Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Membarter Komponen Dalam Negeri

12/4/2025 05:00

SUDAH sepekan lebih ekonomi banyak negara, termasuk Indonesia, dibuat seperti roller coaster oleh kebijakan baru Amerika Serikat (AS). Nilai tukar mata uang dan pasar modal global dibuat jungkir balik oleh kebijakan tarif baru impor dan tarif resiprokal yang diterapkan AS.

Alasan mereka, pemberlakuan tarif baru tersebut untuk membalas kebijakan para mitra dagang yang dianggap sudah lebih dulu mempersulit masuknya barang-barang dari 'Negeri Paman Sam'.

Negara-negara raksasa ekonomi, utamanya Uni Eropa dan Tiongkok, lebih memilih untuk meladeni serangan yang kadung diumbar Presiden Donald J Trump tersebut. Bermodalkan ekonomi yang kokoh dan mandiri, negara-negara itu membalas serangan tersebut dengan menaikkan tarif impor barang dari AS.

Lalu, bagaimana dengan negara yang kemapanan ekonominya pas-pasan? Jelas, berunding menjadi satu-satunya cara yang dapat ditempuh. Jika ingin berperang, tentu tak masuk akal kalau peluru nuklir mesti dihadapi dengan bambu runcing. Langkah itu yang kemudian diambil Presiden Prabowo Subianto yang dalam waktu dekat akan mengirim tim negosiasi ke Gedung Putih.

Salah satu tawaran yang akan diajukan Indonesia ialah mengubah aturan kewajiban tingkat komponen dalam negeri (TKDN) industri, terutama manufaktur. Terlebih, poin TKDN itu yang menjadi salah satu alasan AS menerapkan tarif resiprokal 32% terhadap Indonesia, sedikit di bawah Tiongkok 34%, yang belakangan dinaikkan lagi oleh Trump menjadi 125%.

Sejak kewajiban TKDN diberlakukan lewat Peraturan Pemerintah No 29/2018 tentang Pemberdayaan Industri, investor kakap enggan masuk Indonesia. Pasalnya, para investor itu dihadapkan pada kewajiban batas minimal nilai TKDN 25% atas produk yang mereka hasilkan. Aturan tersebut yang membuat Apple hingga kini masih belum bisa memasarkan seri produk Iphone mereka di Indonesia. Selain soal TKDN yang dinilai cukup tinggi, perusahaan itu juga masih diwajibkan membangun pabrik di Indonesia.

Untuk melunakkan hati AS, Presiden Prabowo pada Selasa (8/4) lalu telah menginstruksikan menterinya untuk mengubah aturan TKDN tersebut agar lebih fleksibel. Dalam penilaian Presiden, aturan itu tidak berdampak besar bagi peningkatan kemampuan industri dalam negeri yang lebih kompleks.

Padahal, aturan TKDN itu sangat berdampak luas pada perekonomian Tanah Air. Kewajiban TKDN telah membuka banyak lapangan kerja yang muaranya tentu peningkatan daya beli masyarakat. Di samping itu, penerimaan negara pun turut meningkat karena naiknya daya beli masyarakat.

Oleh karena itu, perlu kita ingatkan bahwa Indonesia tak boleh gegabah saat bernegosiasi dengan AS nanti. Kepentingan rakyat negeri ini tentu harus paling diutamakan.

Jika aturan TKDN dikendurkan, hal itu akan berdampak pada turunnya pesanan industri kecil dan menengah yang selama ini memasok komponen perusahaan besar. Momok PHK pun kembali terjadi. Dari situ jelas terlihat, TKDN tak bisa dijadikan objek gadai agar AS mau mengendurkan sikap atas kedatangan barang Indonesia.

Apa gunanya ekspor Indonesia nanti meningkat tajam ke AS di tengah ribuan orang yang menganggur? Apalagi barang-barang yang diekspor itu adalah buatan AS sendiri yang kebetulan pabriknya ada di Indonesia.

Oleh sebab itu, buat tim negosiator yang akan berangkat ke AS, jika perlu mundur, kita cukup mundur satu langkah untuk kemudian maju lima langkah ke depan. Namun, jika pengenduran TKDN yang diambil, tentu itu tak hanya membuat Indonesia mundur satu langkah, tapi akan beratus langkah karena negeri ini ke depannya hanya akan jadi pasar bagi AS. Industri di dalam negeri akan sulit jadi penopang kepentingan dalam negeri.

Apalagi prinsip dasar dari sebuah negosiasi ialah 'everybody should be happy'. Kalau hanya salah satu yang bahagia, bukan berunding namanya.

 



Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik