Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Penghapusan Presidential Threshold Memurnikan Demokrasi 

Devi Harahap
03/1/2025 14:58
Penghapusan Presidential Threshold Memurnikan Demokrasi 
ilustrasi.(MI)

MAHKAMAH Konstitusi (MK) telah menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sehingga semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Namun, ada kekhawatiran terhadap efisiensi pemilu dan stabilitas sistem politik.

Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Airlangga, Haidar Adam menjelaskan bahwa penghapusan presidential threshold telah membawa semangat purifikasi atau pemurnian terhadap sistem presidensial di Indonesia. Menurutnya, hal ini akan berdampak pada perubahan konfigurasi pemilihan umum yang tidak lagi didominasi para elite dari partai politik besar. 

“Sehingga para elite partai politik yang besar tidak lagi jumawa, tidak bisa mengatur-mengatur atau mendesain konfigurasi politik sesuai dengan keinginan mereka sendiri, tapi harus melakukan negosiasi kepada partai-partai politik lainnya. Demokrasi nanti tidak lagi bersifat elitis,” katanya saat dikonfirmasi Media Indonesia pada Jumat (3/1).  

Haidar mengatakan bahwa putusan MK tersebut harus ditindaklanjuti oleh DPR. Dikatakan bahwa putusan MK tersebut memuat petunjuk atau (constitutional engineering) di mana hukum dimaknai sebagai alat untuk rekayasa sosial.

“Atas dasar itu, petunjuk tersebut merupakan arahan dari MK supaya proses legislasi yang dibuat untuk merespon atau menindaklanjuti putusan MK tidak keluar dari kerangka yang sudah ditentukan oleh MK. Dan saya mengira DPR tidak akan mengambil resiko membuat aturan yang normanya tidak selaras dengan pertimbangan dari hakim konstitusi di dalam putusan ini,” jelasnya. 

Lebih lanjut Haidar mengungkapkan bahwa MK cukup berani dan progresif dalam memutuskan perkara tersebut. Menurutnya, secara hukum tata negara putusan MK tersebut bisa dilihat dari kacamata positif dan negatif. 

“Ini memunculkan pertanyaan, satu sisi MK sedang melakukan perannya sebagai ‘positive register’ karena merekomendasikan rumusan norma, tetapi dalam konteks tertentu MK bisa dianggap sebagai pihak yang melanggar peran hakikat sebagai ‘negative register’ karena perannya hanya membuat tidak valid tanpa harus membuat norma baru,” tuturnya. 

Jika dilihat dalam perspektif fasilitasi hakim, Haidar menurunkan putusan MK termasuk dalam kategori aktif yudisial yakni kondisi para hakim mencoba untuk menggali berbagai argumen dari berbagai perspektif. 

“Kemudian ini menunjukkan hakim menjadi sangat politis dan kreatif dalam mencari argumen-argumen baru pada perkara konstitusional. Hakim tidak segan untuk  melakukan pendekatan yang mungkin sangat progresif terhadap suatu keputusan,” tuturnya. 

Haidar juga menjelaskan bahwa putusan MK juga akan berdampak pada teknis kepemiluan ke depan yang semakin besar secara kuantitas, baik dalam perspektif penyelenggara maupun pemilih. 

“Jika terdapat 40 partai politik, maka sebanyak 40 partai tersebut memiliki potensi untuk mengajukan calon. Secara teknis sedikit menyulitkan di penyelenggara, pemilih juga akan sedikit kesulitan karena akan dihadapkan pada banyak opsi. Terlepas dari hal itu, putusan MK ini tentu menjadikan demokrasi lebih inklusif,” jelasnya. 

Selain itu, Haidar menjelaskan bahwa putusan ini bisa saja membuat partai non parlemen memenangkan pemilihan presiden. Jika hal itu terjadi kata Haidar, dapat memengaruhi stabilitas politik nasional yang mana hal itu pernah terjadi pada periode pemerintahan Presiden SBY pada 2004 lalu.  

“Tentu saja Presiden akan ‘sendirian’ dan kita pernah mengalamimya dulu saat zaman SBY di mana pada fase-fase awal terlihat sangat lemah ketika dihadapkan pada situasi oposisi parlemen yang dominan,” jelasnya. 

Hal itu dapat membuat proses pengambilan kebijakan yang diinisiasi pihak eksekutif, dapat tersandra dan tertunda karena terjadi dinamika politik yang resisten di parlemen. 

“Sehingga dalam konteks tertentu akan menghambat pengambilan kebijakan, misalnya pada era SBY harus berhadapan awal dengan partai-partai besar lain di parlemen yang terkesan menyandera setiap kebijakan sehingga tidak bisa dieksekusi dengan baik dan efektif meskipun kebijakan itu berpihakan kepada masyarakat,” tandasnya. 

Kendati demikian, Haidar optimis putusan MK tersebut dapat membawa perkembangan demokrasi Indonesia yang lebih sehat dan inklusif meskipun akan diwarnai berbagai dinamika politik.
 
“Bisa saja berpotensi menimbulkan stabilitas politik, tapi saya kira hakim konstitusi dalam memutus ada arahan-arahan untuk dapat meminimalisir berbagai potensi risiko instabilitas politik ke depan,” tandasnya. (Dev/I-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Cahya Mulyana
Berita Lainnya