Headline
Gencatan senjata diharapkan mengakhiri perang yang sudah berlangsung 12 hari.
Gencatan senjata diharapkan mengakhiri perang yang sudah berlangsung 12 hari.
Kehadiran PLTMG Luwuk mampu menghemat ratusan miliar rupiah dari pengurangan pembelian BBM.
PENANGKAPAN Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah menjelang pemungutan suara pilkada menunjukkan betapa kronisnya korupsi di negeri ini. Saking sudah mengerak sebagai kebiasaan, kini seperti tidak ada lagi rasa takut melakukan rasuah.
Rohidin yang kembali mencalonkan diri dalam pilkada kedapatan memeras jajarannya untuk mendapatkan dana pilkada. Ia dengan entengnya diduga meminta para anak buahnya menyetor uang 'donasi' pilkada sebagai bentuk dukungan kepadanya.
Sejumlah kepala dinas mengumpulkan uang dari hasil mengutak-atik anggaran di dinas masing-masing. Kepala Dinas (Kadis) Kelautan dan Perikanan Provinsi Bengkulu diduga menyetor Rp200 juta. Kemudian, Kepala Biro Pemerintahan dan Kesra menyerahkan Rp1,4 miliar dari setoran donasi tiap satuan kerja.
Lalu, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan juga diminta Rohidin mencairkan honor pegawai tidak tetap dan guru tidak tetap senilai total Rp2,9 miliar sebelum hari pencoblosan, 27 November. Tujuannya agar para pegawai dan guru tidak tetap tersebut merasa senang hingga kemudian memilih Rohidin dalam pilkada.
Permintaan uang donasi pemenangan Rohidin dalam Pilkada 2024 itu diduga disertai intimidasi. Bila mereka menolak menyetor, menurut pengakuan beberapa pejabat yang dimintai uang, bakal di-nonjob-kan atau tidak dijadikan pejabat lagi.
Praktik-praktik kotor semacam itu mesti dihentikan. Jangan-jangan, kasus Bengkulu hanya puncak gunung es, yang bukan tidak mungkin juga terjadi di wilayah-wilayah atau daerah lain.
Seperti halnya Rohidin, demi nafsu meraih kekuasaan atau mempertahankan kursinya, tidak sedikit orang yang melakukan segala cara, termasuk menyalahgunakan wewenang dan pengaruh. Pilkada yang sedianya menjadi ajang memilih calon terbaik kepala daerah dikotori oleh berbagai bentuk korupsi.
Mulai dari politik uang yang notabene menyuap pemilih, menyalahgunakan program bantuan sosial, hingga pemerasan semacam yang diduga dilakukan Rohidin.
Jangan keliru, bukan pemilu langsung yang membuat biaya pilkada menjadi mahal, melainkan bebasnya praktik rasuah yang sudah begitu mendarah daging menjadi pemicunya. Perilaku korup dalam pilkada-lah yang telah menciptakan politik berbiaya tinggi di negeri ini.
Kasus Rohidin Mersyah sekaligus menunjukkan bahwa aksi pemberantasan korupsi di negeri ini majal. Pencegahan gagal, penindakan pun tidak bisa menciptakan efek jera. Upaya pemberantasan korupsi seakan jadi sekadar ada.
Korupsi yang sudah begitu kronis membuat pemangku kebijakan enggan membuat aturan yang benar-benar tegas. Rancangan Undang-Undang (RUU) Pembatasan Transaksi Uang Kartal ditolak mentah-mentah. RUU Perampasan Aset selalu mental. Sebabnya, aturan-aturan itu juga akan menyulitkan mereka sendiri yang berintegritas lemah.
Belum lagi perilaku penegak hukum yang tebang pilih dan sarat intervensi dari penguasa ataupun kepentingan pribadi. Proses hukum bagi pihak yang berseberangan sangat tegas. Sebaliknya, bila pelaku berada dalam barisan pengintervensi, penegak hukum tutup mata.
Ajang pilkada dan pemilu yang dilakukan secara langsung semestinya sekaligus untuk menegakkan integritas para calon kepala daerah. Syaratnya, tentu saja harus didukung seperangkat aturan yang tegas dan tidak menyisakan celah perilaku korup.
Penindakan oleh penegak hukum, termasuk Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), juga tidak boleh pilih-pilih sasaran. Dalam pilkada dan pemilu, ketika yang terpilih benar-benar sosok beritegritas sekaligus pemimpin yang mumpuni, baru ada harapan rakyatnya akan merasakan sejahtera secara merata.
Sebaliknya, bila yang terpilih sosok yang menang lewat korupsi, tidak usah banyak berharap. Paling ya gitu-gitu aja nasib rakyat dan daerahnya.
PRESIDEN Prabowo Subianto akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2025 tentang Penanganan Secara Khusus dan Pemberian Penghargaan bagi Saksi Pelaku, akhir pekan lalu.
ADA-ADA saja dalih yang diciptakan oleh Amerika Serikat (AS) untuk menyerbu negara lain.
PENGESAHAN Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) adalah sebuah keniscayaan.
VONIS yang baru saja dijatuhkan kepada para pelaku mafia hukum dalam perkara Ronald Tannur kian menunjukkan dewi keadilan masih jauh dari negeri ini
ESKALASI konflik antara Iran dan Israel tidak menunjukkan tanda-tanda surut.
KITA sebenarnya sudah kenyang dengan beragam upaya manipulasi oleh negara. Namun, kali ini, rasanya lebih menyesakkan.
GENAP lima bulan Paulus Tannos ditangkap lembaga antikorupsi Singapura, Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB).
PEREBUTAN empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatra Utara belakangan menyesaki ruang informasi publik.
KEADILAN di negeri ini sudah menjadi komoditas yang kerap diperjualbelikan. Hukum dengan mudah dibengkokkan.
ADA petuah bijak bahwa angka tidak pernah berbohong. Dalam bahasa Inggris, petuah itu berbunyi numbers never lie.
PERILAKU koruptif lebih didorong hasrat ketamakan dalam diri pelakunya (corruption by greed) ketimbang karena kebutuhan.
SUDAH semestinya negara selalu tunduk dan taat kepada konstitusi, utamanya menjaga keselamatan rakyat dan wilayah, serta memastikan hak dasar masyarakat dipenuhi.
UPAYA memberantas korupsi di negeri ini seperti tidak ada ujungnya. Tiap rezim pemerintahan mencetuskan tekad memberantas korupsi.
PERILAKU korupsi di negeri ini sudah seperti kanker ganas. Tidak mengherankan bila publik kerap dibuat geleng-geleng kepala oleh tindakan culas sejumlah pejabat.
DI tengah kondisi ekonomi yang sedang tidak baik-baik saja, soliditas di antara para punggawa pemerintah sangat dibutuhkan.
DALAM semua kondisi ancaman bahaya, kepanikan dan kelengahan sama buruknya. Keduanya sama-sama membuahkan petaka karena membuat kita tak mampu mengambil langkah tepat.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved