Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
DPR RI akan segera menyusun dan membahas revisi Rancangan Kitab UU Hukum Acara Pidana atau RUU KUHAP pada masa persidangan II tahun ini. Ada sejumlah pasal yang menjadi perhatian pakar, salah satunya mengenai konsep diferensiasi fungsional menyangkut kewenangan yang berbeda antara institusi penegak hukum Kepolisian dan Kejaksaan.
Pakar Hukum Pidana dan Kriminolog Universitas Brawijaya (UB), Prija Jatmika mengatakan ada beberapa pasal yang harus menjadi perhatian bersama, di antaranya Pasal 111 Ayat 2, Pasal 12 Ayat 11, Pasal 6 hingga Pasal 30b. Sejumlah pasal tersebut berpotensi dapat menimbulkan persoalan dalam penegakan dan kepastian hukum ke depan.
Pada Pasal 111 Ayat 2 misalnya, RUU KUHP memberikan kewenangan jaksa untuk mempertanyakan sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan yang dilakukan kepolisian.
“Seharusnya pasal tersebut mutlak jadi kewenangan kepolisian. Apabila hal ini tetap diterapkan maka dikhawatirkan akan menimbulkan penanganan perkara hukum yang tidak terpadu,” jelas Prija dalam keterangannya pada Kamis (23/1).
Selain itu, Prija menyoroti Pasal 12 Ayat 11 RUU KUHAP yang menjelaskan bahwa apabila masyarakat melapor polisi tetapi dalam waktu 14 hari tidak ditanggapi, maka masyarakat bisa melaporkan ke kejaksaan.
“Dalam pasal itu, masyarakat ketika lapor polisi tidak ditangani, bisa langsung lapor ke JPU, lalu jaksa menegur polisi. Kalau 14 hari tidak ditindaklanjuti, jaksa boleh memeriksa sendiri dan menuntut sendiri. Jadi saya melihat sistem ini tidak jelas,” katanya.
Selain itu, Pasal 12 Ayat 11 juga menyebutkan bahwa jaksa boleh menerima berbagai bentuk laporan dari masyarakat.
“Jika ini benar-benar diterapkan, nanti malah jadi kacau balau sistem penyidikan. Ini berpotensi tidak bisa menjamin kepastian hukum. Muaranya bisa-bisa terjadi penyalahgunaan wewenang,” ungka Prija.
Lebih lanjut, Prija menilai pasal yang mengerikan dan berpotensi menjadi masalah adalah tentang kewenangan penyadapan pada Pasal 30B. Dikatakan bahwa perluasan kewenangan kejaksaan dalam bidang intelijen, termasuk hak untuk melakukan penyadapan dan menimbulkan kekhawatiran baru.
Prija melihat, hadirnya pasal-pasal tersebut merupakan suatu kemunduran, yang sebelumnya digunakan saat era Hindia Belanda hingga Orde Baru, pasal tersebut sudah pernah diterapkan dan kemudian dihapus dalam KUHAP.
“Ini memberi peluang jaksa untuk kembali sebagai penyidik, ini merusak tatanan distribusi kewenangan yang sudah diatur bagus dalam KUHAP, jadi ini langkah mundur. Seharusnya seperti saat ini jaksa hanya bisa menyidik pelanggaran HAM berat dan tindak pidana korupsi,” katanya.
Menurut Prija, jaksa tidak berhak untuk menerima laporan masyarakat, melakukan pemeriksaan dan melakukan penuntutannya secara mandiri. Sebab, katanya, kewenangan sebagai jaksa itu tak seluruhnya mutlak menjadi penyidik.
“Ini akan terjadi tumpang tindih kewenangan dengan kepolisian. Kecuali, perkara tindak pidana khusus karena tindak pidana korupsi dan pelanggaran HAM berat itu extraordinary crime, kejahatan luar biasa,” ungkapnya.
Dibanding menerapkan pasal itu, Prija menilai lebih baik merealisasikan penerapan jaksa wilayah yaitu menempatkan jaksa berkantor di kantor kepolisian. Hal ini seperti pola yang ada di KPK yaitu adanya penyidik kepolisian dan jaksa penuntut umum bekerja satu atap.
Prija mengatakan hal tersebut bisa diadopsi sebagai bentuk efektivitas kinerja penanganan suatu perkara hukum, sehingga diharapkan dapat meminimalisasi terjadinya pengembalian berkas perkara yang bolak balik dari polisi ke jaksa.
“Pada saat penyidikan, tetap tugasnya polisi, jaksa bukan koordinasi saja tapi sinergi dalam rangka collecting evidence, atau pengumpulan barang bukti, jaksa dilibatkan setelah penyidikan,” jelasnya.
Lebih lanjut, dia juga menyoroti RUU KUHAP yang menyebutkan bahwa pelaksanaan restorative justice hanya bisa dilakukan oleh JPU. Menurut Prija, hal tersebut sangat bertentangan dengan asas adil, cepat dan murah.
“Palang pintu penyidikan itu di kepolisian. Maka dari itu, restorative justice dalam RUU KUHAP seharusnya diatur di tingkat penyidikan saja,” ujarnya.
Jika penerapan restorative justice dilaksanakan di JPU, kata Prija, hal itu bertentangan dan tidak sesuai dengan asas adil, cepat dan biaya murah. Sebab menurutnya, restorative justice bertujuan untuk menemukan jalan terbaik antara korban dan pelaku serta menekankan pemulihan kembali hak korban ke keadaan semula, bukan justru pembalasan.
“Kalau di JPU maka bukan restorative justice. Karena restorative justice itu harus dilakukan secepatnya. Kalau menunggu di JPU, maka harus menunggu pemberkasan di penyidik dulu,” tegasnya.
Apabila RUU KUHAP ini disahkan tanpa ada revisi, Prija khawatir akan menimbulkan abuse of power atau tindakan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan seorang untuk kepentingan tertentu, baik untuk kepentingan diri sendiri, orang lain atau korporasi.
“Nanti polisi menyidik, jaksa menyidik, maka masyarakat akan bingung, penyidikan jadi kewenangan siapa. Padahal aturan di seluruh dunia sudah jelas, penuntut dilakukan jaksa, kalau penyidik polisi,” katanya.
Dia juga menyampaikan, dalam RUU KUHAP, ketika jaksa diberi kewenangan memeriksa, menuntut, melakukan penyidikan dan penetapan hukum atas kasus ideologi, keamanan dan sosial budaya, bukan lagi tanahnya pidsus namun ranahnya pidum.
“Ini tidak menjamin kepastian hukum dan bisa jadi konflik interest antara kepolisian dan kejaksaan tentang prestasi. Padahal kepolisian tidak bisa menuntut, sedangkan kejaksaan bisa. Nanti dikhawatirkan perkara dari polisi tidak diloloskan sedangkan perkara dari penuntut umum selalu dipercepat,” pungkasnya.
Dalam kaitannya dengan sistem peradilan pidana terpadu, KUHAP menganut konsep diferensiasi fungsional yang didesain untuk memisahkan secara tegas kewenangan masing-masing institusi penegak hukum, agar tidak tumpang tindih kewenangan saat penanganan perkara pidana. Namun Prija tak memungkiri bahwa dalam praktiknya, konsep tersebut justru menimbulkan banyak persoalan. (Dev/I-2)
Presiden Prabowo ingin menyelesaikan dan memutuskan secara langsung kasus sengketa pulau antara Aceh dan Sumatera Utara.
Ketua Fraksi Golkar DPR Muhammad Sarmuji mengatakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset akan dibahas setelah RUU KUHAP rampung pada akhir tahun ini
Nasir Djamil mengapresiasi keputusan Presiden Prabowo Subianto untuk mengambil alih sengketa 4 pulau antara Aceh dan Sumatera Utara (Sumut)
Dr. Edy Wuryanto tegaskan istitha’ah kesehatan jemaah haji jadi wewenang Kemenkes. Koordinasi dengan Kemenag penting untuk seleksi calon jemaah berisiko.
Angka kematian jemaah haji Indonesia disorot Saudi. Timwas DPR minta seleksi kesehatan diperketat demi keselamatan jemaah, khususnya lansia berpenyakit.
Timwas DPR RI soroti rasio tak ideal tenaga medis haji Indonesia. Usul bangun RS Haji di Makkah demi layanan lebih maksimal bagi jemaah.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved