Sumbangsih Habibie

12/9/2019 05:05

"JANGAN sekali-kali mau menjadi pahlawan. Kepahlawanan itu mahal dan tidak penting menjadi pahlawan. Yang penting ialah kita menyelesaikan tugas yang diberikan kepada kita sebaik-baiknya."

Pencetus kalimat itu ialah Bacharudin Jusuf Habibie yang Rabu (11/9) sore kemarin mengembuskan napas damainya yang terakhir di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta, pada usia 83 tahun. Kepergian Presiden ke-3 RI itu sekaligus menandai purnanya tugas seorang tokoh yang lebih dari dua pertiga hidupnya didarmabaktikan bagi bangsa ini.

Indonesia jelas kehilangan. Meskipun tak ingin menjadi dan disebut pahlawan, Habibie tetap akan dicatat dalam sejarah sebagai pahlawan demokrasi. Ia adalah tokoh paling sentral di antara tokoh-tokoh lain dalam sejarah transisi kepemimpinan dari zaman Orde Baru menuju era reformasi.

Hanya 1 tahun 5 bulan Habibie menjabat Presiden RI, mewarisi kondisi politik dan ekonomi yang penuh kekacauan dan hiruk pikuk setelah jatuhnya rezim Presiden Soeharto. Berbagai kerusuhan dan ancaman disintegrasi terjadi di sebagian wilayah Indonesia. Namun, di masa jabatan yang amat pendek itu, sumbangsihnya berharga bagi perjalanan Republik hingga hari ini.

Pada satu kesempatan Habibie pernah mengungkapkan, selama 517 hari menjabat Presiden RI, ia hanya fokus mengatasi permasalahan bangsa dan mengembalikan kekuasaan kepada rakyat. Ia tak sekadar berhasil, malah hasilnya lebih dari itu. Dalam periode singkat masa kepemimpinannya, Habibie bahkan dianggap sukses membangun fondasi yang kukuh bagi demokrasi Indonesia.

Di era Habibie-lah sistem multipartai di Indonesia dimulai. Di periode pemerintahan itu pula bisa ditelurkan hingga 113 undang-undang baru setiap hari. Salah satunya UU tentang Penyelenggaraan Pemilu yang memungkinkan pemilu digelar lebih cepat, yakni pada 1999, juga UU tentang Otonomi Daerah yang fenomenal. Ia juga dikenang sebagai pembuka gerbang kebebasan pers di negeri ini.

Tidak ada yang mengira, seorang teknokrat sejati yang tak pernah punya hasrat menjadi presiden, pria romantis yang sangat mencintai istrinya, Hasri Ainun, nyatanya mampu menakhodai kapal besar Indonesia di tengah derasnya arus perubahan zaman ketika itu. Habibie nyatanya tak hanya genius di bidang ilmu dan teknologi dirgantara, tetapi juga piawai menempatkan diri sekaligus memainkan peran di bidang politik.

Namanya semerbak tak hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Di Jerman, ia dinilai punya jasa besar terhadap kemajuan negara tersebut. Bintang penghargaan Das Grosse Verdenstkreuz Mit Stern und Schulterband dan Das Grosse Verdienstkreuz pun dua kali ia dapatkan dari pemerintah Jerman. Di Timor Leste, nama Habibie bahkan diabadikan menjadi nama jembatan di Bidau Santana, Dili, sebagai penghargaan dan penghormatan rakyat serta pemerintah Timor Leste atas jasa besar dia dalam pelaksanaan referendum di Timor Timur pada 1999.

Kini, Bapak Teknologi Indonesia, Bapak Pesawat Terbang Indonesia, pahlawan demokrasi itu telah pergi. Pengabdiannya sudah usai. Tugasnya sudah paripurna. Yang terwariskan ialah semangat pengabdiannya kepada negara yang amat tulus. Yang terus tercium ialah nama yang senantiasa mewangi dan untaian prestasi bagi negeri yang terus tertancap di kedalaman jiwa rakyat Indonesia.

Keputusan cepat pemerintah untuk menjadikan hari wafatnya Habibie sebagai Hari Berkabung Nasional dan mengimbau masyarakat mengibarkan bendera setengah tiang selama tiga hari mulai 12 September hingga 14 September 2019, hanyalah satu bentuk kecil penghargaan bangsa ini kepada putra terbaiknya.

Tak penting apakah ia suka atau tidak suka dianggap sebagai pahlawan. Yang pasti, Habibie sungguh layak menerima semua itu.

Selamat jalan....



Berita Lainnya