Headline
Pemilu 1977 dan 1999 digelar di luar aturan 5 tahunan.
Bank Dunia dan IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini di angka 4,7%.
KRITIK-MENGKRITIK merupakan keniscayaan di negara demokrasi. Pun demikian di negeri ini, kritik mendapatkan keleluasaan untuk menjadi bungabunga yang mengharumkan demokrasi.
Kritik terkadang memang terasa pahit, tetapi ia sangat dibutuhkan untuk menyehatkan dalam pengelolaan negara. Tanpa kritik, pemerintah yang punya segala sumber daya dan kuasa rentan untuk menyimpang dari jalan kebenaran. Tanpa kritik, pemerintah bisa menjadi otoriter, meski ia dibangun lewat proses demokrasi.
Sejak era reformasi yang membawa Republik ini bersalin rupa dari negara otoritarian menjadi negara demokrasi, kritik mendapatkan tempat terhormat. Semua orang, siapa pun dia, bebas menyampaikan kritik kepada pemerintah yang tengah berkuasa. Kritik tak lagi tabu dan terlarang untuk disuarakan seperti halnya di era Orde Baru.
Namun, belakangan ini kritik dipersoalkan. Persoalan berawal dari pernyataan Presiden Joko Widodo pada 8 Februari silam yang meminta masyarakat lebih aktif menyampaikan kritik kepada pemerintah.
Pernyataan dan sikap Presiden itu jelas baik, tetapi sebagian kalangan menanggapinya secara negatif. Beragam tudingan lantas dicuatkan bahwa Jokowi hanya basa-basi, cuma pencintraan agar dicap sebagai seorang demokrat, bahkan dianggap sedang membuat ‘jebakan betmen’.
Dengan meminta rakyat mengkritik, Presiden dituduh tengah membangun perangkap untuk membungkam orang-orang yang kritis dengan menjeratnya secara hukum. Harus tegas dikatakan, tuduhan-tuduhan itu sama sekali tak berdasar sekaligus tak masuk akal.
Pertama, bukan kali ini saja Jokowi meminta agar rakyat lebih sering melayangkan kritik. Alasan kedua, sejak memerintah pada 2014, Jokowi sudah kebanjiran kritik dan tidak pernah menanggapi kritik itu dengan tindakan hukum.
Memang, tak bisa dimungkiri, cukup banyak pihak yang berseberangan dengan pemerintah yang harus berurusan dengan hukum. Tidak sedikit pula kaum oposan yang mesti menjadi pesakitan di balik jeruji besi. Tetapi, semua itu bukan lantaran mereka melontarkan kritik. Mereka dipidana karena melanggar pasal-pasal pidana.
Tidak ada satu pun pasal di banyak undang-undang yang mengatur hukuman bagi orang yang mengkritik pemerintah. Sebaliknya, banyak undang-undang yang menggariskan adanya konsenkuensi hukum bagi mereka yang menghina, mencemarkan nama baik, menghasut, menebarkan kebencian, atau menyebarkan kebohongan.
Celakanya, tidak sedikit pihak yang menganggap tindakan-tindakan terlarang itu bagian dari kritik. Padahal, kritik jelas berbeda dengan menghina atau melecehkan. Kritik jelas tak sama dengan mencemarkan nama baik atau menabur kebencian.
Amatlah tidak elok bagi siapa saja yang menghina pemerintah dengan berlindung di balik kebebasan untuk mengkritik. Kita percaya, mereka sebenarnya paham betul rambu-rambunya, tetapi pura-pura amnesia, lantas menyalahkan pemerintah ketika ada tindakan hukum.
Kita yakin, permintaan Presiden agar rakyat lebih sering mengkritik tidak sekadar basa-basi. Permintaan itu sungguh-sungguh dan mesti kita sikapi dengan sungguhsungguh. Caranya, sampaikan kritik yang betul-betul kritik, bukan hinaan, hasutan, pencemaran nama baik, atau tindakan-tindakan tercela lainnya. Jika itu yang dilakukan, dijamin aman dari jerat hukum.
Kepada siapa saja yang berkuasa, termasuk Jokowi, kita harus melawannya jika dia memanfaatkan tangan-tangan hukum untuk membungkam kritik.
Namun, kita juga harus mendukung tindakan hukum terhadap mereka yang melanggar hukum dengan dalih mengkritik pemerintah.
Itulah hakikat demokrasi. Pemerintah tidak boleh otoriter, demikian pula oposisi. Selalu merasa benar, meski jelas-jelas melakukan tindakan yang tidak benar ialah bentuk otoritarianisme. Di sisi lain, menyampaikan kritik dengan cara yang benar adalah jiwa demokrat.
MENTERI sejatinya dan semestinya adalah pembantu presiden. Kerja mereka sepenuhnya didedikasikan untuk membantu kepala negara mengatasi berbagai persoalan bangsa.
GENCATAN senjata antara Iran dan Israel yang tercapai pada Senin (23/6) malam memang kabar baik.
KITAB Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang bermartabat haruslah mengutamakan perlindungan menyeluruh atas hak-hak warga.
PRESIDEN Prabowo Subianto akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2025 tentang Penanganan Secara Khusus dan Pemberian Penghargaan bagi Saksi Pelaku, akhir pekan lalu.
ADA-ADA saja dalih yang diciptakan oleh Amerika Serikat (AS) untuk menyerbu negara lain.
PENGESAHAN Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) adalah sebuah keniscayaan.
VONIS yang baru saja dijatuhkan kepada para pelaku mafia hukum dalam perkara Ronald Tannur kian menunjukkan dewi keadilan masih jauh dari negeri ini
ESKALASI konflik antara Iran dan Israel tidak menunjukkan tanda-tanda surut.
KITA sebenarnya sudah kenyang dengan beragam upaya manipulasi oleh negara. Namun, kali ini, rasanya lebih menyesakkan.
GENAP lima bulan Paulus Tannos ditangkap lembaga antikorupsi Singapura, Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB).
PEREBUTAN empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatra Utara belakangan menyesaki ruang informasi publik.
KEADILAN di negeri ini sudah menjadi komoditas yang kerap diperjualbelikan. Hukum dengan mudah dibengkokkan.
ADA petuah bijak bahwa angka tidak pernah berbohong. Dalam bahasa Inggris, petuah itu berbunyi numbers never lie.
PERILAKU koruptif lebih didorong hasrat ketamakan dalam diri pelakunya (corruption by greed) ketimbang karena kebutuhan.
SUDAH semestinya negara selalu tunduk dan taat kepada konstitusi, utamanya menjaga keselamatan rakyat dan wilayah, serta memastikan hak dasar masyarakat dipenuhi.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved