Headline
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.
Pelaksanaan partisipasi masyarakat yang bermakna dalam proses legislasi dinilai belum sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Atas dasar itu, Aktivis Hukum Ilham Fariduz Zaman dan PT Pinter Hukum Indonesia menggugat Pasal 96 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3).
Kuasa hukum Pemohon, Moh. Qusyairi menyampaikan bahwa ayat itu membatasi pihak yang memiliki hak partisipasi dalam dua kategori, yakni yang terdampak langsung dan/atau mempunyai kepentingan. Ia menilai ketentuan itu juga tidak memberikan kepastian hukum yang adil bagi para Pemohon sebagai pihak yang memiliki kepedulian terhadap proses legislasi.
Ia menekankan bahwa frasa “yang terdampak langsung dan/atau mempunyai kepentingan” di Pasal 96 Ayat (3) UU PPP bertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945 yang menjamin adanya kepastian hukum yang adil dan merduksi partisipasi dalam proses legislasi.
“Berdasarkan prinsip ini, Pemohon berpendapat bahwa setiap individu atau kelompok yang memiliki perhatian (concern) terhadap suatu kebijakan harus memiliki hak untuk terlibat dalam pembentukannya,” kata Moh. Qusyairi di Gedung MK pada Kamis (20/3).
MK diminta untuk membatalkan frasa tersebut karena dinilai telah melanggar hak pihak-pihak yang memiliki kepedulian terhadap suatu masalah yang dibahas di dalam suatu rancangan undang-undang (RUU) untuk ikut berpartisipasi dalam proses legislasi.
Selain itu, sambungnya, Pemohon juga menyoroti tren legislasi yang semakin mengabaikan partisipasi masyarakat yang bermakna. Mereka mencontohkan penggunaan pasal yang diuji untuk mengecualikan kelompok tertentu dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Dewan Pertimbangan Presiden dan RUU tentang Kementerian Negara.
Para pembentuk UU beralasan bahwa materi kedua RUU tersebut tidak memiliki dampak langsung terhadap masyarakat, sehingga tidak memerlukan partisipasi publik. Pemohon menilai bahwa penafsiran semacam ini dapat terus digunakan untuk membatasi keterlibatan masyarakat dalam proses legislasi.
“Kerugian konstitusional para Pemohon dimaksud dalam penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi ketika ketentuan pasal a quo secara aktual telah digunakan oleh pembentuk undang-undang untuk mengeksklusi orang/kelompok yang memiliki perhatian (concern) terhadap RUU Wantimpres dan RUU Kementerian Negara,” ungkapnya.
Moh. Qusyairi menjelaskan pembentuk undang-undang telah secara nyata mengakui tidak perlu melibatkan partisipasi masyarakat karena muatan materi yang dibahas dalam kedua RUU tersebut, menyangkut kewenangan Presiden yang tidak memiliki dampak langsung atau tidak memuat kepentingan masyarakat seperti halnya Pemohon.
“Maka tidak menutup kemungkinan ketentuan pasal a quo juga kembali digunakan oleh pembentuk undang-undang untuk mengeksklusi hak partisipasi Pemohon sebagai kelompok yang memiliki perhatian (concern),” ujarnya.
Kemudian, dalam permohonannya, para Pemohon juga menyoroti pergeseran makna dalam ketentuan yang diuji. Sebelumnya, MK telah menafsirkan bahwa pihak yang berhak berpartisipasi dalam proses legislasi tidak hanya mereka yang memiliki kepentingan langsung, tetapi juga yang memiliki perhatian terhadap suatu kebijakan.
“Namun, ketentuan dalam pasal yang diuji kembali mempersempit cakupan partisipasi masyarakat, sehingga menghilangkan kepastian hukum bagi individu atau kelompok yang memiliki perhatian terhadap suatu peraturan perundang-undangan,” jelas Qusyairi.
Kurang Partisipatif
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengatakan penghapusan sejumlah frasa dalam UU PPP dikhawatirkan akan membatasi terwujudnya partisipasi bermakna.
“Kalau selama ini disangkakan banyak produk hukum yang kurang partisipasi, berarti apakah itu yang salah adalah pasalnya ataukah itu yang salah dalam implementasi pembuatannya? Nah, itu yang harus kita cermati. Kelihatannya, kok, lebih banyak implementasinya yang belum sebagaimana yang diinginkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi,” kata Arief.
Selain itu, Arif mengungkapkan bahwa MK sudah mengakomodasi partisipasi dari pihak-pihak yang memiliki perhatian terhadap isu/substansi yang dibahas dalam RUU tersebut dalam putusan sebelumnya, dan bukan hanya pihak-pihak yang terdampak atau memiliki kepentingan. Itu termasuk dalam putusan MK mengenai partisipasi masyarakat yang bermakna.
Namun, hal itu kemudian dituangkan di dalam UU No 13/2022 oleh pembentuk undang-undang dan hanya disebutkan partisipasi masyarakat. Menurut Arief, partisipasi yang dimaksud oleh putusan MK itu sangat luas dalam pengertian substansinya maupun orang-orang yang memberikan masukan.
Dikatakan bahwa dahulu, pengertian pemberian partisipasi itu sering dilakukan dengan mengundang rapat-rapat baik ke Jakarta atau anggota DPR yang turun ke daerah seperti ke perguruan tinggi atau mengundang seluruh masyarakat.
”Pengertian partisipasi sudah bergeser jauh dengan kemajuan teknologi informasi, tidak harus selalu mengadakan rapat-rapat, mendatangi berbagai tempat, atau masyarakat diundang ke DPR. Itu cara-cara yang konservatif. Tetapi, sekarang cukup dilempar di laman DPR atau laman pemerintah, di situ, maka sebetulnya masyarakat secara luas bisa berpartisipasi dalam memberikan masukan-masukan,” ungkap Arief.
Atas dasar itu, apabila MK mengabulkan permohonan yang diajukan, Arief menilai justru hal itu menimbulkan pembatasan-pembatasan terhadap pihak-pihak yang bisa berpartisipasi dalam pembuatan undang-undang. Padahal, pengertian partisipasi bermakna saat ini sudah sedemikian luas. (Dev/P-1)
KETUA Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda, menegaskan pihaknya siap membahas kembali terkait batas wilayah di seluruh Indonesia bersama pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.
Zakat adalah kewajiban privat yang pengelolaannya membutuhkan regulasi publik.
Tersangka maupun terdakwa kasus korupsi tetap akan diproses hukum meski mengembalikan hasil korupsinya.
Aturan tersebut mengecualikan situasi tertentu di antaranya saat situasi darurat, untuk tujuan akademis serta upaya untuk memastikan aksesibilitas.
Presiden Prabowo Subianto menandatangani Undang-Undang Nomor 151 Tahun 2024 yang mengatur tentang perubahan nomenklatur jabatan di Provinsi Daerah Khusus Jakarta (DKJ) pasca-Pilkada 2024.
Supremasi sipil dalam UU TNI belum sepenuhnya mencerminkan prinsip-prinsip demokrasi, khususnya dalam situasi jika terjadi kekosongan jabatan Presiden dan Wakil Presiden.
Empat orang mantan komisioner DKPP memohon supaya DKPP dipisahkan dari Kementerian Dalam Negeri dan nomenklaturnya diubah.
MAHKAMAH Konstitusi (MK) dijadwalkan menggelar sidang perdana atas uji materi Undang-Undang Nomor 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) siang ini, Jumat (25/4).
Ke-29 musisi dalam permohonan ini meminta agar Pasal 113 ayat (2) UU Hak Cipta dinyatakan inkonstitusional dan tidak berkekuatan hukum.
Ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU MK tersebut tidak menentukan secara jelas mengenai jumlah komposisi hakim konstitusi perempuan dan laki-laki.
Banyaknya angka nol yang terdapat dalam mata uang rupiah oleh Pemohon dinilai sebagai hal yang tidak efisien.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved