Headline

Konsistensi penegakan hukum perlindungan anak masih jadi tantangan

Fokus

Di Indonesia, cukai rokok sulit sekali naik, apalagi pada tahun politik.

Koalisi Sipil Khawatir RKUHAP Lemahkan Penyadapan KPK 

Devi Harahap
23/7/2025 18:26
Koalisi Sipil Khawatir RKUHAP Lemahkan Penyadapan KPK 
ilustrasi(Antara Foto)

KOALISI Masyarakat Sipil Anti Korupsi menyoroti sejumlah ketentuan dalam Rancangan KUHAP yang berpotensi menurunkan efektivitas, independensi, serta fleksibilitas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) khususnya penyadapan. Setidaknya ada sembilan Catatan Kritis RKUHAP pada Aspek Tindak Pidana Korupsi.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah  menilai, RKUHAP akan melemahkan mekanisme penyadapan terhadap KPK. Hal itu karena penyadapan hanya di tingkat penyidikan dan menyerahkannya ke UU khusus, sehingga mengabaikan wewenang KPK untuk menyadap sejak penyelidikan yang berpotensi menghambat operasi tangkap tangan (OTT).

Dalam RKUHAP, Pasal 124 ayat (1) menyebutkan penyidik dapat melakukan penyadapan untuk kepentingan penyidikan. Selanjutnya, ayat (2) mengatur bahwa
Penyadapan akan diatur dalam UU tentang Penyadapan. 

“Hal ini perlu dikritisi, sebab sesuai UU penyadapan KPK dapat dilakukan bahkan di tahap penyelidikan. Hal ini berfungsi sebagai mekanisme pengumpulan informasi yang aktual dan tepat waktu, sehingga tindak pidana korupsi dapat dilakukan tangkap tangan,” katanya dalam keterangan yang diterima Media Indonesia pada Rabu (23/7). 

Jika penyadapan baru dilakukan setelah naik status menjadi penyidikan, Wana menilai ada potensi keterlambatan pengungkapan kasus korupsi. Dan apabila terjadi keterlambatan dalam pelaksanaan penyadapan sehingga informasi yang dibutuhkan tidak segera diperoleh, ada potensi hilangnya atau dimusnahkannya barang bukti. 

“Dalam hal barang bukti tersebut berupa uang, terdapat kemungkinan uang tersebut telah dicuci atau dipindahkan ke lokasi lain, yang pada akhirnya akan menyulitkan proses pengungkapan perkara,” ucapnya. 

Selain itu, Wana menjelaskan pasal 154 RKUHAP berpotensi menunda penanganan perkara melalui praperadilan. Ia menyebut aturan itu mengatur agar sidang pokok perkara tidak bisa dimulai sebelum proses praperadilan selesai yang berpotensi dapat dijadikan taktik penundaan dan mengajukan permohonan praperadilan secara berulang oleh tersangka korupsi.

“Ketentuan ini tentu menimbulkan suatu dilema tersendiri. Di satu sisi, ia memberikan jaminan atas hak terhadap proses hukum yang adil, namun mekanisme praperadilan yang saat ini diatur dalam RKUHAP dapat disalahgunakan sebagai alat untuk menunda-nunda
pemeriksaan pokok perkara, terutama dalam perkara tindak pidana korupsi,” imbuhnya. 

Wana juga menyoroti ketidakjelasan kewenangan dalam perkara koneksitas yang dalam suatu perkara jika terdapat unsur sipil dan unsur militer. Ia menilai hal ini berkaitan dengan yurisdiksi dari masing-masing peradilan, baik peradilan umum maupun peradilan militer. 

“RKUHAP belum mengakomodasi putusan MK yang menegaskan kewenangan KPK menangani korupsi oleh aparat militer, menimbulkan ketidakpastian hukum dalam perkara yang melibatkan unsur militer dan sipil,” jelas Wana. 

Selain itu, Wana menyebut RKUHAP mengalami tumpang tindih dalam aturan perlindungan saksi dan korban. Beleid itu dikatakan hanya mengakui LPSK sebagai pelaksana perlindungan saksi, mengabaikan kewenangan KPK sebagaimana diatur dalam UU KPK, yang berpotensi menimbulkan hambatan birokrasi dan keterlambatan.

Lebih jauh, Wana menekankan salah satu problem mendasar dalam RKUHAP adalah ketentuan mengenai pelaksanaan penyidikan dan mekanisme penyerahan berkas perkara yang secara sistematis yang dapat melemahkan independensi KPK dalam menangani perkara korupsi. (H-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indriyani Astuti
Berita Lainnya