Headline

Konsistensi penegakan hukum perlindungan anak masih jadi tantangan

Fokus

Di Indonesia, cukai rokok sulit sekali naik, apalagi pada tahun politik.

Koalisi Sipil: RUU KUHAP Persempit Ruang Gerak KPK dalam Pemberantasan Korupsi

Devi Harahap
23/7/2025 18:04
Koalisi Sipil: RUU KUHAP Persempit Ruang Gerak KPK dalam Pemberantasan Korupsi
KPK(MI/Susanto)

REVISI Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang sedang dibahas di Komisi III DPR menimbulkan kekhawatiran serius akan potensi pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menjalankan fungsi penindakan.

Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi memberikan catatan kritis dan menyoroti sejumlah ketentuan dalam RKUHAP yang berpotensi menurunkan efektivitas, independensi, serta fleksibilitas KPK pada aspek tindak pidana korupsi (Tipikor). 

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah menjelaskan ada pertentangan norma peralihan dalam pasal 329 dan 330 RKUHAP yang berpotensi menyingkirkan ketentuan acara pidana khusus dalam pemberantasan korupsi.

“Pasal ini mengedepankan asas lex posterior derogat legi priori dan bertentangan dengan prinsip kekhususan dalam UU KPK dan UU Tipikor (lex specialis),” katanya dalam keterangan yang diterima Media Indonesia pada Rabu (23/7). 

Wana menyebut, jika berkaca dari asas lex specialis derogat legi generali, seharusnya yang digunakan adalah UU KPK, UU Tipikor, dan UU Pengadilan Tipikor. Namun jika dibaca secara verbatim, Pasal 329 dan Pasal 330 justru menyatakan bahwa yang digunakan adalah RKUHAP yang baru. 

“Bunyi Pasal tersebut lebih mencerminkan keberlakuan aturan yang baru dibanding dengan prinsip yang seharusnya. Meskipun terdapat asas lex specialis tersebut, perlu diingat bahwa terdapat asas lain, yakni lex posterior derogat legi priori,” ungkapnya. 

Ia menerangkan bahwa secara prinsip penanganan tindak pidana korupsi seharusnya dikhususkan. Menurutnya, ketentuan tersebut akan menjadi pintu bagi seluruh masalah berikutnya yang ada di dalam RKUHAP. 

“Bunyi dari dua Pasal ini justru bertentangan dengan semangat yang tengah dibangun untuk penanganan tindak pidana korupsi, terutama oleh KPK,” jelasnya. 

Pasal 327 membatasi KPK

Selain itu, Wana menyoroti Pasal 327 yang membatasi KPK menyelesaikan perkara perkara yang sedang berjalan hanya menggunakan KUHAP lama (UU No.8 tahun 1981) dan mengabaikan hukum acara khusus yang dimiliki KPK. 

“Dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi, hukum acara yang digunakan tidak hanya dalam KUHAP, tapi juga UU Tipikor, UU KPK, bahkan UU Pengadilan Tipikor. Sehingga pasal 327 ini menutup ruang bagi KPK untuk menggunakan hukum acara yang ada di dalam UU KPK maupun UU Tipikor itu sendiri,” jelasnya. 

Wana melihat ada penyempitan definisi penyidikan dan penyelidikan dalam Pasal 1 angka 8 RKUHAP yang tidak mencerminkan standar KPK untuk mewajibkan bukti permulaan cukup sejak tahap penyelidikan, sehingga berisiko menghambat efektivitas kerja awal KPK.

“Definisi dari pasal tersebut berbeda dengan penyelidikan pada Pasal 44 UU KPK yang memungkinkan penyelidik KPK tidak hanya mencari dan menemukan peristiwanya, namun juga diwajibkan mengumpulkan bukti permulaan yang cukup dan sekurang-kurangnya 2 alat bukti,” imbuh Wana. 

“Hal ini juga mengurangi akuntabilitas penyelidik untuk tidak mengulur-ulur perkara, sebab terdapat batas waktu yang harus dilakukan oleh penyelidik untuk melaporkan kepada KPK,” sambungnya. 

KUHAP juga akan membatasi upaya paksa dan koordinasi yang bersifat birokratis. Wana menguraikan bahwa upaya paksa hanya bisa dilakukan terhadap tersangka/terdakwa, tidak menjangkau saksi atau pihak lain yang kerap krusial dalam kasus korupsi. 

“Selain itu, kewajiban koordinasi dengan Polri dalam berbagai tahapan mengancam independensi kerja KPK,” ucapnya. (Dev/M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya