Headline
Pengibaran bendera One Piece sebagai bagian dari kreativitas.
Pengibaran bendera One Piece sebagai bagian dari kreativitas.
Isu parkir berkaitan dengan lalu lintas dan ketertiban kota.
REVISI Undang-Undang Pemilu dan Pilkada dinilai sebagai satu-satunya jalan untuk mengakhiri polemik terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pemisahan pemilu nasional dan lokal. Hal itu disampaikan pakar hukum pemilu dari Universitas Indonesia Titi Anggraini menanggapi respons Ketua DPR RI Puan Maharani yang menyebut bahwa seluruh fraksi menyatakan putusan MK inkonstitusional.
Bagi Titi, kalau memang partai politik menyatakan putusan MK melanggar konstitusi, pernyataan itu harus keluar oleh masing-masing partai secara resmi. Pasalnya, Puan bukan wakil dari ketua partai-partai politik. Lagipula, sambungnya, keputusan resmi atas nama DPR juga harus dihasilkan lewat mekanisme resmi Rapat Paripurna.
"Pernyataan soal inkonstitusionalitas Putusan MK mestinya dikeluarkan berdasarkan data, fakta, dan kajian yang akuntabel. Bukan sebatas pernyataan personal orang per orang. Pernyataan partai pun seharusnya juga disampaikan oleh otoritas yang berwenang di partai tersebut," kata Titi kepada Media Indonesia, Selasa (15/7).
Titi berpendapat, partai politik dan DPR seharusnya menjadi teladan dalam berkonstitusi. Jika tidak setuju dengan putusan MK yang memisahkan pemilu, seharusnya mereka dapat menempuh jalan yang sesuai. Terelebih, konstitusi lewat Pasal 24C UUD 1945 menegaskan bahwa putusan MK bersifat fina dan mengikat untuk semua pihak.
"Seharusnya, DPR merespon putusan MK dengan langsung melakukan revisi atas UU Pemilu dan UU Pilkada," jelas Titi.
Baginya, langkah merevisi itu justru akan membuka forum resmi bagi semua pemangku kepentingan untuk saling berdeliberasi secara terbuka, transparan, akuntabel, dan partisipatoris. Lewat forum tersebut, Titi menyebut semua pihak dapat beradu argumentasi dari dimensi hukum dan membeberkan bukti, sehingga keputusan yang akan diambil nanti dapat dipertanggungjawabkan.
"Kalau sekarang semua saling adu pendapat tanpa ada forum resmi yang bisa digunakan untuk secara komprehensif membahas keseluruhan aspek perbaikan pemilu yang bisa dilakukan," terang Titi. (M-3)
Jika alasan penolakan putusan MK karena pemilu tak digelar dalam siklus 5 tahunan sebagaimana mandat konstitusi, partai politik dinilai keliru.
Umbu mengatakan MPR tidak berwenang menafsirkan putusan MK yang nantinya berdampak pada eksistensi dan keberlakuan putusan MK. Ia mengatakan putusan MK bersifat final dan mengikat.
Pihaknya bersama dengan beberapa Kementerian/Lembaga juga masih berupaya memetakan implikasi dari putusan MK.
Ketua Komisi II DPR itu mengatakan saat ini DPR juga belum menentukan sikap resmi. Soal putusan MK masih jadi topik diskusi antarfraksi.
Rifqi mengeluhkan bahwa isu kepemiluan selalu hadir. Meski pesta demokrasi itu sudah beres
Putusan MK soal kewenangan Bawaslu memutus pelanggaran administrasi Pilkada, pembentuk UU dapat segera merevisi UU Pilkada.
Putusan MK Nomor 104/PUU-XXIII/2025 selanjutnya akan dibahas lebih lanjut. Ia mengatakan perlu regulasi yang detail untuk menjalankan putusan MK tersebut.
Titi Anggraini mengatakan putusan tersebut telah menegaskan tidak lagi terdapat perbedaan antara rezim pemilu dengan rezim pilkada.
Semua pihak harus berhati-hati dalam menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.135 tahun 2024 terkait pemisahan pemilu nasional dan lokal.
Titi menekankan DPR harus segera membahas RUU Pemilu sebab putusan MK tidak bisa menjadi obat bagi semua persoalan pemilu saat ini.
Bima Arya Sugiarto menilai bahwa keserentakan pemilu dan pilkada memberikan banyak manfaat dalam hal perencanaan anggaran.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved