidak menerima uang hasil korupsi bisa saja masuk kelompok kesalahan terendah. Itu pun, dengan kerugian negara kategori paling berat, Budi semestinya dijatuhi hukuman 10-13 tahun penjara.

Hakim memang memiliki diskresi untuk menjatuhkan hukuman. Akan tetapi, ketika putusan yang dijatuhkan jauh dari rasa keadilan, patut diduga ada potensi penyelewengan.

Maka, tidak keliru bila banyak kalangan mendorong Komisi Yudisial (KY) menyelidiki vonis tersebut. Rekam jejak MA yang cenderung mengabaikan rekomendasi KY jangan dijadikan penghalang. Setidaknya, beri jawaban atas keingintahuan publik tentang ada atau tidaknya praktik lancung dalam tiap vonis ringan koruptor.

Sampai sekarang pun, publik belum mendapatkan kejelasan apakah majelis hakim pemberi vonis super-ringan kepada Harvey Moeis dkk telah melakukan penyelewengan atau tidak. Hakim ketuanya, Eko Aryanto, malah sudah dimutasi dua kali, ke Sidoarjo lalu ke Papua Barat, sejak menjatuhkan vonis perkara korupsi timah pada 23 Desember 2024.

Kita dorong KY menormalisasi dilakukan penyelidikan tiap kali vonis ringan dijatuhkan hakim. Tidak perlu menunggu ada pengaduan. Dengan begitu, kita berharap normalisasi vonis ringan oleh hakim terhadap koruptor dapat disetop dan hukum benar-benar tegak.

 



Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik