Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
RENCANA pemerintah memberlakukan pajak pertambahan nilai (PPN) 12% pada 1 Januari 2025 harus ditunda. Jika melihat gelombang penolakan terhadap rencana tersebut dan kondisi ekonomi saat ini, penundaan pemberlakuan PPN 12% mestinya menjadi opsi pertama dan terbaik.
Rencana penaikan PPN sebenarnya sudah tercantum dalam Undang-Undang No 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HPP Pasal 7 ayat 1. Dalam beleid itu, disebutkan bahwa PPN naik bertahap menjadi 11% pada April 2022 dan naik lagi menjadi 12% pada Januari 2025. Rencana tersebut tinggal menunggu persetujuan Presiden Prabowo Subianto.
Ada banyak alasan untuk menunda penaikan PPN tersebut. Situasi ekonomi dan kondisi global saat keluarnya UU tersebut sangat berbeda. Namun, pertimbangan paling utama menunda PPN 12% ialah menjaga daya beli masyarakat. Penaikan PPN berdampak terhadap kenaikan harga barang dan jasa. Sebagai pembeli, masyarakat tentu menjadi pihak yang paling terbebani dengan kenaikan harga-harga tersebut.
Apalagi berdasarkan analisis berbagai kalangan, penaikan PPN menjadi 12% dari saat ini 11% bisa berpengaruh pada kenaikan harga yang ditanggung oleh konsumen hingga 6%. Itu jelas kian merontokkan daya beli masyarakat.
Daya beli masyarakat selayaknya tidak boleh tergerus karena data menunjukkan bahwa konsumsi masih menjadi tumpuan utama pertumbuhan ekonomi nasional. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kontribusi konsumsi rumah tangga mencapai 54,53% terhadap produk domestik bruto (PDB) pada kuartal II 2024. Karena itu, pemerintah harus menjaga, jangan sampai tumpuan ekonomi nasional itu oleng atau bahkan ambruk.
Penaikan pajak memang menjadi cara paling praktis untuk menutupi defisit anggaran dan mengurangi ketergantungan utang. Namun, alih-alih menambah kas negara yang menjadi tujuan awal, kebijakan itu dikhawatirkan malah kontraproduktif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Kenaikan harga barang dan jasa yang sudah bisa dipastikan bakal terjadi akan memicu inflasi dan membuat masyarakat mengurangi daya beli mereka. Dampaknya, pertumbuhan ekonomi diprediksi bakal turun 0,2% jika kebijakan itu diberlakukan.
Bahkan, bukan tidak mungkin penaikan PPN juga bisa memicu dampak sosial yang lebih luas. Dengan kondisi inflasi yang meningkat dan harga barang-barang yang melonjak, sementara pendapatan masyarakat tidak naik, itu dikhawatirkan bisa memicu gesekan di tengah masyarakat.
Penaikan tarif PPN juga membuka tabir ketidakmampuan pemerintah dalam menggali lubang-lubang pendapatan negara seperti BUMN dan melakukan efisiensi. Misalnya dengan mengurangi kebocoran pemasukan dan memberantas impor ilegal. Bukan dengan menambah beban masyarakat, terutama masyarakat kelas bawah dan berpendapatan rendah.
Sejatinya, inisiatif pihak eksekutif untuk menunda tarif PPN tersebut sudah mulai muncul. Baru-baru ini, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan kemungkinan adanya penundaan PPN menjadi 12% lantaran pemerintah mau menyiapkan bantalan berupa subsidi terlebih dahulu.
Luhut mengatakan anggaran pemerintah sangat cukup untuk memberikan stimulus ekonomi berupa bansos subsidi listrik kepada masyarakat. Pasalnya, setoran pajak menurutnya hingga kini sangat baik hingga ratusan triliun rupiah yang bisa dimanfaatkan untuk subsidi tersebut.
Namun, sayangnya itu baru sebatas sinyal. Belum menjadi keputusan. Bahkan, Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan pemerintah belum membahas soal penundaan tersebut. Menurutnya, Presiden Prabowo bahkan belum membahas rencana menaikkan PPN dari 11% yang berlaku saat ini menjadi 12% per 1 Januari 2025.
Artinya, perjuangan untuk mendesak agar penaikan tarif PPN itu ditunda, bahkan bila perlu dibatalkan, mesti terus dilakukan. Sinyal yang dilemparkan oleh Ketua DEN bisa menjadi bahan bakar baru untuk semua kalangan, dari ekonom, pelaku usaha, pekerja, hingga legislator, yang selama ini terus mendesak agar penaikan tarif PPN ditunda.
Penegasan Luhut seharusnya juga bisa menjadi pendorong kuat bagi Kementerian Keuangan untuk segera mengambil langkah tepat demi mewujudkan rencana penundaan tersebut. Toh, menaikkan PPN dari 11% menjadi 12% bukan satu-satunya jalan untuk meningkatkan penerimaan negara. Masih banyak strategi lain yang bisa dipilih ketimbang harus menambah beban kepada masyarakat.
ADA petuah bijak bahwa angka tidak pernah berbohong. Dalam bahasa Inggris, petuah itu berbunyi numbers never lie.
PERILAKU koruptif lebih didorong hasrat ketamakan dalam diri pelakunya (corruption by greed) ketimbang karena kebutuhan.
SUDAH semestinya negara selalu tunduk dan taat kepada konstitusi, utamanya menjaga keselamatan rakyat dan wilayah, serta memastikan hak dasar masyarakat dipenuhi.
UPAYA memberantas korupsi di negeri ini seperti tidak ada ujungnya. Tiap rezim pemerintahan mencetuskan tekad memberantas korupsi.
PERILAKU korupsi di negeri ini sudah seperti kanker ganas. Tidak mengherankan bila publik kerap dibuat geleng-geleng kepala oleh tindakan culas sejumlah pejabat.
DI tengah kondisi ekonomi yang sedang tidak baik-baik saja, soliditas di antara para punggawa pemerintah sangat dibutuhkan.
DALAM semua kondisi ancaman bahaya, kepanikan dan kelengahan sama buruknya. Keduanya sama-sama membuahkan petaka karena membuat kita tak mampu mengambil langkah tepat.
PANCASILA telah menjadi titik temu semua kekuatan politik di negeri ini.
JATUHNYA korban jiwa akibat longsor tambang galian C Gunung Kuda di Cirebon, Jawa Barat, menjadi bukti nyata masih amburadulnya tata kelola tambang di negeri ini.
PANCASILA lahir mendahului proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Tujuannya untuk memberi landasan langkah bangsa dari mulai hari pertama merdeka.
CITRA lembaga penegak hukum dan pemberantasan korupsi di negeri ini masih belum beranjak dari kategori biasa-biasa saja.
PERNYATAAN Presiden Prabowo Subianto soal kemungkinan membuka hubungan diplomatik dengan Israel jika negara itu mengakui negara Palestina merdeka sangat menarik.
SEMBILAN hakim di Mahkamah Konstitusi (MK) lagi-lagi membuat geger. Kali ini, mereka menyasar sistem pendidikan yang berlangsung selama ini di Tanah Air.
Para guru besar fakultas kedokteran juga menganggap PPDS university-based tidak diperlukan mengingat saat ini pendidikan spesialis telah berbasis rumah sakit.
BAHASAN tentang perlunya Indonesia punya aturan untuk mendapatkan kembali kekayaan negara yang diambil para koruptor kembali mengemuka.
Sesungguhnya, problem di sektor pajak masih berkutat pada persoalan-persoalan lama.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved