Headline

Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.

Fokus

F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.

Jangan Biarkan Sekolah Dasar Negeri Sekarat!

Bernando J Sujibto Dosen prodi sosiologi UIN Sunan Kalijaga dan bergerak bersama Komunitas Kutub Yogyakarta
25/7/2025 05:00

DALAM lima tahun terakhir, kita dihadapkan pada fenomena menarik yang sekaligus cukup miris terjadi dalam dunia pendidikan kita, khususnya di ranah pendidikan dasar (SD), yaitu semakin berkurang minat orangtua untuk mendaftarkan anak-anak mereka di SDN di seantero negeri. Dari waktu ke waktu, fakta itu semakin menyerangai dan sangat deras menyergap keseharian kita, khususnya dalam tiga tahun ini. Problem serius ini perlu ada upaya revitalisasi total dan menyeluruh!

Sementara itu, sekolah dasar menjadi menjadi fondasi penting dalam pembangunan manusia. Aspek-aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik menjadi pertimbangan serius bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Urgensi sekolah dasar yang sangat fundamental ini menjadi fondasi utama bagi tumbuh kembang anak secara komprehensif.

Aspek-aspek lain, terutama bagi masyarakat Indonesia sendiri, seperti pembangunan manusia berbasis agama dan moral, juga menjadi wahana yang dikembangkan oleh pendidikan dasar. Masa usia sekolah dasar (6-12 tahun) diyakini sebagai masa emas perkembangan otak dengan stimulasi kognitif melalui pelajaran dan interaksi sosial yang sangat berpengaruh pada pembentukan jaringan otak dan kecerdasan.

Karena urgensi tersebut, keberadaan sekolah dasar menjadi pertimbangan serius dan sekaligus medan kontestasi yang diperebutkan dengan beragam cara dan pendekatan. Sebagai medan kontestasi, sistem pendidikan kita yang terbuka, khususnya kepada dunia pasar, menciptakan tantangan serius bagi pengelolaan dan inovasi di sektor sistem pendidikan negeri yang dikelola oleh negara.

Serbuan komersialisasi pendidikan dengan munculnya beragam tawaran inovatif dari lembaga dan institusi sekolah swasta yang sadar situasi dan kondisi sosial-demografis akhirnya menawarkan alternatif bagi para orangtua dalam menyekolahkan anak-anak mereka. Aspek-aspek rasional dan pragmatis, pada tataran paling praktis, menjadi pertimbangan dua belah pihak yang resiprokal (baca: orangtua anak dan institusi pendidikan) dengan memastikan supply and demand.

Sayangnya, lembaga pendidikan dasar yang fleksibel dan adaptif terhadap tuntutan zaman dan perkembangan teknologi diorkestrasi oleh para pelaku dan stakeholder 'pasar pendidikan' yang dipegang oleh institusi swasta.

Akhirnya, nasib SDN di Indonesia menjadi sekarat--kalah saing dengan lembaga pendidikan swasta yang setara. Karena itu, dari tahun ke tahun kita menyaksikan semakin banyak SDN yang kekurangan murid, bahkan nyaris kosong. Fenomena itu terjadi di berbagai daerah dan mengindikasikan tantangan besar dalam sistem pendidikan dasar nasional.

Fakta demikian sangat miris, misalkan, merujuk pada liputan Media Indonesia (25/7/2024) tentang SDN di Kudus yang hanya mendapatkan dua siswa pada 2024, Media Indonesia kembali menurunkan berita terkait dengan sekolah SDN di daerah kekurangan murid (15 Jul 2025).

 

PROBLEM DEMOGRAFI

Ada beberapa problem yang bisa dilacak untuk mengungkap fakta berkurangnya peserta didik di sekolah dasar di banyak daerah di Indonesia. Satu di antaranya ialah tantangan pergeseran demografi dan urbanisasi. Bagi saya, ini problem yang sangat serius dan harus menjadi perhatian pertama dan utama.

Sebagai faktor penting dalam perubahan sosial masyarakat, demografi perlu menjadi pertimbangan utama dalam sebuah kebijakan pemerintah, wabilkhusus tentang pendidikan karena dunia pendidikan berhadapan langsung dengan mausia, seperti memperhatikan secara rigid tentang kondisi riil penduduk dalam suatu wilayah. Itu termasuk aspek-aspek seperti jumlah, persebaran, struktur (usia, jenis kelamin), pertumbuhan, mobilitas (migrasi), kelahiran, kematian, dan perpindahan penduduk.

Aspek demografis ialah wilayah kajian yang kompleks karena di dalamnya kita berhadapan dengan jumlah, persebaran, dan perpindahan penduduk. Problem demografis ini semakin menantang dan kompleks di perkotaan. Kompleksitas dunia urban membutuhkan pembacaan dan pemetaan yang juga canggih untuk dapat mengurai problem-problemnya ke dalam tataran yang konkret dan bisa dicerna oleh masyarakatnya sendiri.

Dalam konteks ini, ketika masyarakat berada dalam poros dan gelombang urbanisasi, kita harus menghadapi dua tantangan sekaligus, yaitu (a) menurunnya angka kelahiran di daerah-daerah pinggiran kabupaten dan bahkan desa-desa karena ditinggal bekerja atau berpindah menetap di kota serta (b) memusatnya penduduk di satu tempat/kota tertentu. Kedua hal ini harus mempunyai solusi tersendiri agar problem demografi yang berdampak pada pemerataan di dunia pendidik dasar menjadi sangat penting.

Solusi taktis bagi poin pertama, seperti banyak diwacanakan oleh para pakar, ialah penggabungan (merger) beberapa sekolah SDN yang berdekatan di sebuah kecematan menjadi satu. Urgensi solusi merger berefek pada pengelolaan yang efektif terhadap sumber daya yang ada dengan memaksimalkan peran dan fungsi yang menyeluruh.

Para tenaga pengajar bisa dipakai dengan fungsi yang lebih variatif. Sementara itu, gedung dan lahan sekolah yang sudah tidak dipakai bisa dibangun dan dikembangkan menjadi sekolah lanjutan yang secara khusus dipersiapkan dengan sistem dan kualitas yang mumpuni setelah lahir dari pembacaan dan analisis kebijakan yang strategis. Solusi ini sebenarnya bisa menyasar banyak daerah dengan konteks pengalaman dan problem yang tipikal di lapangan.

Sementara itu, karena konteksnya ialah dunia urban yang kompleks dan multi-layer, poin kedua membutuhkan pendekatan komprehensif dan sistematis dengan memperhatikan semua unsur solutif yang bisa didayagunakan seperti teknologi yang efesien dan efektif.

Satu sisi, solusi merger sangat mungkin dilakukan menyesuaikan dengan kondisi demografi perkotaan, terutama bagi beberapa kelurahan kota yang jumlah SDN-nya padat dan tidak sesuai dengan jumlah kelahiran anak.

Pengkajian dan penanganan dalam konteks urban perlu sistematis dan komprehensif. Selain pakar di dunia pendidikan sendiri, pemerintah secara serius perlu melakukan penanganan secara komprehensif dengan menghadirkan ahli-ahli lain di bidangnya, seperti pemetaaan demografi, urban planner, pembangunan sosial, ekonom, dan pakar-pakar lainnya yang memang dibutuhkan.

Yang cukup mendasar, pemetaan dan analisis mendalam terkait dengan pemahaman zona dan titik konsentrasi di perkotaan, meminjam teori klasik zone theory dari sosilog Ernest W Burgess (1886-1966), perlu menjadi landasan penting. Burgess menwarkan model zona konsentris (concentric zone model) yang digunakan untuk menjelaskan struktur dan pertumbuhan kota, seperti zona central business district (CBD) atau pusat kota, zona transisi (transition zone), zona permukiman buruh (working-class zone), zona pemukiman kelas menengah (middle-class residential zone), dan zona komuter/suburban (commuter zone).

Jika mau jujur, kesadaran kita terhadap konteks zonasi Burgess di atas sejalan dengan kebijakan zonasi dalam dunia pendidikan, yaitu kesiapan sistem pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan konteks spasial masyarakat, seperti terkait dengan peningkatan kualitas dan fasilitas. Karena itu, para orangtua dengan penuh kepercayaan bisa menyekolahkan anak mereka di SDN sesuai dengan sistem zonasi.

Kebalikannya, jika standar itu tidak dipenuhi, orangtua akan memilih mengirim anak mereka ke sekolah swasta di luar zonasi dengan pertimbangan kualitas. Zonasi dalam sistem pendidikan kita gagal bukan karena idenya keliru, melainkan karena implementasinya tidak disertai pembenahan kualitas dan promosi sekolah yang adil.

Meskipun transisi dunia kerja dan praktik hunian semakin berubah dan sangat mencair di era digital, pemahaman terhadap basis zonasi seperti ini penting dipertimbangkan untuk dapat melihat karakter dan corak dari tiap-tiap penduduk urban.

Selain itu, kita dapat memahami struktur, sistem, dan kelas sosial di tengah kecakapan kita dalam mencermati ketegori demikian. Pendalaman terkait dengan situasi sosial masyarakat sangat penting dilakukan untuk melihat kecenderungan orang tua yang hidup dan bekerja di kota dalam menyekolahkan anak mereka di lembaga dengan sistem fullday atau pertimbangan agama dan aspek kualitas sekaligus.

Pertanyaannya ialah apa mungkin institusi SDN melaksanakan skema fullday school dengan peningkatan kualitas pendidikan yang dituntut oleh para orangtua? Pemerintah harus keluar dari belengku krisis citra dan legitimasi sekolah negeri, misalnya identik dengan layanan seadanya, kualitas guru yang tidak ramah, dan fasilitas terbatas.

 

REVITALISASI SATUAN PENDIDIKAN

Kesadaran tentang revitalisasi dalam dunia pendidikan harus menjadi keniscayaan demi meningkatkan daya saing pendidikan negeri yang semakin ke sini semakin kalah bersaing dengan sekolah swasta.

Program Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) yang bertujuan meningkatkan kualitas sarana dan prasarana pendidikan di seluruh Indonesia perlu diapresiasi. Program itu dilaksanakan melalui mekanisme swakelola oleh sekolah dengan melibatkan partisipasi masyarakat dan bertujuan menciptakan lingkungan belajar yang layak, aman, dan mendukung proses pembelajaran yang optimal.

Pada 2025, seperti dilansir dari laman resmi Kemendikdasmen, proragm revitalisasi ini menargetkan 11.440 satuan pendidikan dengan fokus pada perbaikan sarana dan prasarana serta melibatkan partisipasi masyarakat melalui skema swakelola.

Anggaran yang dialokasikan mencapai Rp17,1 triliun dengan 78% untuk sekolah negeri dan 22% untuk sekolah swasta. Untuk tingkat SD sendiri berjumlah 4.053 sekolah.

Pelaksanaan revitasasi ini juga menarik, yaitu dengan skema swakelola. Satuan pendidikan akan mengelola dana bantuan secara langsung dan mandiri dengan melibatkan peran serta masyarakat. Ini tentu jumlah dan skema yang sangat memungkinkan berdampak bagi revitalisasi SDN negeri dari berbagai daerah yang sedang sekarat menghadapi fakta merosotanya jumlah peserta didik dalam setiap tahunnya.

Selain itu, revitalisasi infrastruktur dan fasilitas sangat penting. Pemerintah pusat dan daerah harus mengelola anggaran tersebut untuk memperbaiki bangunan, menambah fasilitas digital, serta membangun lingkungan belajar yang nyaman dan aman sehingga citra dan kualitas SD bisa naik dan bersaing dengan membangun citra baru sebagai sekolah modern, terbuka, dan kompetitif. Ini bisa dilakukan dengan menghadirkan program unggulan, seperti kelas bilingual, ekstrakurikuler kreatif, kurikulum berbasis proyek (project-based learning), keterlibatan aktif orangtua, hingga pembelajaran deep learning yang sering didorong oleh Menteri Dikdasmen Abdul Mu’ti.

Akhirnya, setelah keseriusan melakukan revitalisasi yang menyeluruh, sekolah negeri sangat potensial memupuk kesadaran pluralitas dan multikulturalisme secara langsung; peserta didik yang beragam latar belakang (terutama agama) bisa saling berinteraksi.

Pengalaman perjumpaan keberagaman begini--jika dikelola dengan maksimal dengan pendekatan humanis dan penuh tanggung jawab--pada akhirnya dapat memupuk dan menumbuhkan sensibilitas kebangsaaan dengan kesadaran keberagaman dan toleransi yang kuat menopang masa depan Indonesia.

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya