Headline
Gencatan senjata diharapkan mengakhiri perang yang sudah berlangsung 12 hari.
Gencatan senjata diharapkan mengakhiri perang yang sudah berlangsung 12 hari.
Kehadiran PLTMG Luwuk mampu menghemat ratusan miliar rupiah dari pengurangan pembelian BBM.
DI negeri ini, mendisiplinkan pejabat dalam soal penyerahan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) bak menangkap belut dalam oli, sangat licin. Tengoklah kepatuhan penyerahan LHKPN 2024. Meski batas akhir penyerahan laporan sudah dilonggarkan dari akhir Maret 2025 menjadi Jumat (11/4) lalu, masih ada lebih dari 16 ribu penyelenggara negara yang belum menyerahkan LHKPN mereka ke KPK.
Berdasarkan data KPK, hingga batas akhir itu, masih ada 16.668 penyelenggara negara yang belum melaporkan harta kekayaan mereka. Itulah mengapa tingkat kepercayaan publik kepada para penyelenggara negara lemah. Tingkat kedisiplinan penyelenggara negara dalam melaporkan harta kekayaan mereka sekaligus menjadi cermin bagaimana para pejabat itu bisa disiplin mengelola hal yang menjadi tugas mereka, termasuk mengelola keuangan negara.
Wajar bila sebagian publik curiga jangan-jangan keengganan penyelenggara negara menyerahkan LHKPN itu dilatarbelakangi oleh strategi menyembunyikan harta mereka. Jika ia seorang pejabat pucuk pimpinan di institusi pemerintahan, tidak bisa disalahkan pula jika publik pesimistis untuk menaruh kepercayaan kepada pucuk pimpinan birokrasi yang bertipe tidak transparan itu untuk mengelola APBD atau APBN.
Masyarakat yang hingga saat ini masih belum bebas dari impitan berbagai masalah, utamanya ekonomi, bisa jadi kian antipati kepada penyelenggara negara bermental seperti itu. Di tengah daya beli masyarakat yang masih rendah, terus munculnya ribuan pengangguran baru akibat gelombang PHK, kekecewaan publik kian bertambah oleh kelakuan sejumlah pejabat negara yang tak taat aturan itu.
Kewajiban menyerahkan LHKPN merupakan perintah dari UU No 28/1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Artinya, aturan itu sudah berusia 27 tahun. Faktanya, hampir tiga dekade aturan tersebut diterapkan, hingga kini masih banyak penyelenggara negara yang berani melanggarnya. Bukan satu-dua, melainkan belasan ribu orang.
Bisa jadi karena sudah uzur, aturan itu kini tak lagi banyak yang mengindahkan. Apalagi dalam aturan itu hanya mencantumkan sanksi administratif bagi mereka yang melanggar, bukan sanksi pidana. "Tenang saja, semua aturan bisa diatur," begitu barangkali pikir mereka.
Belasan ribu penyelenggara negara yang jelas melawan aturan itu menjadi bukti makin majalnya amanat reformasi. Kehidupan bernegara yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) jadi kehilangan arah oleh kelakuan para abdi negara tersebut.
Lemahnya sanksi yang ada jadi biang kerok penyelenggara negara tak takut melanggar perintah UU tersebut. Jangankan yang tak melapor, yang menyerahkan laporan, tapi isinya penuh keanehan pun tak diberi sanksi tegas. KPK paling hanya menyerahkan kembali laporan itu kepada pembuatnya dengan memberi catatan agar LHKPN tersebut segera diperbaiki.
Semua itu berhulu dari masih setengah hatinya UU tersebut dibuat oleh para pembuatnya kala itu.
Jika perang terhadap KKN ialah harga mati, DPR dan pemerintah saat itu tentu tak akan membuat beleid 'macan ompong' yang cuma galak pada tampangnya.
Sebagai jalan keluar, sudah saatnya KPK membuat aturan yang lebih tegas untuk mendisiplinkan para penyelenggara negara itu. Dorongan berbagai pihak akan perlunya dibuat hukuman yang lebih riil, misalnya penundaan pembayaran gaji atau promosi jabatan yang ditunda bagi pelanggarnya, ialah usul yang amat bisa dieksekusi segera.
Tak apa hukuman itu terbilang terlambat jika baru diberlakukan saat ini. Namun, daya pukulnya jelas sangat terasa ketimbang sanksi administrasi yang bentuknya hanya teguran tertulis. Itu pun jika atasannya menyerahkan LHKPN karena tentunya sulit ditemukan ada atasan yang bandel berani menghukum bawahan yang sama bandelnya.
Membangun kedisiplinan membutuhkan aturan dan pelaksanaannya yang lebih tegas. Apalagi membuat LHKPN itu ialah sesuatu yang simpel. Jika hartanya bersih, untuk apa tak dilaporkan? Jika tak ada yang hendak ditutup-tutupi, untuk apa tidak terbuka?
PRESIDEN Prabowo Subianto akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2025 tentang Penanganan Secara Khusus dan Pemberian Penghargaan bagi Saksi Pelaku, akhir pekan lalu.
ADA-ADA saja dalih yang diciptakan oleh Amerika Serikat (AS) untuk menyerbu negara lain.
PENGESAHAN Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) adalah sebuah keniscayaan.
VONIS yang baru saja dijatuhkan kepada para pelaku mafia hukum dalam perkara Ronald Tannur kian menunjukkan dewi keadilan masih jauh dari negeri ini
ESKALASI konflik antara Iran dan Israel tidak menunjukkan tanda-tanda surut.
KITA sebenarnya sudah kenyang dengan beragam upaya manipulasi oleh negara. Namun, kali ini, rasanya lebih menyesakkan.
GENAP lima bulan Paulus Tannos ditangkap lembaga antikorupsi Singapura, Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB).
PEREBUTAN empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatra Utara belakangan menyesaki ruang informasi publik.
KEADILAN di negeri ini sudah menjadi komoditas yang kerap diperjualbelikan. Hukum dengan mudah dibengkokkan.
ADA petuah bijak bahwa angka tidak pernah berbohong. Dalam bahasa Inggris, petuah itu berbunyi numbers never lie.
PERILAKU koruptif lebih didorong hasrat ketamakan dalam diri pelakunya (corruption by greed) ketimbang karena kebutuhan.
SUDAH semestinya negara selalu tunduk dan taat kepada konstitusi, utamanya menjaga keselamatan rakyat dan wilayah, serta memastikan hak dasar masyarakat dipenuhi.
UPAYA memberantas korupsi di negeri ini seperti tidak ada ujungnya. Tiap rezim pemerintahan mencetuskan tekad memberantas korupsi.
PERILAKU korupsi di negeri ini sudah seperti kanker ganas. Tidak mengherankan bila publik kerap dibuat geleng-geleng kepala oleh tindakan culas sejumlah pejabat.
DI tengah kondisi ekonomi yang sedang tidak baik-baik saja, soliditas di antara para punggawa pemerintah sangat dibutuhkan.
DALAM semua kondisi ancaman bahaya, kepanikan dan kelengahan sama buruknya. Keduanya sama-sama membuahkan petaka karena membuat kita tak mampu mengambil langkah tepat.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved