Selamat Tinggal PLTU Batu Bara

06/11/2021 05:00
Selamat Tinggal PLTU Batu Bara
Ilustrasi MI(MI/Duta)

 

 

PEMERINTAH Indonesia berencana menghentikan pembangkit listrik tenaga batu bara secara bertahap hingga 2040. Rencana itu bagian dari kesepakatan bersama 190 negara dan organisasi untuk menyetop penggunaan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara dan berhenti membangun pembangkit baru.

Kesepakatan itu tercapai dalam Konferensi Perubahan Iklim Ke-26 PBB (COP-26) di Glasgow, Skotlandia, pada Kamis (4/11). Sebagai negara yang saat ini bauran energinya sebagian besar masih ditopang batu bara, tentu tidak mudah bagi Indonesia untuk melepas ketergantungan dari bahan bakar fosil tersebut.

Apalagi, sumber daya mineral itu merupakan salah satu komoditas andalan ekspor Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kinerja ekspor komoditas batu bara masih terus mengalami kenaikan. Sepanjang September 2021, ekspor batu bara tumbuh hingga 168,89% (year-on-year/yoy).

Indonesia tidak boleh mundur lagi dari rencana memensiundinikan batu bara. Semula pemerintah berpandangan, penghentian batu bara baru bisa dilakukan pada 2056 sehingga pada 2060 bisa mencapai emisi nol karbon. Karena itu, dibutuhkan peta jalan dan harus ada komitmen kuat dan terarah untuk menjalankannya pada 2040.

Langkah pertama yang mesti diambil pemerintah secepatnya ialah merevisi Keputusan Menteri ESDM Nomor 188.K/HK.02/MEM.L/2021 tanggal 28 September 2021. Keputusan tentang pengesahan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 sebagai pedoman penyediaan tenaga listrik untuk PLN.

Direvisi karena dalam RUPTL ini, komposisi energi baru terbarukan (EBT) untuk pembangkit ditetapkan 51,6%, meski lebih besar daripada energi fosil yang sebesar 48,4%. PLN telah menyusun peta jalan menuju netral karbon 2060 yang menargetkan phase out batu bara diganti EBT pada 2056.

Menggantikan batu bara dengan EBT tidaklah susah asalkan ada uang. Indonesia memiliki potensi EBT yang cukup besar, yakni mencapai 417,8 Gw. Akan tetapi, saat ini yang dimanfaatkan baru 10,4 Gw atau sekitar 2,5%. Potensi itu berasal dari arus laut samudra sebesar 17,9 Gw, panas bumi 23,9 Gw, bioenergi 32,6 Gw, angin 60,6 Gw, air 75 Gw, dan matahari atau surya 207,8 Gw.

Kebutuhan uang itulah yang dipikirkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Menurut Sri Mulyani, untuk mewujudkan komitmen rencana penghapusan batu bara bagi pembangkit listrik pada 2040, bergantung pada bantuan keuangan yang didapatkan Indonesia dari lembaga multilateral, sektor swasta, dan negara-negara maju.

Pemerintah sangat menyadari bahwa bagi negara berkembang, transisi menuju energi yang lebih bersih dan ramah lingkungan perlu dilakukan tanpa membebani keuangan negara. Apalagi, saat ini masih fokus membiayai penanganan pandemi covid-19.

Sebagai langkah awal, Indonesia telah menjalin kerja sama dengan Bank Pembangunan Asia (ADB) terkait studi kelayakan dan rancangan penerapan Energy Transition Mechanism (ETM). Kerja sama itu diluncurkan pada KTT Iklim di Glasgow. ETM merupakan suatu bentuk pembiayaan campuran yang dirancang untuk mempercepat penghentian PLTU batu bara dan membuka investasi bagi energi bersih.

Energi bersih sudah menjadi bagian dari peradaban modern. Karena itu, semua elemen dalam negeri seperti akademisi, aktivis lingkungan, politisi, maupun ekonom hendaknya dilibatkan. Bila perlu, peta jalan menuju penghentian pembangkit listrik tenaga batu bara secara bertahap hingga 2040 dituangkan dalam undang-undang untuk mencegah ganti rezim ganti pula kebijakan.

Konsistensi kebijakan energi bersih harus berjalan tegak lurus, siapa pun yang memimpin negeri ini. Dengan demikian, janji memensiundinikan batu bara jangan sekadar retorika sampai batu bara kelak betul-betul tinggal cerita.



Berita Lainnya