Menata Ulang Lembaga Pemilu

20/1/2021 05:00
Menata Ulang Lembaga Pemilu
Editorial(Dok.MI/Seno)

 

 

PENATAAN ulang kelembagaan penyelenggara pemilu sangat mendesak dilakukan. Mendesak karena saat ini terjadi rivalitas di antara lembaga penyelenggara pemilu.

Ada tiga lembaga pemilu saat ini, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Ketiga lembaga itu saling menegasikan, tidak membangun sinergi.

Rivalitas di antara lembaga itu, misalnya, belum lama ini Bawaslu melaporkan KPU kepada DKPP. Saat ini, muncul kesan persaingan tidak sehat antara KPU dan DKPP.

Persaingan tidak sehat itu berujung pada pencopotan Arief Budiman dari jabatan ketua KPU pada 13 Januari oleh DKPP. Pencopotan itu bukan semata konflik martabat seseorang melawan lembaga, melainkan gambaran persoalan sinergitas lembaga.

Pencopotan itu bukan hal sepele. Lembaga penyelenggara pemilu ialah garda terdepan untuk mewujudkan sistem ketatanegaraan yang demokratis dan berintegritas. Sebab itu, ketidakharmonisan hubungan tiga lembaga penyelenggara pemilu berarti ancaman terhadap kualitas sistem ketatanegaraan itu sendiri.

Lebih spesifik lagi, konflik Arief Budiman dan DKPP mencuatkan perlunya pengaturan peran dan mekanisme pengawasan etik yang lebih baik. Peran inilah yang ditugaskan ke DKPP melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Kewenangan DKPP antara lain memberikan sanksi kepada penyelenggara pemilu yang terbukti melanggar kode etik dan memutus pelanggaran kode etik.

Kita sepakat bahwa pengawasan etik merupakan hal penting dan perlu. Betul bahwa pengawasan etik di lembaga-lembaga, termasuk lembaga negara, bisa saja dilakukan secara internal.

Meski begitu, lagi-lagi karena pentingnya tugas lembaga penyelenggara pemilu, pengawasan etik secara eksternal ialah bentuk komitmen menjaga integritas. Pengawasan dari eksternal ini juga yang mencegah KPU menjadi lembaga superbody.

Namun, konflik saat ini menunjukkan bahwa pengawasan eksternal yang tidak diatur dengan baik akan melahirkan rivalitas dan bahkan delegitimasi lembaga.

Hal ini terlihat dari rangkaian langkah DKPP yang kemudian berujung pada pemberhentian Arief Budiman dari jabatannya.

Konflik itu diawali dengan pemecatan Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik oleh DKPP pada 18 Maret 2020. Dalam menindaklanjuti itu, Presiden Joko Widodo mengeluarkan keppres pemberhentian Evi per 23 Maret 2020.

Evi kemudian mengajukan gugatan atas keppres itu PTUN Jakarta dan menang sehingga Presiden lalu mencabut keppres pemecatannya. Arief Budiman menyampaikan keppres itu kepada Evi disertai surat pengantar. Anehnya, surat pengantar itu malah mengantarkan Arief diadili DKPP dan berujung pencopotan jabatan.

Arief juga dianggap melanggar kode etik karena dianggap mendampingi Evi saat menggugat keppres ke PTUN. Hal ini telah dibantah Arief dengan penjelasan dirinya datang ke PTUN di waktu berbeda dari waktu pengajuan gugatan yang dilakukan Evi.

KPU berencana mengundang ahli hukum dan pegiat pemilu untuk eksaminasi pencopotan Arief Budiman. Hasil eksaminasi akan menjadi landasan untuk menggugat putusan DKPP ke pengadilan.

Hanya penataan ulang kelembagaan penyelenggaraan pemilu yang mampu menghentikan rivalitas di antara mereka. Penataan itu dilakukan dengan cara merevisi Undang-Undang Pemilu.



Berita Lainnya