Headline
Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.
MAHKAMAH Konstitusi (MK) kemarin membuat perubahan pada hukum terkait dengan pencabulan anak. Pasal 293 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dinyatakan inkonstitusional dan oleh sebab itu diubah.
Pasal 293 ayat (2) KUHP yang semula memang ibarat mobil mogok. Ia ada, tapi tak berguna dalam membawa anak korban pencabulan mendapat keadilan. Ayat itu menyatakan aduan atau laporan terhadap perbuatan cabul dengan seorang yang belum dewasa hanya bisa dilakukan oleh orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu. Alias hanya bisa dilakukan oleh korban.
Bisa dibayangkan betapa banyak anak korban pencabulan yang gagal mendapat keadilan karena kaku dan bebalnya ayat itu. Alih-alih merasa dibela, bisa jadi anak korban pencabulan tambah trauma dan depresi. Lebih menyedihkan, penerapan delik aduan absolut ini justru memberi angin kepada pelaku karena sulitnya proses penuntutan.
Sebab itu, memang sepatutnya ayat tersebut diubah. Kemarin, amar putusan MK menyatakan bahwa ayat itu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai pengaduan dapat dilakukan tidak hanya oleh korban, tetapi dapat pula dilakukan oleh orangtua, wali, atau kuasanya. Dengan kata lain, kini pelaporan atau aduan dapat dilakukan siapa saja yang mendapat kuasa.
Perubahan ini jelas berdampak pada upaya penegakan hukum terhadap pelaku pencabulan anak. Meski begitu, seberapa besar dampak itu masih jadi pertanyaan besar.
Putusan MK harus dikatakan masih memakai sudut pandang sempit dalam pembelaan hak anak. Perluasan pihak pelapor menunjukkan perubahan yang hanya dari delik aduan absolut menjadi delik aduan, bukan delik biasa.
Ini sungguh disayangkan karena delik biasa yang sebenarnya sangat dibutuhkan dalam membela hak anak sepenuhnya. Sebab, dengan delik biasa, perkara pencabulan tetap diproses pihak berwajib tanpa perlu adanya laporan. Bahkan, seandainya pun laporan dicabut, kepolisian masih tetap memproses perkara.
Hal itulah yang sesungguhnya menunjukkan komitmen negara dalam membela hak anak. Sudah sangat sering terjadi, kasus pencabulan atau kekerasan seks terhadap anak diselesaikan di luar pengadilan, yang sebenarnya justru makin mencederai anak. Lebih jauh lagi, penyelesaian model seperti ini sama sekali tidak menghadirkan efek jera.
Sebab itu, proses peradilan yang semestinya tetap ditegakkan bagi pelaku pencabulan anak. Di sinilah pula tugas negara harus dijalankan, tidak peduli ada atau tidaknya laporan dari pihak mana pun.
Amar putusan MK pun makin mengundang tanya jika disandingkan dengan UU 35/2014 tentang Perubahan atas UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Berdasarkan rumusan UU itu tidak ada rumusan delik aduan. Dengan kata lain, UU 35/2014 telah menggunakan sudut pandang delik biasa.
Maka, sungguh aneh ketika produk hukum kita memiliki sudut pandang yang berbeda-beda. Ini bukan sekadar membingungkan, tapi justru juga dapat melemahkan penegakan hukum itu sendiri.
Semakin ironis ketika ini terjadi pada perlindungan anak. Selama ini anak selalu kita sebut sebagai penentu masa depan bangsa. Akan tetapi, nyatanya penegakan hak anak saja masih kita lakukan setengah hati.
MK sebagai lembaga terakhir dalam pembentukan pilar hukum semestinya menyadari tanggung jawabnya terhadap perlindungan anak. MK seharusnya peka akan berbagai fenomena mengerikan kekerasan seks pada anak, dan sebab itu MK harusnya mampu menghasilkan hukum yang progresif.
Namun, langkah MK yang sekadar memperluas pihak pelapor menunjukkan bahwa lembaga tertinggi dalam pembentukan hukum justru masih memandang pembelaan anak sebagai ranah privat, bukan ranah publik. Sekali lagi, jika disandingkan dengan UU 35/2014, putusan MK pun menjadi langkah mundur.
Maka, kita menuntut MK untuk membuat amar putusan yang lebih kuat terhadap Pasal 293 KUHP. MK harus menunjukkan bahwa produk hukum kita mampu, dan mau, membela hak-hak anak. Hukum kita juga hukum yang satu suara, bukan hukum yang justru saling berbeda.
MENTERI sejatinya dan semestinya adalah pembantu presiden. Kerja mereka sepenuhnya didedikasikan untuk membantu kepala negara mengatasi berbagai persoalan bangsa.
GENCATAN senjata antara Iran dan Israel yang tercapai pada Senin (23/6) malam memang kabar baik.
KITAB Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang bermartabat haruslah mengutamakan perlindungan menyeluruh atas hak-hak warga.
PRESIDEN Prabowo Subianto akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2025 tentang Penanganan Secara Khusus dan Pemberian Penghargaan bagi Saksi Pelaku, akhir pekan lalu.
ADA-ADA saja dalih yang diciptakan oleh Amerika Serikat (AS) untuk menyerbu negara lain.
PENGESAHAN Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) adalah sebuah keniscayaan.
VONIS yang baru saja dijatuhkan kepada para pelaku mafia hukum dalam perkara Ronald Tannur kian menunjukkan dewi keadilan masih jauh dari negeri ini
ESKALASI konflik antara Iran dan Israel tidak menunjukkan tanda-tanda surut.
KITA sebenarnya sudah kenyang dengan beragam upaya manipulasi oleh negara. Namun, kali ini, rasanya lebih menyesakkan.
GENAP lima bulan Paulus Tannos ditangkap lembaga antikorupsi Singapura, Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB).
PEREBUTAN empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatra Utara belakangan menyesaki ruang informasi publik.
KEADILAN di negeri ini sudah menjadi komoditas yang kerap diperjualbelikan. Hukum dengan mudah dibengkokkan.
ADA petuah bijak bahwa angka tidak pernah berbohong. Dalam bahasa Inggris, petuah itu berbunyi numbers never lie.
PERILAKU koruptif lebih didorong hasrat ketamakan dalam diri pelakunya (corruption by greed) ketimbang karena kebutuhan.
SUDAH semestinya negara selalu tunduk dan taat kepada konstitusi, utamanya menjaga keselamatan rakyat dan wilayah, serta memastikan hak dasar masyarakat dipenuhi.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved