Headline
AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.
Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.
PEMERINTAH disebut akan mengusulkan agar Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Aset masuk program legislasi nasional (prolegnas). Banyak pihak yang bergembira serta mendukung rencana yang dilontarkan Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas itu. Namun, ada pula yang waswas ketakutan bila regulasi itu benar-benar hadir di Tanah Air.
Jika publik bersorak atas hadirnya undang-undang itu kelak, para koruptor yang mengumpulkan sepiring nasi dan segenggam berlian dari mencoleng uang negara bakal habis-habisan menolak. Berbagai siasat akan dipasang agar undang-undang yang diyakini bakal membuat kecut koruptor itu kandas, atau kabur tak jelas kapan diwujudkan.
Berbagai analisis menyebutkan bahwa yang ditakuti koruptor bukan kematian, melainkan kemiskinan. Bagi pencoleng uang negara itu, kematian tetap bisa dinegosiasikan dengan uang. Vonis hukuman mati bahkan bisa berbalik 180 derajat menjadi bebas asal para aparat hukum bisa diajak kompromi.
Akan tetapi, bila aset dirampas bahkan sampai ke ahli waris, itu bermakna kematian sejati koruptor. Jika ia miskin karena hartanya diputuskan dirampas oleh negara akibat perilaku jahatnya yang membuat masyarakat sengsara, sulit baginya untuk mengulang kejayaan dengan menumpuk harta.
Kegeraman terhadap koruptor sebenarnya sudah berulang kali diungkapkan oleh Presiden Prabowo Subianto. Oleh karena itu, Prabowo juga sudah beberapa kali mengaku mendorong koruptor harus mengembalikan terlebih dahulu kerugian negara yang mereka timbulkan. Namun, Presiden juga menyadari fakta berbicara berbeda.
Tidak ada koruptor yang dengan kesadaran diri sendiri mengaku salah dan mau mengembalikan kerugian negara. Koruptor lebih memilih berhadapan dengan hakim di meja persidangan. Apalagi, sudah berulang kali terungkap bahwa hakim bisa diajak bermain mata dengan para terdakwa demi fulus dari bawah meja.
Para pencoleng meyakini perumpamaan satire ‘semua urusan memakai uang tunai’. Ketimbang seluruh uang disita negara, mereka lebih memilih untuk berbagi uang dengan aparatur negara yang sama-sama bermental pemburu rente. Bagaimana bisa mengharapkan ada efek jera kalau para penjahat kerah putih itu masih merasa di atas angin.
Itu sebabnya publik mendukung ada pengaturan tentang perampasan aset bagi pengerat uang negara. Namun, dalam Rapat Paripurna DPR pada 19 November 2024, para wakil rakyat hanya memasukkan RUU itu ke dalam prolegnas jangka menengah 2025-2029, bukan sebagai Prolegnas Prioritas 2025. Mereka berdalih pengesahan RUU Perampasan Aset tidak bisa dilakukan secara tergesa-gesa dan harus dilakukan kajian terlebih dahulu terkait dengan kecocokan atas sistem hukum di Indonesia.
Alasan bisa saja diciptakan sesuka hati mengacu pada keinginan dan kepentingan. Toh, DPR sebenarnya bisa juga membahas sejumlah undang-undang secara kilat dan sistematis. Sebut saja, revisi UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) dan revisi UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Dua undang-undang yang tidak masuk prolegnas prioritas itu bisa tuntas hingga disahkan dalam hitungan hari.
Sayangnya, semangat menggebu-gebu untuk menggelar rapat dan lembur yang sama tidak muncul di pembahasan RUU Perampasan Aset. Maka, Menteri Supratman Andi Agtas mengakui pembahasan RUU itu tinggal menyangkut soal politik yang membutuhkan komunikasi sungguh-sungguh dengan partai politik.
Publik tentu menghendaki ada ketegasan pemerintah dalam menerapkan pemerintahan bersih, bukan sekadar basa-basi. Masyarakat tentu mendukung seribu persen bila pemerintah jadi mendorong RUU Perampasan Aset untuk masuk Prolegnas Prioritas 2025. Kalaupun banyak partai politik menolak, yakinlah publik ada di belakang pemerintah dalam soal ini, karena publik sudah lama merasa negeri ini tengah diselimuti darurat korupsi.
Situasi darurat jelas membutuhkan langkah darurat. Menjadikan RUU Perampasan Aset sebagai prolegnas prioritas di 2025 adalah wujud respons yang juga sangat cepat atas kondisi darurat itu.
ADA-ADA saja dalih yang diciptakan oleh Amerika Serikat (AS) untuk menyerbu negara lain.
PENGESAHAN Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) adalah sebuah keniscayaan.
VONIS yang baru saja dijatuhkan kepada para pelaku mafia hukum dalam perkara Ronald Tannur kian menunjukkan dewi keadilan masih jauh dari negeri ini
ESKALASI konflik antara Iran dan Israel tidak menunjukkan tanda-tanda surut.
KITA sebenarnya sudah kenyang dengan beragam upaya manipulasi oleh negara. Namun, kali ini, rasanya lebih menyesakkan.
GENAP lima bulan Paulus Tannos ditangkap lembaga antikorupsi Singapura, Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB).
PEREBUTAN empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatra Utara belakangan menyesaki ruang informasi publik.
KEADILAN di negeri ini sudah menjadi komoditas yang kerap diperjualbelikan. Hukum dengan mudah dibengkokkan.
ADA petuah bijak bahwa angka tidak pernah berbohong. Dalam bahasa Inggris, petuah itu berbunyi numbers never lie.
PERILAKU koruptif lebih didorong hasrat ketamakan dalam diri pelakunya (corruption by greed) ketimbang karena kebutuhan.
SUDAH semestinya negara selalu tunduk dan taat kepada konstitusi, utamanya menjaga keselamatan rakyat dan wilayah, serta memastikan hak dasar masyarakat dipenuhi.
UPAYA memberantas korupsi di negeri ini seperti tidak ada ujungnya. Tiap rezim pemerintahan mencetuskan tekad memberantas korupsi.
PERILAKU korupsi di negeri ini sudah seperti kanker ganas. Tidak mengherankan bila publik kerap dibuat geleng-geleng kepala oleh tindakan culas sejumlah pejabat.
DI tengah kondisi ekonomi yang sedang tidak baik-baik saja, soliditas di antara para punggawa pemerintah sangat dibutuhkan.
DALAM semua kondisi ancaman bahaya, kepanikan dan kelengahan sama buruknya. Keduanya sama-sama membuahkan petaka karena membuat kita tak mampu mengambil langkah tepat.
PANCASILA telah menjadi titik temu semua kekuatan politik di negeri ini.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved