Headline

Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.

Bersaing Minus Daya Saing

21/6/2025 05:00
Bersaing Minus Daya Saing
Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)

BAPAK pendiri Singapura, Lee Kuan Yew, punya resep tentang bagaimana menguatkan negeri kecil berjarak hanya 'sepelemparan batu' dari Batam itu sehingga menjadi negara hebat seperti sekarang. Intinya Lee memperkuat daya saing manusia Singapura. Itu karena memang 'cuma' kekuatan manusia yang dipunyai negara seluas 640 kilometer persegi itu.

Lee sempat cemas. Namun, ia tak mau larut dalam kegalauan. Rasa waswas itu berpangkal dari pandangan banyak analis bahwa sepeninggal Inggris yang telah lebih dari 140 tahun menguasainya Singapura diyakini tak akan mampu hidup mandiri. Selain luas wilayah terlalu kecil, sumber daya alam pun nyaris nihil. Bergabung dengan negara federal Malaysia pada September 1963 pun lantas menjadi solusi terbaik.

Lee beserta para sohibnya di partai berharap keputusan itu dapat memangkas pengangguran, mendapat sokongan sumber daya alam dari bumi Malaysia, serta membantu memblokade pengaruh komunis. Namun, untung tak dapat diraih malang tak sanggup ditolak. Ternyata upaya merger kedua bangsa itu hanya bertahan dua tahun akibat perbedaan ideologi dan buruknya hubungan partai yang berkuasa di Malaysia, UMNO (United Malays National Organisation) dan People’s Action Party yang dibentuk Lee pada 1954.

“Bagi saya, ini adalah momen yang pedih. Semula saya berkeyakinan penyatuan antara Singapura dan Malaysia merupakan jalan terbaik. Tapi hari ini saya harus menyatakan bahwa Singapura menjadi negara berdaulat yang mandiri,” kata Lee pada 9 Agustus 1965.

Saat Malaysia menjatuhkan talak, Lee mengaku dirinya sempat cemas. Namun, dia tak menampakkannya. 'Tugas saya memberikan harapan kepada rakyat, bukan melunturkan semangat mereka', tulisnya dalam memoar From Third World To First, The Singapore Story: 1965-2000.

Sadar bahwa kekayaan yang dimiliki 'cuma' manusia, Lee membujuk parlemen untuk menginvestasikan anggaran negara lebih besar bagi pendidikan. Reputasi institusi pendidikan dengan akreditasi internasional memberikan kredibilitas pada tenaga kerja Singapura dan menarik bagi perusahaan asing untuk merekrut.

Keyakinan Bapak Singapura itu pun benar belaka. Arus masuk investasi luar negeri yang sangat deras membuat Singapura mampu mengatasi masalah ekonomi dan pengangguran dalam kurun sangat cepat. Economist Intelligence Unit dalam indeks kualitas hidup menempatkan Singapura pada peringkat satu kualitas hidup terbaik di Asia dan kesebelas di dunia. Singapura memiliki cadangan devisa terbesar kesembilan di dunia.

Lahir dari sebuah kecemasan, lalu tumbuh dengan penuh keyakinan, Singapura pun pernah mendapatkan gelar negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia. Itu terjadi bahkan sebelum usia negara itu setengah abad. Ketika itu, dengan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) 17,9% pada pertengahan pertama 2010, Singapura amat sangat melesat. Daya saingnya dahsyat.

Sudah sejak hampir dua dekade terakhir daya saing Singapura masuk tiga besar dunia. Bahkan, sejak 2019 hingga tahun lalu, Singapura selalu berada di nomor satu dalam hal daya saing, menggeser Amerika Serikat. Hanya, tahun ini, daya saing 'Negeri Singa' itu turun ke posisi kedua. Konsistensi itu menandakan betapa kuat dan inklusifnya perekonomian Singapura sejak merdeka pada 1965 lalu.

Tentu saja saya iri. Kendati tidak sepadan jika dibandingkan dengan Singapura, Indonesia harusnya bisa melesat tidak jauh berbeda dengan negara tetangga itu. Luas Indonesia 3.000 kali lipat Singapura. Kita juga duluan merdeka, dua dekade lebih dulu malah. Jumlah penduduk kita 47 kali lipat penduduk Singapura. Namun, maaf, daya saing kita bak langit dan bumi jika dibandingkan dengan Singapura.

Apalagi peringkat daya saing Indonesia merosot tajam 13 peringkat tahun ini ke peringkat 40 dari total 69 negara dunia. Padahal, dalam tiga tahun terakhir, Indonesia berhasil terus memperbaiki posisi daya saing: dari peringkat 44 pada 2022 naik ke peringkat 34 pada 2023 hingga akhirnya ada di posisi 27 pada 2024.

Riset World Competitiveness Ranking (WCR) 2025 yang diumumkan oleh IMD World Competitiveness Center (WCC) menyebutkan kenaikan daya saing Indonesia dalam tiga tahun terakhir didongkrak oleh nilai ekspor migas dan komoditas. Namun, kini peringkat daya saing Indonesia anjlok imbas dari perang tarif yang ditujukan ke kawasan Asia Tenggara.

Dari sisi internal, merosotnya daya saing terjadi karena masalah ekonomi dan naiknya angka pengangguran. Berdasarkan survei, 66,1% eksekutif Indonesia menganggap kurangnya peluang ekonomi menjadi pendorong polarisasi. Masalah ekonomi mendasar seperti infrastruktur yang tidak memadai, lembaga yang lemah, dan keterbatasan talenta sumber daya manusia menjadi faktor pemberat sehingga daya saing kita rontok.

Pembangunan yang dilakukan di negeri ini dianggap tidak inklusif. Akibatnya, muncul ketimpangan struktural, angka pengangguran yang tinggi, dan pembangunan yang tidak merata. Minimnya penciptaan lapangan kerja baru membuat publik frustrasi karena mempersulit mereka untuk naik kelas.

Untuk mengatasi hal itu, pas kiranya kita mendengar saran dari Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia yang menjadi mitra WCC dalam penelitian ini. Lembaga itu menyarankan perlunya pemerintah mengembangkan tenaga kerja produktif yang mampu meningkatkan daya saing ekonomi.

Indonesia juga perlu melakukan integrasi strategi dari hulu ke hilir. Sebab, kebijakan pemerintah menjadi pendukung daya saing jangka panjang. Berdasarkan data WCR 2025, Indonesia memang cukup tertinggal dalam urusan pendidikan (yakni di posisi 62 dari 69 negara), kesehatan dan lingkungan (posisi 63), serta kerangka institusional pemerintah yang efektif (peringkat 51).

Hal-hal itulah yang konsisten dijalankan Singapura sejak dipimpin oleh Lee Kuan Yew hingga kini dipimpin Lawrence Wong. Mereka memperhatikan manusia dengan segala kebutuhannya: ya kesehatannya, pendidikannya, kompetensinya, juga kapasitasnya. Memang, mengurus 6 juta orang di pulau seluas 640 ribu km2 jelas berbeda dengan mengurus 285 juta orang di negeri seluas 1,9 juta km2 ini. Namun, masak ya, kita selalu menjadikan hal itu sebagai alasan kemandekan daya saing?

 

 



Berita Lainnya
  • Maaf

    14/8/2025 05:00

    KATA maaf jadi jualan dalam beberapa waktu belakangan. Ia diucapkan banyak pejabat dan bekas pejabat dengan beragam alasan dan tujuan.

  • Maksud Baik untuk Siapa?

    13/8/2025 05:00

    ADA pejabat yang meremehkan komunikasi. Karena itu, tindakan komunikasinya pun sembarangan, bahkan ada yang menganggap asal niatnya baik, hasilnya akan baik.

  • Ambalat dalam Sekam

    12/8/2025 05:00

    BERBICARA penuh semangat, menggebu-gebu, Presiden Prabowo Subianto menegaskan akan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

  • Blokir Rekening di Ujung Lidah

    11/8/2025 05:00

    KEGUNDAHAN Ustaz Das’ad Latif bisa dipahami. Ia gundah karena rekeningnya diblokir.

  • Resonansi dari Pati

    09/8/2025 05:00

    Pemimpin dianggap berhasil bila ia mampu memainkan peran sebagai pelayan bagi rakyat.

  • Semakin Dilarang semakin Berkibar

    08/8/2025 05:00

    FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.

  • Menerungku Silfester

    07/8/2025 05:00

    KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.

  • Harapan dalam Angka

    06/8/2025 05:00

    PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future 

  • Ampun Dah

    05/8/2025 05:00

    USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.

  • Amnesti tanpa Amnesia

    04/8/2025 05:00

    BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.  

  • Abolisi, Amnesti, Rekonsiliasi

    02/8/2025 05:00

    PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.

  • Belajar dari Vietnam

    01/8/2025 05:00

    KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,

  • Insinuasi Jokowi

    31/7/2025 05:00

    ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.

  • Masih Rojali-Rohana

    30/7/2025 05:00

    TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.

  • Gurita Serakahnomics

    29/7/2025 05:00

    FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.

  • Destinasi Wisata Proyek Mangkrak

    28/7/2025 05:00

    JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.