Mematikan Bibit Korupsi

03/10/2019 05:05

REFORMASI sudah berumur 21 tahun. Seumur itu pula semestinya birokrasi pemerintahan telah mereformasi diri. Kalau diibaratkan manusia, usia 21 tahun termasuk generasi milenial, sebuah generasi yang dicirikan kreatif, praktis, tapi juga kritis.

Namun, nyatanya meski seusia dengan kaum milenial, reformasi birokrasi di negeri ini belum mampu menampilkan sebuah kerja yang mencirikan milenial. Sisa-sisa pola pikir yang kolot, konvensional, dan berbelit, walaupun sudah banyak berkurang, masih menghinggapi kerja lembaga-lembaga pemerintahaan kita.

Lebih parah lagi, praktik nepotisme dan suap-menyuap dalam penerimaan pegawai dan promosi jabatan di lembaga pemerintah yang tumbuh subur di zaman Orde Baru ternyata sampai saat ini masih dilakukan. Belum hilang. Bahkan, masih menjadi salah satu masalah terkait dengan integritas lembaga pemerintah, baik pusat maupun daerah.

Itu bukan rumor. Setidaknya data soal itu tergambar dari hasil survei penilaian integritas (SPI) terbaru rilisan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dari situ terkuak, sekitar 25% responden internal (pegawai) pernah mendengar atau melihat keberadaan nepotisme dalam penerimaan pegawai. Kurang lebih 21% responden bahkan percaya bahwa suap/gratifikasi memengaruhi kebijakan karier di lembaga mereka.

Temuan lain tak kalah memiriskan. Lewat survei itu juga terlihat bahwa budaya antikorupsi belum tumbuh kuat. Dari hasil survei ditemukan 2 dari 10 pegawai yang menyaksikan atau sebagai pelapor praktik korupsi di unit kerja justru dikucilkan, diberi sanksi, atau kariernya dihambat dalam 12 bulan terakhir. Itu tentu saja memunculkan ketidakpercayaan bahwa melaporkan korupsi akan mendapatkan perlindungan.

Di tengah perang kita melawan korupsi dengan segala turunannya, hasil survei itu tentu saja terasa pahit. Rupanya memang betul bila ada yang berhipotesis jangan bermimpi memberangus korupsi pejabat pemerintah, terutama yang melibatkan pihak eksternal, kalau bibit-bibit praktik lancung di internal kelembagaan sendiri saja belum mampu kita matikan.

Di hilir, KPK mungkin menakutkan bagi sebagian koruptor dengan gebrakan-gebrakan penindakan mereka. Akan tetapi, di hulu, sepertinya tangan KPK tak cukup panjang untuk menjangkaunya. Padahal, kalau aliran dari hulu bisa dimampatkan, sekurang-sekurangnya kita bisa berharap rembesan budaya korupsi yang mengalir ke hilir tidak akan besar.

Fakta itu juga mengonfirmasi bahwa desakan agar kerja komisi antirasuah di masa mendatang lebih memfokuskan pada sisi pencegahan memang punya alasan kuat. Sebagai publikasi dan 'tontonan', langkah pencegahan memang tak semenarik langkah-langkah penindakan. Namun, dalam hal efektivitas mematikan korupsi, langkah pencegahan sangat layak untuk diuji dan diadu.

Publik berharap, sangat berharap, agar pimpinan baru KPK yang akan dilantik pada 21 Desember mendatang memberikan perhatian pada sisi pencegahan yang selama ini terlupakan.

Dengan konsep pencegahan yang lebih mutakhir, KPK bisa menjadi supervisi yang mumpuni bagi kementerian dan lembaga pemerintah untuk dapat membuat sistem atau program pencegahan korupsi di instansi masing-masing. Bagaimanapun, harus kita ingat, tugas pencegahan korupsi menjadi tanggung jawab semua lembaga.

Ibarat jamu, pahitnya hasil survei integritas di lingkungan pemerintahan tidak boleh membuat kita hilang semangat. Sebaliknya, jamu pahit itu harus bisa menjadi penambah vitalitas untuk mematikan bibit-bibit korupsi di internal instansi negara. Kalau bibitnya sudah mati, kita punya harapan tinggi korupsi tak akan mudah tumbuh di Republik ini.



Berita Lainnya