Headline
Pemerintah tegaskan KPK pakai aturan sendiri.
SANG fajar belum juga merekah sepenuhnya ketika ratusan orang memadati pelataran salah satu toko ritel di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (14/7). Mereka rela bangun dini hari untuk menggapai keberuntungan demi menyambung hidup.
Tatkala hari makin terang, kerumunan semakin padat. Ratusan menjadi ribuan orang. Antrean pun meluber ke jalanan. Mereka sabar menunggu giliran untuk melakukan wawancara kerja. Mereka tak cuma warga lokal, tapi juga datang dari daerah sekitar Cianjur. Mereka mengadu nasib lantaran pihak toko cuma menyediakan 50 lowongan.
Tidak ada gaji selangit yang ditawarkan untuk posisi kasir, pramuniaga, bagian gudang, hingga konten kreator. Angkanya minimalis. Sesuai dengan upah minimum regional setempat sebesar Rp3.104.583,63 per bulan, ditambah fasilitas lain seperti BPJS Kesehatan dan THR. Mereka yang lulus seleksi akan menjalani masa pelatihan lebih dulu selama dua bulan dengan bayaran Rp1,8 juta tiap bulan.
Itulah potret terkini ihwal betapa sulitnya mencari kerja di negeri ini. Potret-potret serupa lebih dulu terpampang di berbagai kawasan. Pada Mei silam, misalnya, job fair Bekasi Pasti Kerja di Cikarang berubah menjadi lautan manusia. Sekitar 25 ribu orang tumplek blek, berdesak-desakan, mengais harapan. Kericuhan sempat terjadi. Mau tahu kuota yang tersedia? Hanya 3.000.
Namun, bagi Kementerian Tenaga Kerja, membludaknya pencari kerja itu bukan representasi susahnya mencari kerja. Kata mereka, itu lebih menunjukkan tingginya animo masyarakat terhadap lowongan pekerjaan. Ah, suka-suka merekalah punya alasan.
Sebulan sebelumnya, antrean panjang pencari pekerjaan juga tersaji di halaman Balai Kota Jakarta. Mereka, mulai lulusan SMA, mantan pekerja pabrik, hingga ibu rumah tangga, datang sejak subuh. Tujuan mereka satu, yakni mendapatkan pekerjaan sebagai petugas prasarana dan sarana umum (PPSU), pekerja lapangan pembersih jalanan dan lingkungan. Niat mereka seragam, yaitu untuk mendapatkan gaji minimun Jakarta Rp5.300.000 tiap bulan.
Di Kabupaten Ciamis, video antrean ratusan pelamar kerja sempat viral di media sosial pada 2024. Video berdurasi 29 detik itu menarasikan mereka yang didominasi perempuan menunggu giliran untuk walk in interview di sebuah warung seblak. Maaf, bukan hendak merendahkan warung seblak, untuk menjadi pekerja di usaha itu pun rakyat harus berjibaku. Itulah penegasan yang mustahil terbantahkan bahwa mencari kerja di negara ini sulit, sangat sulit.
Tidak perlu apologi macam-macam. Data Badan Pusat Statistik (BPS) juga menunjukkan bahwa per Februari 2025, penganggur di Indonesia mencapai 7,28 juta orang. Naik ketimbang tahun sebelumnya yang 7,20 juta orang.
Dari jumlah tersebut, pengangguran lulusan S-1 alias sarjana lebih dari 1 juta.
Timpang betul kalau dibandingkan dengan Tokyo, Jepang. Di sana, seperti dilansir Japan Times, 98% lulusan perguruan tinggi pada Maret 2025 langsung terserap oleh dunia kerja pada bulan berikutnya. Memang, banyak faktor yang membedakan. Akan tetapi, begitu susahnya anak bangsa ini memperoleh pekerjaan tetaplah memprihatinkan.
Lebih memprihatinkan lagi, tatkala jutaan anak bangsa sesak napas mengais sandaran hidup, pemerintah malah obral jabatan komisaris BUMN. Jabatan itu menggiurkan. Penghasilannya 'membagongkan'. Angka di rekening sang pemangku dijamin akan berderet-deret. Bukan sebatas UMR seperti yang diincar pencari kerja di Cianjur, Bekasi, Jakarta, Ciamis, dan di tempat-tempat lain. Nominalnya ratusan, bahkan bisa ribuan kali lipat. Saking besarnya pendapatan mereka, sekelas Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat pun ngiler, iri.
Mereka juga tak perlu bangun subuh lalu berimpitan dengan ratusan atau ribuan pelamar kerja lainnya. Cukup dukung pemerintah, yang penting membela penguasa maupun bekas penguasa tapi masih berkuasa. Atau, jadilah kerabat, orang dekat mereka, maka jabatan komisaris perusahaan pelat merah siap ke pengakuan.
Itulah yang terjadi di rezim sebelumnya dan berlanjut di pemerintahan saat ini. Sami mawon, bahkan banyak yang menganggap lebih parah. Yang sudah punya jabatan dan penghasilan mentereng pun dirasa masih kurang, lantas diberikanlah posisi itu. Sebanyak 30 dari 55 wakil menteri sudah kebagian. Terakhir ialah Wamen Pemuda dan Olahraga Taufik Hidayat yang ditunjuk sebagai Komisaris PT PLN Energi Primer serta Wamen Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Stella Christie sebagai Komisaris PT Pertamina Hulu Energi.
Wamen yang belum dapat jatah tinggal menunggu waktu. Begitu pula staf khusus wakil presiden atau stafsus menteri. Sebagian sudah ketiban cuan, yang lain menunggu giliran. Jangan tanya soal pengetahuan dan kemampuan menjadi dewan pengawas BUMN.
Jangan persoalkan pula persoalan rangkap jabatan, masalah merit system. Bagi pemerintah, dalih tidak melanggar aturan jadi andalan. Masalah etika, masalah moral, masalah keadilan, urusan belakangan.
Banyak orang, termasuk saya, tadinya berharap Pak Prabowo tampil beda perihal jabatan komisaris. Tak sedikit yang ingin dia membuat terobosan dengan memangkas jumlah komisaris BUMN ke level minimal, dua atau tiga orang.
Nyatanya berkebalikan. Dewan komisaris tetap saja gemuk, tetap pula menjadi sarana balas jasa. Cicitan Pak Prabowo pada 2014 yang belakangan disebarkan di dunia maya seolah hanyalah heroisme semu. Begini bunyinya; 'Tidak bisa lagi jabatan dibagi-bagi berdasarkan partai apalagi jadi tanda terima kasih'.
Bagi-bagi komisaris BUMN ketika rakyat setengah mati berupaya lepas dari status pengangguran, pada saat Pak Prabowo katanya menggencarkan efisiensi, sungguh menyakitkan. Kalau tak punya solusi untuk menyudahi kesulitan rakyat mendapat mata pencaharian, empatilah barang sedikit.
Bagi kita, kesepakatan itu juga bisa menjadi jembatan emas menuju kebangkitan ekonomi baru.
TUBUHNYA kecil, tapi berdiri gagah seperti panglima perang yang memimpin pasukan dari ujung perahu yang melaju kencang di atas sungai.
KESIGAPAN Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka patut diacungi dua jempol. Ia menyatakan kesiapannya untuk berkantor di Papua sesuai dengan instruksi Presiden Prabowo Subianto.
DIPLOMASI itu bukan cuma soal politik. Pun, diplomasi atau negosiasi dagang tidak melulu ihwal ekonomi. Diplomasi dan negosiasi juga soal sejarah, kebudayaan, dan bahkan seni.
PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.
ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.
Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.
"DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."
MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.
“NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved