Ketidakbecusan Kepala Daerah

19/9/2019 05:05
Ketidakbecusan Kepala Daerah
Editorial(MI/Duta)

MEMANG tidak mudah membuat perilaku baru menjadi suatu kebiasaan. Penanganan kebakaran hutan dan lahan ialah contohnya. Karhutla mencapai puncaknya pada 2015 yang menghanguskan sekitar 2,6 juta hektare. Sedikitnya 24 jiwa terenggut.

Pemerintah menyatakan cukup sudah, tidak boleh ada lagi karhutla yang meluas apalagi menelan korban jiwa. Seperangkat aturan diterbitkan untuk mempercepat penanganan karhutla. Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 32/2016 tentang Pengendalian Karhutla, kepala daerah menjadi penanggung jawab penanganan karhutla.

Gubernur mengetuai Satgas Pengendali Provinsi Penanganan Karhutla. Satgas di tingkat kabupaten/kota diketuai bupati/wali kota. Keanggotaan satgas juga melibatkan kepolisian daerah dan TNI setempat.

Koordinasi yang jelas membuat karhutla pada 2016 menurun drastis hingga luasan yang terbakar kurang dari seperempat kejadian 2015. Tahun berikutnya, luasan karhutla menyusut menjadi 165 ribu hektare.

Akan tetapi, penanganan yang cepat tanggap mengendur. Itu pertanda kesigapan belum menjadi kebiasaan. Kepala daerah mengabaikan pemadaman karhutla sedini mungkin. Akibatnya, kebakaran hutan dan lahan tahun ini lepas kendali dan asap pekat menyelimuti warga.

Sikap abai itu antara lain terlihat dari perilaku Gubernur Riau Syamsuar yang melawat ke luar negeri di tengah kian sesaknya udara di wilayahnya akibat karhutla. Demikian juga Wali Kota Pekanbaru Firdaus yang bertandang ke Kanada dengan alasan tugas daerah. Padahal, Riau merupakan salah satu daerah yang mengalami kebakaran terparah dan kabut asap merangsek ke Pekanbaru.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo mengkritik sembilan kepala daerah yang cenderung lepas tangan. Para kepala daerah seperti menyerahkan saja penanganan karhutla kepada pemerintah pusat. Sebagian bahkan tidak pernah hadir dalam rapat-rapat satgas di wilayah mereka.

Para kepala daerah sampai-sampai harus diingatkan oleh Menko Polhukam Wiranto bahwa karhutla merupakan tanggung jawab pemerintah daerah. Presiden Joko Widodo pun menegur keras gubernur, pangdam, dan kapolda saat meninjau wilayah karhutla di Riau.

Belakangan ini ditemukan indikasi ada pihak yang sengaja membakar hutan dan lahan secara terorganisasi. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa cara termudah bagi pelaku usaha untuk membuka lahan ialah dengan membakar. Tentu saja, lagi-lagi ada tanggung jawab kepala daerah di situ selaku pemberi izin usaha.

Perilaku yang cenderung tutup mata terhadap kejahatan yang dilakukan pemegang konsesi lahan itu memancing pertanyaan, apakah ada kongkalikong antara kepala daerah dan pelaku?

Sepertinya ketiadaan sanksi juga yang membuat para gubernur, bupati, dan wali kota merasa bebas lepas tangan. Mereka dipilih oleh warga sehingga tidak bisa diberhentikan pemerintah pusat.

Pangdam dan kapolda jelas terancam dicopot bila gagal menangani karhutla. Namun, kerja keduanya dalam satgas pengendalian karhutla berada di bawah koordinasi gubernur. Bila gubernur abai, penanganan bisa menjadi tumpul.

Warga di wilayah rawan karhutla perlu menyadari tanggung jawab kepala daerah. Tuntut pertanggungjawaban gubernur dan bupati/wali kota jika asap begitu pekat dan menyesakkan. Jadikan pula penanganan karhutla dan dampaknya sebagai bahan evaluasi. Kepala daerah yang tidak becus tidak layak dipilih lagi.



Berita Lainnya