Headline
Pertemuan dihadiri Dubes AS dan Dubes Tiongkok untuk Malaysia.
Pertemuan dihadiri Dubes AS dan Dubes Tiongkok untuk Malaysia.
Masalah kesehatan mental dan obesitas berpengaruh terhadap kerja pelayanan.
Ketua Komisi II DPR Rifqinizamy Karsayuda mengatakan saat ini pihaknya sulit untuk menangani isu legislasi lain. Pihaknya harus dihadapkan lagi dengan isu dinamika pemilu.
Terlebih saat ini ditambah dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan itu terkait pemisahan pemilu nasional dan daerah atau lokal.
"Kami di Komisi II ini sudah coba move on untuk mengurus yang lain lain, tapi selalu kita dihadapkan pada satu dinamika ketatanegaraan yang kerap kali tidak bisa kita prediksi, salah satunya ya dari Mahkamah Konstitusi," kata Rifqi saat rapat dengar pendapat (RDP) bersama KPU dan Bawaslu di Ruang Komisi II DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, hari ini.
Rifqi mengeluhkan bahwa isu kepemiluan selalu hadir. Meski pesta demokrasi itu sudah beres. "Pemilu sudah selesai tapi isu isu kepemiluan ini memang nampaknya enggak pernah selesai," ucap Rifqi.
Dia menambahkan, beruntung DPR belum membahas revisi UU Pemilu. Apabila sudah dibahas, bisa dirombak lagi karena adanya putusan MK.
"Ada untungnya juga Revisi UU Pemilu ini belum dibahas, coba kalau dibahas, udah dibahas diubah lagi, kita mengurus Revisi UU pemilu lagi, bahas ubah lagi, urus Revisi UU pemilu lagi. Ya energi kita dari sisi legislasi nasional pasti akan terkuras," ucap dia.(P-1)
Setelah melakukan simulasi, menurut dia, berbagai partai politik tersebut akan memutuskan sikap untuk sistem penyelenggaraan pemilu atau pilkada ke depannya.
Mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI 2012-2017 itu menilai, putusan MK relevan dengan kebutuhan demokrasi.
Hal tersebut diperlukan agar jalannya perhelatan pemilu mendatang terselenggara dengan lebih baik dan berkualitas demi perbaikan demokrasi Indonesia ke depan.
Pernyataan Puan Maharani soal putusan MK terkait pemisahan pemilu sangat objektif.
MK menghendaki bahwa pemilu yang digelar pada 2029 mendatang adalah pemilu tingkat nasional untuk memilih presiden-wakil presiden, DPD, dan DPR RI.
Puan mengacu pada Pasal 22E UUD 1945 yang mengatur pemilu lima tahunan untuk memilih presiden, wakil presiden, DPR, DPD, dan DPRD.
Dampak negatif dari yang kalah, kata Bahlil, memicu konflik horizontal, seperti perseteruan antartetangga, hingga memicu perceraian di rumah tangga.
MK dalam perkembangannya tidak lagi menjadi sekadar negative legislator dalam meneruskan suatu perkara, tetapi sudah melangkah progresif sebagai lembaga yang dapat menafsirkan konstitusi.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved