Headline
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif impor baru untuk Indonesia
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif impor baru untuk Indonesia
MALAM itu, sekitar pukul 18.00 WIB, langit sudah pekat menyelimuti Dusun Bambangan
PERANG kognitif adalah bentuk peperangan yang menargetkan pikiran manusia, bukan fisik atau teritorial. Perang ini memanfaatkan informasi, disinformasi, dan teknologi untuk memanipulasi persepsi, memecah belah masyarakat, dan memengaruhi keputusan publik, tanpa satu peluru pun ditembakkan. Yang membuatnya berbahaya ialah kecepatannya: algoritma dan kecerdasan buatan (AI) memungkinkan narasi palsu, termasuk disinformasi, fitnah, dan kebencian (DFK), menyebar lebih cepat daripada klarifikasi, menciptakan kerusakan sosial dalam hitungan jam.
Dalam ranah politik, DFK dapat memicu polarisasi, melemahkan kepercayaan publik terhadap lembaga, dan membunuh karakter seseorang atau suatu lembaga secara sistemik. Dampaknya meluas, tak hanya di politik, tapi juga ekonomi. Algoritma e-commerce, misalnya, bisa dirancang untuk mempromosikan produk dari entitas tertentu dan mengaburkan visibilitas pelaku UMKM lokal.
Dalam jangka panjang, ini menciptakan ketergantungan pada pemain tertentu dan berpotensi mempercepat deindustrialisasi. Pilihan konsumen yang tampak netral ternyata diarahkan secara sistematis oleh sistem yang bekerja untuk kepentingan tertentu.
HEURISTICS DAN ILUSI FREE WILL
Dalam bukunya, Thinking, Fast and Slow, Daniel Kahneman menjelaskan bahwa manusia mengandalkan heuristics, jalan pintas berpikir, untuk membuat keputusan cepat dalam dunia kompleks. Heuristics ini merupakan anugerah bagi manusia sehingga manusia dapat bertahan dan berkembang menjadi unggul dalam proses evolusinya. Namun, meskipun efisien, heuristics juga rawan bias. Misalnya, availability heuristic membuat kita menganggap sesuatu penting hanya karena sering muncul, bukan karena valid.
Dalam konteks digital, heuristics ini menjadi titik masuk utama dalam perang kognitif. Algoritma mempelajari apa yang kita sukai dan takuti, lalu menyajikan konten yang mengonfirmasi keyakinan (confirmation bias), memancing emosi negatif (negativity bias), atau memperkuat identitas kelompok (in-group bias). Kita merasa bebas memilih apa yang kita lihat, baca, dan beli, padahal semua itu adalah hasil kurasi algoritma. Inilah yang disebut ilusi free will.
Dalam realitas digital yang dikendalikan algoritma, kehendak bebas menjadi komoditas yang diprogram. Dan semakin kita percaya bahwa kita berpikir secara mandiri, semakin efektif manipulasi itu bekerja.
ALGORITMA YANG DIPERSENJATAI
Algoritma adalah instruksi otomatis yang menentukan konten yang kita lihat dan respons yang kita berikan. Saat dipersenjatai, algoritma menjadi alat ampuh dalam perang kognitif, mengendalikan opini publik, memecah solidaritas sosial, hingga menggoyang stabilitas negara.
Cathy O’Neil dalam Weapons of Math Destruction menyebut algoritma yang tidak transparan, tidak bisa diaudit, akan berbahaya bila digunakan pada skala besar. Konten yang memicu ketakutan, kemarahan, dan emosi negatif lainnya lebih mudah dikonsumsi karena selaras dengan cara otak manusia berevolusi untuk bertahan hidup. Melalui heuristics (jalan pintas berpikir), otak secara otomatis memberi prioritas pada informasi yang tampak mengancam atau mendesak, sebab dalam lingkungan purba, mengenali bahaya dengan cepat bisa menyelamatkan nyawa.
Di era digital, respons naluriah ini menjadi komoditas. Algoritma tidak peduli apakah suatu informasi benar atau berguna, yang penting ia memicu reaksi. Dan karena kemarahan serta ketakutan adalah emosi yang paling cepat menyalakan engagement, maka konten semacam itu terus didorong ke depan. Hasilnya, lini masa kita perlahan berubah menjadi medan tempur emosional yang disusun untuk membuat kita tetap terpaku, terpecah, dan terpicu.
Di sektor ekonomi, algoritma e-commerce bisa menonjolkan produk dari mitra internal, menekan harga kompetitor, dan meminggirkan pelaku lokal. Ini bukan lagi sekadar kompetisi, tapi bentuk kolonialisasi digital yang merugikan kedaulatan ekonomi nasional.
PERLUNYA KEDAULATAN ALGORITMA
Di berbagai negara, algoritma yang tak transparan dan dibiarkan tak terkendali telah terbukti mempercepat polarisasi politik, memperkuat segregasi sosial, dan menciptakan ekosistem informasi yang rawan dimanipulasi. Salah satu kasus yang paling mencolok ialah penggunaan Facebook dalam konflik etnis di Myanmar pada tahun 2017.
Algoritma platform tersebut memperkuat penyebaran ujaran kebencian terhadap komunitas Rohingya. Hal ini telah dibuktikan oleh investigasi PBB dan Amnesty International. Untuk menjaga ruang digital, selama ini perhatian banyak tertuju pada isu kedaulatan digital dan kedaulatan data. Namun, upaya tersebut realisasinya sangat kompleks. Kedaulatan digital membutuhkan kemandirian di sektor perangkat keras, seperti produksi cip dan jaringan telekomunikasi, yang secara global masih dikuasai oleh segelintir perusahaan.
Di sisi lain, kedaulatan data menghadapi persoalan ireversibilitas: sekali saja data bocor, ia tidak dapat dikembalikan ke pemiliknya, tetapi menjadi aset permanen yang bisa direplikasi, diperdagangkan, dan dimanfaatkan tanpa batas. Sebaliknya, kedaulatan algoritma masih mungkin dikejar oleh negara berkembang seperti Indonesia. Dengan lebih dari 212 juta pengguna internet (DataReportal 2025), Indonesia adalah pasar strategis. Kita tak hanya punya hak, tapi juga daya tawar untuk ikut menetapkan arah teknologi global.
Langkah awal bisa dimulai dengan kebijakan transparansi. Setiap platform teknologi besar yang beroperasi di Indonesia seharusnya bersedia menjelaskan cara kerja algoritmanya, khususnya dalam menentukan konten dan produk yang ditampilkan kepada pengguna.
Di Eropa, misalnya, Digital Services Act mewajibkan perusahaan digital besar membuka sistem rekomendasi mereka kepada publik dan menyediakan akses bagi otoritas independen untuk melakukan audit terhadap algoritma berisiko tinggi. AI Act bahkan melarang penggunaan AI untuk manipulasi psikologis dalam konteks tertentu.
Selain itu, perusahaan teknologi yang beroperasi di Indonesia semestinya memberi ruang bagi pelaku usaha domestik agar tetap kompetitif di platform digital. Hal ini guna menjaga keberagaman dan keadilan dalam ekonomi digital yang makin monopolistik, serta memberikan level playing field bagi segenap pelaku industri digital termasuk UMKM.
Dalam menjaga keamanan dan stabilitas sosial di era digital, industri AI lokal dapat didorong untuk mengembangkan sistem yang mengidentifikasi pola penyebaran informasi bermasalah, seperti konten DFK, yang menyebar cepat tanpa verifikasi.
Selain itu, mereka juga dapat merancang sistem rekomendasi yang adil dan relevan secara budaya sehingga platform digital tidak mendorong interaksi semu, tapi juga memperkuat kohesi sosial dan mendukung kepentingan nasional. Di masa kini, pertarungan tidak hanya soal siapa yang menguasai data, tetapi juga siapa yang mengendalikan algoritma.
PADA mulanya banyak orang, termasuk para pakar, berpendapat media sosial atau media digital meningkatkan partisipasi politik dan memperkuat demokrasi.
Pendekatan pembelajaran berbasis eksplorasi dan proyek akan membantu anak-anak berpikir kritis dan lebih siap menghadapi masa depan.
Tim ilmuwan internasional mengembangkan DINGO-BNS, sebuah algoritma yang mampu menganalisis gelombang gravitasi dari penggabungan bintang neutron.
Para ilmuwan mengembangkan algoritma baru untuk "penerjemah otak" yang memanfaatkan kecerdasan buatan (AI) untuk mengubah pikiran menjadi teks.
Pengembangan algoritma kuantum yang efisien dan efektif untuk menyelesaikan masalah spesifik merupakan tantangan besar.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved