Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan, pihaknya menunggu hasil persidangan resmi terkait putusan terkait gugatan uji materi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sistem Proporsional Terbuka.
“Kalau menurut saya, dan juga karena Perludem sebagai pihak terkait, baiknya memang menunggu saja proses persidangan yang sedang berjalan. Bagi kami, memang sebaiknya MK tidak memutuskan soal sistem pemilu ini, karena ini adalah kewenangan pembentuk undang-undang,” ujar Khoirunnisa ketika dihubungi hari ini (29/5).
Khoirunnisa menjelaskan, pilihan soal sistem pemilu adalah pilihan/kesepakatan pembentuk undang-undang yang seharusnya didiskusikan dalam kerangka revisi UU Pemilu. Kewenangan penentuan sistem pemilu berada di tangan DPR dan Pemerintah.
“Masing-masing sistem pemilu ada kelebihan dan kekurangannya. MK tidak bisa mengatakan bahwa sitstem pemilu tertentulah yang konstitusional, yang bisa menjadi pertimbangan hukum MK adalah membuat prinsip-prinsipnya,” kata dia.
Lagipula, tahapan pemilu sudah berjalan, perlu ada kejelasan, jadi kalau mengganti aturan main di tengah tahapan pasti sangat mengganggu keseluruhan tahapan pemilu.
Perludem berharap, MK tidak mengabulkan gugatan tersebut, karena kalau sampai dikabulkan, tidak ada upaya hukum lain. “Keputusan MK sifatnya final dan mengikat. Tidak ada upaya hukum yang lebih tinggi lagi setelahnya. Sehingga jika sudah diputuskan oleh MK artinya ketentuan tersebut berlaku,” sebut Khoirunnisa.
Baca juga: Politik Mercusuar Reformasi Hukum
Sebelumnya, Pakar Hukum Tata Negara, Denny Indrayana mengaku mendapat informasi penting terkait gugatan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sistem Proporsional Terbuka di Mahkamah Konstitusi (MK). Denny menyebut MK akan mengabulkan gugatan tersebut, sehingga sistem Pemilu kembali menjadi proporsional tertutup alias coblos partai.
Dalam proses berdemokrasi, Khoirunnisa berpendapat jika kembali ke sistem proporsional tertutup, masyarakat tidak mengenal wakil mereka, dan elit parpol memiliki kuasa yang besar.
“Dengan sistem proporsional tertutup, pemilih hanya bisa memilih tanda gambar partai politik. Artinya kuasa partai akan sangat besar menentukan calegnya," ujarnya.
Dari sembilan partai di parlemen, hanya PDIP yang mendukung diterapkan sistem coblos partai. Sedangkan delapan fraksi lainnya mulai dari Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, PAN, PKS, Demokrat, dan PPP menolak wacana tersebut.
Kemunduran Demokrasi
Hal senada diungkapkan Ketua DPP Partai Golkar Dave Laksono menilai jika benar Mahkamah Konstitusi nantinya memutuskan sistem pemilu proporsional tertutup, maka hal itu bisa dianggap sebagai kemunduran demokrasi.
"Golkar menganggap itu adalah sebuah kemunduran demokrasi," terang Dave.
Menurutnya, sistem pemilu proporsional tertutup akan merampas hak rakyat, sekaligus membelenggu kemajuan reformasi.
"Di mana hak-hak rakyat telah dirampas dan proses kemajuan reformasi terbelenggu," tambahnya.
Kendati demikian, Partai Golkar juga akan menyiapkan berbagai skenario untuk menghadapi bermacam kemungkinan yang muncul dari putusan MK tersebut.
"Akan tetapi kita tetap menyiapkan segala macam skenario, akan berbagai macam kemungkinan," tandasnya.(P-3)