Headline
Saat ini sudah memasuki fase persiapan kontrak awal penyelenggaraan haji 2026.
Saat ini sudah memasuki fase persiapan kontrak awal penyelenggaraan haji 2026.
Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, Umbu Rauta menanggapi soal pernyataan Ketua DPP NasDem Willy Aditya yang mendorong Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk menafsirkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pemisahan pemilu nasional dan lokal.
Menurutnya, jika MPR menafsirkan putusan MK akan menimbulkan masalah baru antara lembaga negara. "Jika MPR menguji putusan MK yang berdampak pada gugurnya putusan, akan menjadi permasalahan baru dalam relasi antar lembaga negara, karena cara penanganannya bukan menyelesaikan masalah tetapi potensial muncul masalah baru," kata Umbu kepada Media Indonesia, hari ini.
Umbu menjelaskan MPR dapat menafsirkan kaidah dalam UUD 1945 dengan pertimbangan bahwa MPR adalah lembaga yang menetapkan dan mengubah UUD sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UUD 1945. Sebagai lembaga pembentuk UUD 1945, MPR dianggap memahami secara mendalam dan komprehensif terkait makna dan asas dibalik setiap norma.
Meski demikian, Umbu mengatakan MPR tidak berwenang menafsirkan putusan MK yang nantinya berdampak pada eksistensi dan keberlakuan putusan MK. Ia mengatakan putusan MK bersifat final dan mengikat.
"Terhadap putusan MK, MPR hanya bisa melakukan pengujian atau membedah secara akademik (eksaminasi) yang mana hasil eksaminasi tersebut tidak otomatis menggugurkan putusan MK," katanya.
Sebelumnya,Ketua DPP NasDem Willy Aditya mendorong Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk menafsirkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pemisahan pemilu nasional dan lokal. Willy menilai penafsiran itu dilakukan agar tidak terjadi kebuntuan dalam menafsirkan putusan MK tersebut.
"Kami mendorong MPR memberikan original intent dari apa yang sudah diputuskan oleh MK ini. Jangan kemudian kita terjadi deadlock penafsiran terhadap apa yang sudah diputuskan oleh MK," ujar Willy di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (7/7).
Ia menilai DPR bisa merivisi UU Pemilu setelah adanya putusan MK. Namun, kata dia, DPR memerlukan pijakan yang kuat agar tak bertentangan dengan ketentuan hukum yang ada saat ini.
"Sebelum DPR jalan membuat peraturan pendahuluan, UU khususnya untuk pemilu, kami ingin mendorong MPR memberikan penjelasan, keterangan, original intent dari masalah putusan MK yang terjadi," jelasnya.
Willy menilai penafsiran dari MPR dapat menjadi landasan hukum bagi DPR dalam penyusunan revisi UU Pemilu. Ia menekankan pentingnya kepastian hukum dalam sistem demokrasi di Indonesia, salah satunya melalui penafsiran MPR.
"Demokrasi membutuhkan kepastian hukum. Jangan kemudian puluhan orang menggugat (konstitusi berubah). Sementara MPR itu enam ratusan, tujuh ratusan, dan itu merepresentasikan berapa juta orang," ucap Willy.(P-1)
Kendati belum ada pembicaraan dan pembahasan resmi, Dede menyatakan Partai Demokrat akan mengikuti keputusan MK beserta dengan segala aturan turunannya ke depan.
Partai NasDem mendesak dialog konstitusional untuk menyikapi pemisahan pemilu nasional-lokal. DPR dan Pemerintah didesak untuk tidak lagi membenturkan putusan MK dengan UUD.
PARTAI NasDem menegaskan komitmennya untuk menegakkan konstitusi sebagai hukum tertinggi demi keadilan, kesetaraan, perlindungan hak warga negara, dan cita-cita demokrasi yang adil.
Setelah melakukan simulasi, menurut dia, berbagai partai politik tersebut akan memutuskan sikap untuk sistem penyelenggaraan pemilu atau pilkada ke depannya.
Mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI 2012-2017 itu menilai, putusan MK relevan dengan kebutuhan demokrasi.
Hal tersebut diperlukan agar jalannya perhelatan pemilu mendatang terselenggara dengan lebih baik dan berkualitas demi perbaikan demokrasi Indonesia ke depan.
Kendati belum ada pembicaraan dan pembahasan resmi, Dede menyatakan Partai Demokrat akan mengikuti keputusan MK beserta dengan segala aturan turunannya ke depan.
Bima Arya menilai usulan pemilihan kepala daerah oleh lembaga legislatif dapat membuat pemerintahan menjadi lebih efisien dan lebih efektif untuk koordinasi.
Setelah melakukan simulasi, menurut dia, berbagai partai politik tersebut akan memutuskan sikap untuk sistem penyelenggaraan pemilu atau pilkada ke depannya.
Semua pihak harus berhati-hati dalam menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.135 tahun 2024 terkait pemisahan pemilu nasional dan lokal.
Mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI 2012-2017 itu menilai, putusan MK relevan dengan kebutuhan demokrasi.
Hal tersebut diperlukan agar jalannya perhelatan pemilu mendatang terselenggara dengan lebih baik dan berkualitas demi perbaikan demokrasi Indonesia ke depan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved