Headline
Sedikitnya 30% penggilingan gabah di Jawa Tengah menutup operasional.
Sedikitnya 30% penggilingan gabah di Jawa Tengah menutup operasional.
DI usia ke-80 Indonesia merdeka, ada sebuah ironi yang harus dipecahkan: negeri dengan populasi Muslim terbesar di dunia masih bergulat dengan kemiskinan (9,36% per BPS 2024), ketimpangan, dan ketahanan sosial yang rapuh. Namun, di saat yang sama, potensi zakat nasional—yang mencapai Rp327 triliun per tahun (Baznas, 2024)—masih masih belum tergarap optimal, terperangkap dalam paradigma "ibadah individual".
Kini, sejarah sedang berbisik. Untuk pertama kalinya sejak Indonesia merdeka, zakat, infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan (ZIS-DSKL) resmi masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029 sebagai program prioritas (Perpres No. 12/2025, Lampiran II hal. 85). Ini bukan sekadar formalitas, melainkan loncatan paradigmatik: zakat tak lagi hanya urusan masjid, tapi kini menjadi senjata strategis pembangunan nasional. Maka, Ketika zakat bangkit, NKRI “melompat” menuju Indonesia Emas 2045.
RPJMN menargetkan penghimpunan ZIS-DSKL mencapai 0,208% PDB (Rp77 triliun) pada 2029—angka yang bisa meledak hingga Rp100 triliun (0,273% PDB) jika pertumbuhan zakat 20% per tahun dipertahankan. Bandingkan dengan rincian Rp70 triliun dana desa, Rp80 triliun subsidi BBM, dan Rp100 triliun anggaran Kementerian Sosial.
Artinya, zakat berpotensi menjadi "APBN kedua" yang fokus pada perlindungan sosial dan pemberdayaan ekonomi berbasis komunitas. Tapi pertanyaannya: siapkah ekosistem zakat menjawab tantangan ini?
Ini harus menjadi titik balik sejarah yang tak boleh gagal. Sebab, sejarah zakat di negeri ini adalah kisah tentang potensi yang terpendam. Di era kerajaan Islam Nusantara, ZIS menjadi tulang punggung kesejahteraan—dari pendirian pesantren hingga pembangunan infrastruktur publik. Namun, di era modern, zakat justru terpinggirkan, terjebak dalam dikotomi "ibadah vs pembangunan".
Kini, RPJMN 2025-2029 memberikan kesempatan untuk menebus anomali historis. Tapi ada empat tantangan kritis: pertama, regulasi setengah hati, di mana wacana zakat sebagai pengurang pajak dan kewajiban zakat bagi ASN masih mengambang. Tanpa insentif konkret, target Rp100 triliun hanya akan menjadi mimpi.
Kedua, fragmentasi pengelolaan, ada 34 Baznas provinsi, 514 Baznas kabupaten/kota, plus ratusan lembaga amil zakat (LAZ)—sering kali bekerja sendiri-sendiri tanpa sinergi nasional. Ketiga, mindset filantropi konsumtif, Ketika mayoritas zakat masih dipakai untuk bantuan langsung (consumptive charity), bukan investasi produktif seperti UMKM atau beasiswa jangka panjang.
Langkah strategis yang perlu dilakukan setidaknya mencakup empat hal utama. Pertama, penyelarasan rencana strategis. Renstra Baznas 2025–2029 harus dirancang selaras dengan target RPJMN, bukan hanya dari sisi peningkatan penghimpunan, tetapi juga penyaluran yang mendukung prioritas pembangunan sebagaimana tertuang dalam Astacita Presiden Prabowo. Bahkan, akan lebih kuat jika konsep ini dikemas dalam sebuah Rencana Strategis Zakat Nasional sebagai payung gerak bersama pengelolaan zakat di seluruh Indonesia.
Kedua, konsolidasi zakat nasional. Rapat Koordinasi Zakat Nasional 2025 perlu menjadi forum penyatuan visi dan langkah, dari Baznas pusat hingga daerah, serta LAZ nasional, agar strategi yang dijalankan serempak mengarah pada pencapaian target nasional.
Ketiga, kolaborasi lintas sektor. Kemitraan dengan kementerian, dunia usaha, akademisi, media, dan filantropi lintas agama akan menjadi katalis yang mempercepat pencapaian target sekaligus memperkuat posisi zakat, filantropi Islam, dan ekonomi syariah di tingkat nasional.
Keempat, inovasi program. Zakat harus hadir dalam wujud yang relevan dengan tantangan zaman, inklusif, dan berorientasi pada keadilan sosial. Program yang menargetkan akar kemiskinan serta berpihak pada kelompok rentan, seperti perempuan, penyandang disabilitas, komunitas marginal, dan wilayah 3T, perlu menjadi prioritas, sembari tetap berpedoman pada capaian SDGs dan maqashid syariah.
Jika langkah-langkah ini dilakukan dengan serius, perolehan ZIS-DSKL Rp100 triliun pada 2029 bukanlah mimpi. Lebih dari itu, zakat akan kembali ke peran historisnya, yakni menjadi jembatan antara ibadah dan pembangunan. Ia mengokohkan hubungan manusia dengan Tuhannya, sekaligus menggerakkan ekonomi dan memperkuat perlindungan sosial bagi rakyat.
RPJMN 2025–2029 telah membuka pintu selebar-lebarnya. Kini, tinggal kemauan kolektif gerakan zakat untuk melangkah masuk. Momentum ini mungkin tidak datang dua kali. Jangan sampai kita melewatkan kesempatan untuk membuktikan bahwa zakat bukan hanya ibadah spiritual, tetapi juga kekuatan sosial-ekonomi yang mampu mengubah wajah bangsa menuju Indonesia Emas 2045. (H-2)
Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi di atas 5,2% yoy pada 2025. Ini perlu didukung beberapa sektor unggulan seperti pariwisata, digital ekonomi, dan industri manufaktur.
Pemerintah telah menyiapkan delapan strategi dan satu langkah kebijakan untuk mendorong ekonomi tumbuh 8% berkelanjutan.
RPJMN 2025-2029 memuat program prioritas pemerintah, dari makan bergizi gratis hingga swasembada pangan, yang harus diprioritaskan dalam penggunaan anggaran.
Wali kota Bukittinggi, Ramlan Nurmatias mengatakan BAZNAS merupakan mitra penting dalam pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan umat.
Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kemenag, Waryono Abdul Ghofur, menyatakan, IZN merupakan bentuk konkret dari prinsip amanah dalam pengelolaan zakat.
Beasiswa zakat untuk santri bantu tingkatkan akses pendidikan tinggi dan SDM unggul. Strategi jangka panjang wujudkan Indonesia Emas 2045.
Pemerintah menegaskan komitmennya dalam memperkuat tata kelola zakat nasional melalui penerapan Unified System, sebuah sistem pengelolaan zakat terintegrasi
Keberhasilan Ponco Sulistiawati menjadi contoh nyata dampak zakat dalam mendorong kemandirian ekonomi masyarakat.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved