Headline

Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Tindak Pidana Ideologi Negara Perlu Diatur Lebih Lanjut dalam KUHP

Yakub Pratama Wijayaatmaja
09/10/2024 21:02
Tindak Pidana Ideologi Negara Perlu Diatur Lebih Lanjut dalam KUHP
Ilustrasi(MI)

KETUA Program Studi Kajian Terorisme Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia Muhamad Syauqillah menilai tindak pidana terhadap ideologi negara dalam KUHP Pasal 188–190 perlu diatur lebih lanjut, khususnya terkait tindak pidana terorisme.

Dia menjelaskan bahwa banyak pelaku tindak pidana terorisme dimotivasi oleh ideologi tertentu yang jelas bertentangan dengan Pancasila.

“Kejelasan dan rencana implementasi KUHP ini sangat penting. Sebagai pengkaji terorisme, saya melihat bahwa KUHP yang akan diberlakukan pada 2026, khususnya Pasal 188, 189, dan 190, secara tegas mengatur pidana bagi ideologi yang bertentangan dengan atau bahkan meniadakan Pancasila. Sementara di UU No. 5 Tahun 2018 mengatur perilakunya. Maka, bagaimana KUHP ini akan diimplementasikan?," kata dia, Rabu (9/10). 

Baca juga : UU KUHP Atur Pidana Mati Sebagai Pidana Bersifat Khusus

Apa yang disampaikan Syauqi sejalan dengan pernyataan Penyidik Densus 88, yang menyebutkan, “Kebanyakan tersangka kita adalah karena masalah ideologi.”

Wakil Direktur SKSG Eva Achjani Zulfa mengatakan bahwa kebebasan individu untuk menganut ideologi tertentu dilindungi oleh HAM, namun juga dibatasi dengan aturan agar tidak merugikan orang lain. Oleh karena itu, menurutnya, penanganan pidana ideologi harus dilakukan dengan hati-hati.

“Ketika negara terlalu overreaktif atau overkriminal dalam menangani tindak pidana ini, bukan membuat takut malah dapat memperlancar kegiatan yang tidak diinginkan. Selain itu, perlu juga dicermati soal pengkhianatan, penghasutan, dan ancaman terhadap ketertiban umum,” ujarnya.

Baca juga : Pemerintah Didorong Terbitkan Inpres Larangan Ideologi Anti Pancasila

Eva menjelaskan bahwa tidak mudah mempidanakan ideologi, dengan memberikan contoh hukuman mati Imam Samudra yang justru menginspirasi jaringannya. 

“Ada yang perlu dicermati jika Pasal 188-190 ini diterapkan sebagai tindak pidana biasa, sementara terorisme dianggap sebagai tindak pidana luar biasa. Bagaimana dengan penanganannya di lembaga pemasyarakatan berkeamanan maksimum?” ucapnya.

Senada dengan Eva, Ketua Program Doktor SKSG UI Margaretha Hanita mengungkapkan bahwa pada level tertentu, seseorang yang dipidana dengan kejahatan makar justru meningkatkan keterkenalan dan pengaruh di kelompoknya.

“Kita perlu cermat dalam membedakan mana yang merupakan makar dan mana yang merupakan terorisme,” ucapnya.

Ishlah Bahrawi, dari Jaringan Moderat Indonesia mengatakan bahwa seringkali sebuah negara lengah dalam memantau ideologi yang bisa menjadi sumber terorisme. (P-5)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Akmal
Berita Lainnya