Headline

Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.

Fokus

F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.

Algoritma dalam Perspektif Budaya dan Proses Pembelajarannya

Dr. Firman Kurniawan S, Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital, serta Pendiri Literos.org
26/7/2025 17:29
Algoritma dalam Perspektif Budaya dan Proses Pembelajarannya
Dr Firman Kurniawan S, Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital Pendiri LITEROS.org(Istimewa)

Algoritma sama sekali bukan barang baru. Hanya saja, pemaknaannya perlu mendapatkan perspektif baru, bahkan ketika harus mengeluarkannya dari pengertian dasar yang melekat. Dalam makna dasar, algoritma adalah prosedur singkat untuk memecahkan masalah berulang. Adanya frasa ‘masalah berulang’ inilah yang menjadikan maknanya meluas, seluas bidang kehidupan yang memanfaatkannya. Ini akhirnya menarik perhatian berbagai bidang pengetahuan. Mengikuti kepesatan pengembangan komputer dan pemanfaatannya, makna algoritma niscaya berkembang.

Di saat hanya Ilmu Komputer yang intensif menggeluti algoritma, maknanya kurang lebih senada dengan yang dikemukakan Alexander S Gillis, 2024. Dalam What is An Algorithm? Gillis mengikuti definisi klasik, menyebutnya sebagai daftar instruksi yang tepat untuk menjalankan tindakan tertentu langkah demi langkah. Langkah-langkah rutin itu diolah dengan perangkat keras maupun perangkat lunak tertentu. Algoritma juga digunakan untuk mengelompokkan, saat pemprosesan data, dan berperan penting dalam sistem otomatis.

Namun Nick Seaver, 2017, dalam Algorithms as Culture: Some Tactics for The Ethnography of Algorithmic Systems, menekankan bahwa pengertiannya kini tak hanya sebatas itu. Saat hampir semua bidang ilmu dan kehidupan telah menggunakannya, algoritma tak tunggal maknanya. Lagipula, makna klasik itu lebih berpijak pada fungsinya. Seaver mengusulkan algoritma perlu didekati sebagai multiples, ketaktunggalan atau kelipatan objek yang tak stabil. Ini terjadi karena digunakan pada beragam praktik, termasuk praktik oleh peneliti di luar disiplin ilmu asalnya. Para peneliti kritis ini dapat memberlakukan algoritma secara etnografis, melalui pendekatan budaya, melihatnya sebagai sistem sosioteknis yang heterogen dan tersebar. Ini tak sebatas formula prosedural yang kaku.

Lewat pengujian makna, saat algoritma diterapkan sesuai pengertian dasarnya, terjadi komplikasi makna. Sekelompok orang, dengan beragam latar belakang pengetahuan, menggunakan beragam teknik dan variasi pemahaman, menghasilkan algoritma yang tak konsisten, walaupun terkoordinasi longgar. Mengabaikan komplikasi ini, mendatangkan masalah bagi algoritma yang menjadi perhatian publik maupun kritikus. Algoritma itu terdistribusi, probabilistik, rahasia, terus ditingkatkan, dan diproduksi secara korporat.

Dalam pendekatan budaya, mengutip Paul Dourish, 2016, dalam Algorithms and Their Others: Algorithmic Culture in Context. Big Data & Society, Seaver mengungkapkan algoritma bukan otomatisasi, algoritma bukan kode, algoritma bukan arsitektur, dan algoritma bukan materialisasinya. Algoritma merupakan pembentuk budaya. Sehingga dapat diberi pengertian sebagai objek-objek terpisah yang mungkin berada di dalam konteks budaya, atau didiskusikan dengan isu-isu budaya.

Dalam makna ini, ketika selera terhadap makanan mengacu pada akun @darihalte_kehalte, pilihan destinasi wisata direkomendasikan aplikasi Tripadvisor, bacaan pengembangan diri merujuk pada platform Amazon.com, dan pilihan tontonan berdasar videosteaming Netflix, perilaku penghayatnya secara agregat membentuk budaya. Budaya yang dibangun melalui algoritma. Algoritma dalam budaya berperan membentuk budaya. Ini berbeda ketika dalam praktik pencarian teman kencan berbasis aplikasi. Algoritma tiap-tiap aplikasi berbeda-beda. Algoritma Tinder, Bumble, OkCupid, berlainan satu sama lain. Itu berimpllikasi pada pembacaan perilaku penggunanya. Ini menyebabkan pengguna dengan koding perilaku tertentu akan memperoleh teman kencan berbeda saat menggunakan aplikasi yang berbeda. Pengguna dapat menyesuaikan kode perilaku dirinya untuk memperoleh teman yang diinginkan. Namun, beberapa pengguna lain masih tetap nyaman dengan perbedaan pembacaan dan menganggap kecocokan ditentukan secara misterius oleh algoritma.

Ilustrasi mengakali algoritma di atas, tak sebatas interaksi pencarian teman kencan menggunakan aplikasi digital, tapi juga terjadi pada praktik kehidupan yang lain. Ini termasuk saat menggunakan aplikasi media sosial maupun mesin pencari. Pada aplikasi ini, konten akan berada di posisi 'paling diperhatikan' tergantung algoritmanya. Ini pun dapat disiasati dengan menemukan tema atau kata kunci yang sesuai kehendak algoritma, walaupun berarti kebenaran instrinsik algoritma hilang. Pihak luar non-teknis mengubah fungsi algoritma, yang menyebabkan sistem pembelajaran mesinnya berubah mengikuti aktivitas pengguna. Dourish beranggapan demikian. Cara berpikir inilah yang menganggap algoritma sebagai penentu jalan kehidupan, termasuk pilihan yang diharapkan. Ini berarti menempatkan algoritma sebagai budaya. Algoritma berperan sebagai tempat berpijak, berbagai interaksi. Aktivitas dijalankan dalam bingkai algoritma yang berwujud budaya.

Kembali pada pengertian dasar, algoritma sebagai prosedur singkat untuk memecahkan masalah berulang, keberadaannya memfasilitasi produksi pengetahuan. Seluruh prosesnya berlangsung di machine learning (ML), dan prosesnya dapat berlanjut sebagai deep learning. Pada ML terjadi proses belajar dari data, penyusunan prediksi, dan peningkatkan kinerjanya dari waktu ke waktu. Ini bahkan tanpa pemrograman yang melibatkan manusia. Proses ini akan membedakan jenis artificial intelligence (AI) yang ditampilkan: sebagai Generative AI atau Agentic AI.

Pembelajaran Algoritma

Dengan mengutip artikel di laman geeksforgeeks.org, 2025, berjudul Machine Learning Algorithms, pembelajaran algoritma terkategori menjadi tiga kelompok besar. Pertama, pembelajaran terawasi. Di sini, algoritma belajar dari data terstruktur yang sistematika input-output-nya diketahui. Berikutnya, pembelajaran tanpa pengawasan. Ini terjadi ketika algoritma bekerja dengan data tak terstruktur. Di sini terjadi identifikasi pola maupun pengelompokan terhadap data tak terstuktur itu. Terakhir, pembelajaran penguatan, pada bagian akhir ini algoritma belajar melaui interaksinya dengan lingkungan dan menerima umpan balik, dalam bentuk penghargaan atau hukuman.

Algoritma pembelajaran terawasi adalah yang bertujuan memetakan data masukan ke label keluaran yang sesuai, sehingga secara akurat dapat memprediksi data yang tak terlihat. Metode yang paling banyak digunakan adalah: regresi linier, regresi logistik, pohon keputusan, Support Vector Machines, k-Nearest Neighbors, Naive Bayes, Random Forest, Gradient Boosting, dan Neural Networks. Sementara, pada pembelajaran tanpa pengawasan yang bertujuan menemukan pola atau struktur tersembunyi, atau tanpa keluaran yang telah ditentukan sebelumnya, dilakukan dengan metode pengelompokan, reduksi dimensionalitas, dan asosiasi. Terakhir, algoritma pembelajaran penguatan yang bertujuan membuat rangkaian keputusan dengan memberi penghargaan atas tindakan yang baik dan menghukum atas tindakan yang buruk. Metode yang digunakan berbasis model dan bebas model.

Yang hendak ditunjukkan dari uraian algoritma di atas, seluruh prosesnya ditempuh dengan jalan tunggal. Pembelajaran bersifat komputasional dengan operasi statistik. Dan seluruhnya itu, berbeda dari proses pembelajaran yang dilakukan manusia.

Cara Manusia Belajar

Manusia belajar, menempuhnya dengan berbagai jalan. Jalan pertama, saat manusia memaknai realitas alamiah yang ada di sekitarnya: keberadaan udara, pasir, pohon, manusia lain, binatang maupun bintang-bintang di langit. Memaknai yang alamiah, bersifat empiris dan objektif. Ini juga disebut sebagai mengalami realitas alamiah. Hasil proses itu, menghasilkan pengalaman empiris, yaitu pengetahuan tentang yang alamiah.

Jalan berikutnya adalah interaksi sosial. Ini terjadi saat terdapat interaksi manusia dengan manusia lain. Interaksi yang mempertukarkan pengalaman subjektif. Hasilnya berupa pengetahuan intersubjektif. Pengetahuan tentang realitas intersubjektif itu, misalnya uang. Selembar uang yang bertulisan angka Rp200.000, dalam makna intersubjektifnya, dimaknai lebih tinggi nilainya dari lembaran kertas lain dengan tulisan Rp2.000. Bahan pembuatnya sama, ukurannya tidak berbeda, namun makna intersubjektifnya membedakan nilainya. Bahan baku interaksi sosial adalah bahasa yang mereprentasikan realitas terakumulasi sebagai makna yang disepakati.

Jalan pembelajaran berikutnya adalah apropriasi. Secara sederhana, apropriasi dapat diberi pengertian sebagai pemungutan atau pengambilan sesuatu untuk kepentingan diri sendiri. Dalam konteks pembelajaran, apropriasi terjadi terhadap serangkaian realitas, baik alamiah maupun intersubjektif, untuk kemudian dimiliki sendiri. Ilustrasinya, saat seseorang mengalami rangkaian peristiwa kejahatan, agar yang dialami itu dapat disampaikan kepada polisi sebagai laporan, dipilih bagian-bagian yang dapat dipahaminya untuk disampaikan kembali. Di sini terjadi seleksi dari yang kompleks menjadi yang mampu dimilikinya. Oleh karena itu, pada dua orang yang berbeda, jumlah rangkaian realitas yang diapropriasi dari peristiwa yang sama dapat berbeda jumlah maupun substansinya.

Seluruhnya kemudian dapat dipahami bahwa hasil pembelajaran bisa berbeda jumlah material maupun kedalaman substansinya, baik melalui aproriasi, maupun melalui pemaknaan yang empiris atau melalui interaksi sosial berperantara bahasa. Ini pula yang menjadi pembeda dengan algoritma. Saat pembelajaran dilakukan dengan banyak perangkat, dengan datanya yang berjumlah sangat besar, hasilnya adalah pengetahuan yang sama. Maka, algoritma dalam pandangan budaya maupun proses pembelajarannya adalah makna algoritma di luar pengertian dasarnya yang tak bersifat tunggal. Algoritma dapat bermakna sebagai pembentuk budaya, sekaligus budaya itu sendiri. Dari proses pembelajarannya yang melibatkan sejumlah besar data dan dalam berbagai kategori, lahirlah satu jenis pengetahuan, yaitu pengetahuan tekstual, sesuai data yang diinput pada mesin pembelajarannya. Mungkin kecerdasannya yang disebut sebagai akal imitasi itu berisi data seluruh semesta, tak ada yang berasal dari luar sistem. Karena itulah algoritma tak mengandung prakarsa. Mana yang lebih berkuasa?



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya