Memuliakan yang (tidak) Mulia

26/6/2025 05:00
Memuliakan yang (tidak) Mulia
Jaka Budi Santosa Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka. Ada asumsi, jika pejabat berkantong tebal dari sumber legal, mereka kebal akan godaan suap atau gratifikasi. Asumsi itu pula yang kiranya ada dalam pikiran Presiden Prabowo Subianto.

Karena yakin bahwa gaji tinggi, penghasilan besar, merupakan benteng kukuh untuk mencegah korupsi, Pak Prabowo menaikkan gaji hakim di negeri ini. Penaikannya bervariasi. Untuk 'wakil tuhan' paling junior, angkanya sangat signifikan, mencapai 280%. Penaikan itu disampaikan dalam acara pengukuhan hakim di Balairung Mahkamah Agung, Jakarta, Kamis (12/6).

Prabowo berdalih, gaji hakim perlu ditambah karena peran mereka sebagai benteng terakhir keadilan. Dia berseloroh, kalau perlu, anggaran tentara dan polisi dikurangi demi menyejahterakan hakim. Percuma tentara dan polisi hebat jika koruptor selalu lolos begitu sampai di pengadilan lantaran dibebaskan para pengadil yang menerima suap sebab gaji mereka kecil.

Kata Prabowo, negeri ini benar-benar butuh hakim yang kuat iman, yang tahan rayuan, yang tak bisa dibeli. Karena itu, lebih baik negara 'membeli' mereka lebih dulu ketimbang nantinya dibeli koruptor.

Memastikan hakim tegar bak batu karang dalam memutus keadilan memang sebuah kemestian. Ada aksioma, negara akan hancur jika keadilan bisa diperjualbelikan. Ada postulat, negara bakal porak-poranda, remuk redam, kalau hakim menjual keadilan. Persoalannya, tepatkah mencegah hakim korup dengan cara menaikkan gaji mereka? Pertanyaannya, memang kecilkah gaji para yang mulia?

Banyak silang pendapat soal itu. Ihwal besaran gaji juga relatif. Presiden sebelumnya, Jokowi, pun sudah menaikkan gaji mereka melalui Peraturan Pemerintah No 44 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas PP Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung yang diteken pada 18 Oktober 2024 alias dua hari sebelum ia digantikan Prabowo.

Disebutkan di PP itu, misalnya, hakim golongan IIIA dengan masa kerja 0-1 tahun mendapat gaji Rp2.785.700. Naik dari sebelumnya yang Rp2.064.100. Sekilas memang kecil. Namun, itu baru gaji. Masih ada tunjangan lain yang sesuai dengan PP No 94/2012 berjumlah Rp8,5 juta per bulan. Cukup besar. Apalagi setelah dinaikkan Jokowi menjadi Rp11,9 juta. Buat kakak-kakak mereka, terlebih paling senior, berlipat-lipat. Apalagi yang menjabat ketua pengadilan, tunjangan mereka sekitar Rp50 juta.

Setelah keputusan Prabowo, penghasilan resmi para hakim tentu kian menebal. Untuk gaji saja, hakim junior bakal membawa pulang Rp7.799.960. Kalau kemudian ada harapan mereka tak akan lagi korupsi, menghentikan praktik jual beli hukum, tidak nggragas, boleh jadi ada benarnya. Jika kemudian ada paradigma bahwa semakin tinggi insentif legal semakin kecil pula kemungkinan seseorang mencari keuntungan ilegal, juga wajar. Cuma, realistiskah harapan dan paradigma itu?

Setidaknya ada dua penyebab utama pejabat, termasuk hakim atau penegak hukum lainnya, di negeri ini korupsi. Pertama mereka melakukan rasywah karena kebutuhan menjadi masalah. Istilahnya corruption by need. Berlaku menyimpang terpaksa dilakukan lantaran penghasilan tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Untuk mengatasi korupsi jenis itu, meningkatkan kesejahteraan hakim bisa menjadi solusi. Dengan menaikkan gaji, hakim yang bertugas di daerah terpencil, yang terimpit oleh harga kebutuhan yang lebih mahal ketimbang di daerah lain, minim niat untuk menjual kehormatannya. Pertanyaannya, berapa banyak mereka?

Penyebab kedua kenapa pengelola negara, termasuk hakim 'gemar' korupsi ialah karena keserakahan, kerakusan, ketamakan. Penghasilan mereka sudah cukup, bahkan lebih dari cukup, tapi tak pernah merasa cukup. Selalu kurang, selalu ingin mendulang tambahan pendapatan sekalipun harus menjual jabatan dan kehormatan. Korupsi jenis itu disebut corruption by greed. Celakanya, banyak hakim terlibat dalam korupsi model itu.

Banyak, termasuk saya, yang tak terlalu yakin bahwa penaikan gaji hakim akan efektif mencegah corruption by greed. Korupsi bukan sekadar urusan isi kantong, melainkan lebih soal isi nurani, ihwal akhlak, perihal moral. Gaji, tunjangan, dan fasilitas lainnya memang penting demi independensi dan profesionalitas hakim. Namun, menjadikan angka sebagai satu-satunya tembok antikorupsi ialah kegagalan memahami persoalan dalam dunia peradilan kita.

Lewat Presiden Prabowo, negara betul-betul memuliakan hakim. Tadinya saya berharap kebijakan itu disambut dengan perbaikan kinerja para yang mulia. Namun, apa yang terjadi? Enam hari berselang, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta cuma memvonis Zarof Ricar dengan hukuman penjara 16 tahun penjara. Padahal, bekas pejabat MA itu terbukti bersalah melakukan pemufakatan jahat percobaan suap hakim agung dan menerima gratifisikasi senilai Rp1 triliun lebih. Padahal, jaksa menuntutnya 20 tahun penjara.

Lalu, lewat putusan pada 19 Juni 2025, MA menyunat hukuman hakim agung nonaktif Gazalba Saleh dari 12 tahun menjadi 10 tahun penjara. Gazalba terbukti bersalah melakukan korupsi dan pencucian uang. Dia dituntut 15 tahun, divonis cuma 10 tahun di tingkat pertama, ditambah 2 tahun di tingkat banding, eh dipangkas lagi di level kasasi.

Itukah yang namanya menjunjung tinggi integritas, menegakkan keadilan, gigih memberantas korupsi? Itukah jawaban setelah Pak Prabowo menaikkan gaji hakim? Jangan-jangan, nasib kebijakan Presiden bak menabur garam di lautan. Sia-sia. Jangan-jangan, rakyat akan rugi kuadrat. Makin deras uang terkuras untuk menyejahterakan hakim, tapi mereka tetap saja semaunya. Sial benar kalau begitu.



Berita Lainnya
  • Obral Komisaris

    17/7/2025 05:00

    SANG fajar belum juga merekah sepenuhnya ketika ratusan orang memadati pelataran salah satu toko ritel di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (14/7).

  • Uni Eropa, Kami Datang...

    16/7/2025 05:00

    Bagi kita, kesepakatan itu juga bisa menjadi jembatan emas menuju kebangkitan ekonomi baru.

  • Aura Dika

    15/7/2025 05:00

    TUBUHNYA kecil, tapi berdiri gagah seperti panglima perang yang memimpin pasukan dari ujung perahu yang melaju kencang di atas sungai.

  • Gibran Tuju Papua Damai

    14/7/2025 05:00

    KESIGAPAN Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka patut diacungi dua jempol. Ia menyatakan kesiapannya untuk berkantor di Papua sesuai dengan instruksi Presiden Prabowo Subianto.  

  • Negosiasi Vietnam

    12/7/2025 05:00

    DIPLOMASI itu bukan cuma soal politik. Pun, diplomasi atau negosiasi dagang tidak melulu ihwal ekonomi. Diplomasi dan negosiasi juga soal sejarah, kebudayaan, dan bahkan seni.

  • Akhirnya Komisaris

    11/7/2025 05:00

    PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.

  • Tiga Musuh Bansos

    10/7/2025 05:00

    BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.

  • Senjata Majal Investasi

    09/7/2025 05:00

    ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.

  • Beban Prabowo

    08/7/2025 05:00

    Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.

  • Senja Kala Peran Manusia

    07/7/2025 05:00

    SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.

  • Dokter Marwan

    05/7/2025 05:00

    "DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."  

  • Dilahap Korupsi

    04/7/2025 05:00

    MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.

  • Museum Koruptor

    03/7/2025 05:00

    “NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”

  • Deindustrialisasi Dini

    02/7/2025 05:00

    Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.

  • Menanti Bobby

    01/7/2025 05:00

    WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.

  • Cakar-cakaran Anak Buah Presiden

    30/6/2025 05:00

    VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.