Headline
Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.
Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.
PENGAJAR hukum tata negara dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini, merespons kritik yang dilayangkan Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) kerap membatalkan undang-undang hasil pembahasan panjang DPR dengan dalih tidak memenuhi asas partisipasi publik.
Menurut Titi, sejauh ini baru Undang-Undang Cipta kerja saja yang dibatalkan MK karena tidak memenuhi prosedur formil partisipasi bermakna. Ia mengatakan, MK sebenarnya lebih banyak membatalkan UU karena materinya yang bertentangan dengan konstitusi UUD 1945.
Titi, yang juga kerap berperkara di MK mengatakan, DPR selaku pembentuk UU memang seharusnya merumuskan sebuah produk legislasi dengan partisipasi dan deliberasi secara bermakna. Lagi pula, ketentuan itu juga diatur dalam UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
"MK sekadar menegaskan bahwa meski DPR dan pemerintah memiliki kewenangan membentuk undang-undang, tapi prosedurnya tidak bisa mengabaikan keterlibatan rakyat," katanya kepada Media Indonesia, Kamis (19/6).
Bagaimanapun, sambungnya, kedaulatan berada di tangan rakyat sehingga produk hukum yang dihasilkan pembentuk undang-undang tidak boleh bertentangan dengan konstitusi ataupun kepentingan rakyat.
"Pasca-putusan atas pengujian formil UU Cipatker memang makin banyak masyarakat yang mempersoalkan prosedur pembentukan UU yang dinilai tidak menerapkan partisipasi secara bermakna, misalnya uji formil UU Kesahatan, UU TNI, UU Minerba, dan UU BUMN," tutur Titi.
Bagi Titi, jika MK membatalkan sebuah UU karena cacat formil tidak memenuhi partisipasi bermakna, justru DPR yang seharusnya gevaluasi diri. Apalagi, saat ini ia menyoroti adanya fenomena fast track legislation yang secara faktual memang pembentukan UU diselesaikan tergesa-gesa, cenderung tertutup, dan kurang membuka ruang deliberasi.
"Seharusnya DPR yang harus berterima kasih kepada MK karena telah meluruskan praktik pembentukan UU yang selama ini menyimpangi prosedur yang konstitusional," ujar Titi.
Jika tidak dikoreksi MK, Titi mengatakan DPR dan pemerintah justru berpotensi semakin kebablasan dalam menghasilkan UU yang elitis dan berjarak dengan kepentingan publik. Konsekuensinya, ia menyebut bakal mengakibatkan eskalasi ketidakpuasan publik yang bisa berujung protes massa dan berujung konflik.
Sebelumnya, Habiburokhman menggarisbawahi bahwa upaya DPR dalam membentuk UU dengan mudahnya dipatahkan oleh MK dengan dalih tidak memenuhi asas partisipasi bermakna. Padahal, justru MK yang tidak mencerminkan keterlibatan publik secara luas dalam mengambil putusannya.
"Kalau dibilang partisipasi, putusan MK itu tidak melibatkan partisipasi apapun kecuali sembilan orang (hakim konstitusi) itu," ucap Habiburohkman.(M-2)
gugatan uji materiil terkait syarat caleg harus sesuai domisili dapil jika bakal terjadi penguatan kelembagaan partai politik di daerah.
ADA 20 Februari lalu, Presiden Prabowo telah melantik 481 kepala daerah hasil pilkada serentak 2024. S
Ia juga memberi catatan pembahasan RUU Pemilu yang merupakan kodifikasi pengaturan pemilu dan pilkada dalam satu naskah harus dibarengkan waktunya dengan pembahasan Revisi UU Partai Politik.
Titi menjelaskan faktor penyebab rendahnya partisipasi pemilih pada Pilkada itu perlu dibuktikan, apakah ada kesengajaan.
MK akan menggelar sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PH-Pilkada) atau sengketa pilkada 2024 mulai besok, Rabu (8/1). MK diminta jaga independensi hakim
Haidar menjelaskan pernyataan tersebut menunjukkan DPR sebagai sebuah lembaga negara terkesan ingin terlihat dominan dalam relasi ketatanegaraan
Komisi III DPR RI berencana memulai pembahasan RUU KUHAP pada awal masa sidang mendatang.
Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman menilai keputusan pemerintah tersebut merupakan langkah baik dan sudah benar jika menimbang muatan hukum dan prinsip hak asasi manusia.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved