Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Penataan Puncak Minus Kemauan

08/3/2025 05:00

KERUSAKAN alam di kawasan Puncak, Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, kembali dituding sebagai penyebab banjir di Jakarta dan Bekasi. Lebih gilanya lagi, sejumlah daerah di kawasan Puncak kini juga tak luput dari terjangan banjir akibat curah hujan yang tinggi beberapa hari lalu.

Penataan kembali kawasan Puncak sejatinya sudah jadi bahasan utama pemerintahan Orde Baru. Apalagi, Jakarta pernah benar-benar lumpuh selama tiga hari pada 1996 akibat banjir. Warga Jakarta dibuat syok kala itu karena belum pernah merasakan banjir yang sampai melumpuhkan seluruh aktivitas.

Seiring dengan berjalannya waktu, bukannya Puncak yang makin hijau yang didapat. Kawasan itu malah kian rusak. Area di kaki dan lereng pegunungan Gede-Pangrango itu banyak yang sudah beralih fungsi.

Dari sidak yang dilakukan Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq, bersama Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan dan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, Kamis (6/3), ditemukan empat lokasi wisata raksasa di Puncak. Konyolnya, keempat kawasan wisata itu berdiri di daerah resapan air yang dikelola PT Perkebunan Nusantara yang tak lain ialah badan usaha milik negara. Padahal kawasan itu selama ini menjadi hulunya sungai-sungai yang melintasi Jakarta. Begitu pula dengan hamparan kebun teh yang selama ini berfungsi menjadi resapan air di kawasan hulu.

Namun, semua itu sudah beralih fungsi. Temuan Kementerian Lingkungan Hidup, alih fungsi mulai terjadi sejak 2022 seiring dengan terbitnya Perda Jawa Barat yang mengatur tata ruang. Hutan lindung dan daerah konservasi air banyak yang berubah menjadi kawasan pertanian dan permukiman.

Dalam catatan Kementerian Lingkungan Hidup, pada 2010 silam, luas permukiman hanya 500 hektare. Saat ini, luasnya sudah mencapai 1.500 hektare. Sebagian besar permukiman yang merupakan resor wisata itu bahkan dibangun di badan air.

Walhi Jawa Barat menyebut hutan dan lahan resapan air yang seharusnya menjadi benteng alami terhadap banjir telah berubah menjadi vila, hotel, perumahan, dan pengembangan wisata yang berkedok ramah lingkungan. Alhasil, bukan lagi manfaat yang bisa didapat dari kawasan Puncak, melainkan kemudaratan akibat hukum alam yang ditabrak. Hijaunya kawasan Puncak sudah berubah menjadi warna-warni lantaran bermunculannya bangunan wisata yang dikelir dengan warna yang mencolok.

Kawasan yang dulunya berfungsi sebagai resapan air, kini malah kedap air. Berkurangnya kemampuan tanah menyerap air di kawasan Puncak membuat air hujan meluncur bebas ke daerah yang lebih rendah. Begitu pula dengan sungai yang terus menyempit akibat banyak bangunan berdiri di bantarannya. Alhasil, banjir tak lagi dimonopoli warga Jakarta, sekarang warga Puncak pun ikut merasakannya.

Mudah sekali untuk mencernanya, semua itu berawal dari ditabraknya berbagai aturan yang mengatur lingkungan hidup dan kelestarian alam di Puncak. Sejak merdeka pada 1945, negeri ini sejatinya punya seabrek aturan yang memuat perintah tegas menjaga lingkungan. Sanksinya pun tak main-main karena masuk kategori pidana bagi pelanggarnya.

Akan tetapi, semua aturan itu tak lebih dari sekadar koleksi aturan hukum karena lemahnya penerapan. Ketiadaan penegakan aturan, apalagi penjatuhan sanksi, membuat aturan-aturan tersebut kehilangan rohnya. Bahkan, aturan-turan itu banyak yang dimodifikasi agar bisa selaras dengan hasrat komersial investor.

Karena itu, menjadi sebuah pertanyaan besar, apakah bangunan-bangunan wisata tersebut mengantongi dokumen lingkungan, seperti analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), upaya pengelolaan lingkungan (UKL), dan upaya pemantauan lingkungan (UPL)?

Kita berprasangka baik saja, sangat mungkin para pemilik usaha itu sudah mengantonginya. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana cara mereka mendapatkannya karena justru usaha mereka mengakibatkan banjir di kemudian hari?

Berlagak pilon atau pura-pura tidak tahu ada apa di balik itu tentu bukan jalan keluar. Lebih baik pemerintah segera menata kembali kawasan Puncak dibarengi dengan penegakan aturan tanpa pandang bulu. Tak ada kata terlambat untuk itu, karena kita tak boleh mewariskan banjir kepada anak-cucu kita.

 



Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik