Headline

RI-AS membuat protokol keamanan data lintas negara.

Fokus

F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.

Penulisan Sejarah untuk Kepentingan Bangsa dan Pendidikan

Sumardiansyah Perdana Kusuma Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar PGRI, Presiden Asosiasi Guru Sejarah Indonesia, Direktur Pusat Studi Pendidikan Publik
24/7/2025 12:56
Penulisan Sejarah untuk Kepentingan Bangsa dan Pendidikan
Sumardiansyah Perdana Kusuma, Presiden Asosiasi Guru Sejarah Indonesia, Tim Pengembang Kurikulum Nasional Mata Pelajaran Sejarah(Istimewa)

MENEMUKAN kembali identitas Indonesia (reinventing Indonesia Identity), demikian ide penulisan sejarah yang diusung oleh Kementerian Kebudayaan dengan melibatkan 113 sejarawan dan arkeolog. Ide tersebut mendapat penolakan dari kelompok Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI), yang khawatir sejarah Indonesia akan menjadi tafsir tunggal. 

Namun begitu, dukungan agar pemerintah diberi kesempatan melanjutkan penulisan sejarah sampai selesai juga muncul dari masyarakat, di antaranya Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI), dan Perkumpulan Prodi Pendidikan Sejarah se-Indonesia (P3SI). 

Penulisan sejarah sendiri bukanlah hal baru. Sebelum Indonesia merdeka, buku Geschiedenis van Nederlandsch Indie yang dibuat Stapel tahun 1938 menjadi buku sejarah yang paling banyak dibaca. Sejarah dilihat dari atas geladak kapal, suatu metafor yang menggambarkan pemerintah kolonial melihat Indonesia hanya dari sudut pandang mereka. Pribumi yang melawan dikatakan pemberontak, sedangkan penjajah dianggap pahlawan.

Karena itu, tahun 1975 pemerintah perlu membuat buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) sebanyak enam jilid yang berisikan pandangan orang Indonesia dalam melihat kisah bangsanya (view from within). Tahun 2002 dirintis buku SNI kedua berjudul Indonesia Dalam Arus Sejarah (IDAS), yang terdiri dari  delapan jilid utama dan satu jilid tentang faktaneka dan indeks. IDAS berpedoman pada pelurusan sejarah, ragam perspektif, dan untuk memperkuat pembangunan karakter bangsa (nation and character building).

Perdebatan Yamin dan Sudjatmoko

Pada Kongres Sejarah Nasional I tanggal 14-18 Desember 1957 di UGM, Yogyakarta, Mohammad Yamin memberikan pandangan mengenai perlunya filsafat sejarah nasional dalam penulisan sejarah. Pandangan Yamin mendapatkan tanggapan dari Sudjatmoko yang menjelaskan, bahwa sebagai ilmu, sejarah terpisah dari filsafat dan menjauhkan diri dari berbagai pengaruh ideologi.

Sudjatmoko menyoroti tentang feodalisme yang mengakar dalam kehidupan bangsa Indonesia bisa membuat stagnasi, dan menutup kemungkinan perubahan dalam sejarah. Sudjatmoko khawatir, apa yang dikemukakan oleh Yamin bisa menjadi pembenaran oleh para penguasa, demagog, atau politisi yang menggunakan sejarah sebagai alat legitimasi untuk melanggengkan kekuasaan, ataupun mengalahkan pihak yang dianggap bertentangan dengan kepentingan diri ataupun kelompoknya.

Padahal menurut Yamin filsafat sejarah ialah tentang kerangka pikir, kesadaran pikir, kedalaman pikir, dan keutuhan pikir yang bertujuan mencari kebenaran sejarah. Filsafat sejarah sendiri dibangun dari empat pilar, yaitu harus berpijak pada kebenaran, menjadikan sejarah Indonesia sebagai obyeknya, memiliki penafsiran yang beragam, dan bercorak nasionalisme Indonesia.

Eklektisisme perdebatan Yamin dan Sudjatmoko bisa diambil sebagai pilihan moderat, dengan memadukan antara landasan keilmuan dan filsafat yang berorientasi pada kepentingan bangsa dan negara.

Bahan pertimbangan

Untuk melanjutkan penulisan sejarah, pemerintah dapat mempertimbangkan hal-hal berikut. Pertama, pertimbangan ideologis. Sebagai official history, sejarah memang harus bermuatan ideologis dalam rangka menjaga keutuhan, identitas, dan karakter bangsa. Penulisan sejarah perlu direkonstruksi untuk memperkuat memori kolektif, meneguhkan nasionalisme, dan menghadirkan rasa bangga sebagai bangsa. 

Perspektif indonesiasentris bisa diusung, dengan tanpa mengabaikan nilai-nilai kejujuran, kebenaran, dan kaidah keilmuan. Selain itu jangan dilupakan peran sejarah lokal yang menceritakan tentang bagaimana daerah-daerah, kerajaan-kerajaan dan masyarakat lokal ikut berjuang untuk Indonesia serta berkontribusi dalam membentuk nilai-nilai keindonesiaan.

Kedua, pertimbangan pendidikan. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Jika kita bicara watak dan peradaban bangsa, atau bisa kita sebut dengan istilah manusia Indonesia, maka instrumen sejarah (sejarah Indonesia) memiliki kedudukan yang penting untuk menjalankan fungsi tersebut.

Sejarah Indonesia harus didorong masuk dalam RUU Sisdiknas sebagai muatan mapel wajib pada jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Selain itu penulisan SNI dapat menjadi acuan dalam pengembangan kurikulum pendidikan sejarah, serta referensi tepercaya bagi masyarakat, khususnya kalangan guru, dosen, mahasiswa, dan peserta didik yang ingin mempelajari sejarah bangsanya. 

Ketiga, pertimbangan keilmuan dan perspektif yang beragam. Di masa penuh keterbukaan seperti sekarang, pemerintah harus membuka ruang partisipasi bermakna bagi publik serta mengedepankan pendekatan keilmuan, kritis, dan inklusif. Sejarah bukan benda statis, ia dinamis dan bisa berubah seiring ditemukannya sumber, data, fakta, dan penafsiran-penafsiran baru. 

Sebagai ilmu, sejarah memiliki prinsip-prinsip metodologi yang menjadi acuan dalam penulisan sejarah. Apalagi di tengah kompleksitas, sejarah perlu membangun kolaborasi lintas disiplin ilmu untuk menyelesaikan berbagai persoalan ataupun menemukan kebenaran, serta menghargai munculnya penulisan sejarah secara alternatif.

Secara inklusif, pemerintah harus bijaksana serta berhati-hati dalam memberi tafsir berkaitan dengan isu-isu sensitif di masa lalu, terutama terkait kasus pelanggaran HAM berat. Sejarah sudah sepatutnya menjadi tempat bagi tumbuhnya keberagaman bangsa, terutama dari mereka yang selama ini perannya dalam sejarah seolah terpinggirkan, seperti orang-orang peranakan (Tionghoa, Arab, India, Eropa), penduduk Papua, kaum perempuan, rohaniawan (ulama, santri, pendeta), petani nelayan, buruh, jurnalis, guru, dan masyarakat adat.

Keempat, Istilah penulisan ulang sejarah menjadi kurang tepat apabila digunakan sebagai frase resmi. Istilah pemutakhiran penulisan Sejarah Indonesia tampaknya lebih pas digunakan. Pemutakhiran dari sisi sumber, data, fakta, penafsiran, dan narasi. Apalagi telah diketahui, bahwa para penulis yang terlibat dalam proyek hari ini tidak benar-benar menulis ulang sejarah apalagi memulainya dari nol. (E-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya