Headline
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
SAYA termasuk orang yang suka mendengar berita baik. Setiap datang good news di tengah belantara bad news, saya merasakannya seperti oase di tengah padang gersang. Namun, saya juga tipe orang yang agak ragu-ragu bila ada pihak yang mempertanyakan datangnya good news itu dengan kalimat, "Coba cek lagi, jangan-jangan bukan begitu keadaan yang sebenarnya."
Itu termasuk ketika Menteri Keuangan Sri Mulyani membawa kabar baik dengan memaparkan bahwa kinerja APBN mencatatkan surplus Rp4,3 triliun pada akhir April 2025. Padahal, di tiga bulan sebelumnya, APBN tekor, selalu defisit karena pendapatan pajak anjlok, perdagangan juga sedang tidak baik-baik saja. Kabar APBN surplus di tengah realitas tiga bulan sebelumnya yang selalu defisit, jelas berita baik.
Namun, saya agak terganggu dengan pernyataan Bu Menkeu ihwal alasan mengapa, kok, tiba-tiba anggaran negara bisa surplus. Kata Bu Sri, itu terjadi karena akselerasi pendapatan negara, terutama penerimaan dari pajak dan bea cukai, telah mengikuti 'ritme akselerasi' yang cukup baik, bahkan 'melampaui realisasi belanja negara'.
Secara lengkap, ia memaparkan bahwa pendapatan negara per 30 April 2025 telah mencapai Rp810,5 triliun atau 27% dari target APBN tahun ini. Sementara itu, belanja negara telah direalisasikan sebanyak Rp806,2 triliun atau 22,3% dari pagu anggaran. Dengan demikian, APBN mengalami surplus anggaran sebanyak Rp4,3 triliun atau 0,02% dari produk domestik bruto (PDB).
Pendapatan negara antara lain disokong penerimaan pajak sebanyak Rp557,1 triliun, penerimaan kepabeanan dan cukai sebesar Rp100,0 triliun, serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang mencapai Rp153,3 triliun. “Di sini terlihat bahwa sudah terjadi akselerasi dari pendapatan negara, terutama untuk pajak bea cukai mengikuti ritme yang cukup baik,” ujar Menteri Keuangan dalam konferensi pers APBN Kita yang digelar akhir pekan lalu.
Di sisi lain, pemerintah telah membelanjakan Rp806,2 triliun, yang berarti 22,3% dari total belanja negara di 2025 yang sebesar Rp3.621,3 triliun. Belanja tersebut terdiri dari belanja pemerintah pusat sebanyak Rp546,8 triliun serta transfer ke daerah sebesar Rp259,4 triliun. Dilihat dari persentasenya terhadap total pagu, belanja pemerintah pusat masih berada pada kisaran 20%. “Maka kita lihat kecepatan dari pendapatan negara sudah mendahului dari sisi kecepatan untuk belanja negara,” jelas Sri Mulyani.
Dengan capaian pendapatan negara tersebut, postur APBN di akhir April mulai mencatatkan surplus sebanyak Rp4,3 triliun. Hal itu cukup berbeda jika dibandingkan dengan situasi pada tiga bulan pertama 2025. Januari hingga Maret waktu itu anggaran negara membukukan defisit, terutama akibat penerimaan pajak yang mengalami beberapa shock, seperti restitusi dan adanya adjustment terhadap penghitungan tarif efektif. Dengan demikian, pada April terjadi pembalikan dari yang tadinya tiga bulan berturut-turut defisit.
Keraguan saya tertuju pada klausa 'kecepatan pendapatan negara mendahului kecepatan belanja negara'. Saya ragu karena memang bukankah belanja negara sedang diredam? Bukankah efisiensi berakibat banyak institusi pemerintah mengerem belanja? Karena itu, wajar bila anggaran negara surplus. Sudah hukum alam kalau yang satu mengerem, sedangkan satu tetap melaju (walau tanpa ngegas), yang ngerem pasti bakal tersalip.
Jadi, jangan salahkan kalau ada pihak-pihak yang berpendapat bahwa surplus semacam itu bukan pencapaian yang membanggakan. Ketika belanja baru di kisaran 20% alias seperlima dari target, padahal putaran waktu pada 2025 sudah mencapai sepertiga, itu artinya urusan rem-mengerem masih terjadi. Pada titik itu, sulit kiranya kita meyakinkan publik bahwa surplus pada April itu sebagai prestasi yang layak dibanggakan.
Keraguan itu kian bertambah setelah muncul analisis yang menyebutkan ada watak menggenjot pendapatan, khususnya pajak, secara gaspol bila muncul 'badai' kritik ihwal pendapatan pajak yang merosot. Juga, muncul kritik bahwa rasio perpajakan kita seolah berhenti di kisaran 10% hingga 11% dalam satu dekade karena sistem yang tambal sulam.
Intinya, kritik itu menyebutkan bahwa bisa saja tiba-tiba pendapatan pajak naik saat dipersoalkan. Begitu suasana tenang, upaya mengejar pendapatan pajak dan memperbaiki sistem perpajakan kembali ke 'setelan pabrik'. Akan tetapi, itu baru dugaan, belum hipotesis. Namun, boleh jadi dugaan awal itu beranjak menjadi hipotesis bila dari waktu ke waktu model penerimaan pajak kita begini-begini saja.
Saya ingin mengutip pendapat Wakil Menkeu Suahasil Nazara yang menyebut anggaran negara mesti menggunakan pendekatan kebijakan fiskal yang lebih fleksibel, akuntabel, dan efisien. Dengan begitu, APBN 2025 diyakini akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi serta meningkatkan kesejahteraan rakyat. Apalagi, APBN itu kira-kira 15% dari total PDB kita.
Saya memang baru sampai tahap meragukan, belum di level 'tidak percaya'. Ibarat makan gado-gado pakai cabai, level cabainya masih tiga, belum sebelas. Karena itu, biar lebih jelas kemampuan fiskal kita dalam menggenjot pendapatan berada di jalur yang prima, adulah dua jalur itu (pendapatan dan pembelanjaan) di trek yang sama, dengan prinsip 'injak gas' yang setara pula.
KATA maaf jadi jualan dalam beberapa waktu belakangan. Ia diucapkan banyak pejabat dan bekas pejabat dengan beragam alasan dan tujuan.
ADA pejabat yang meremehkan komunikasi. Karena itu, tindakan komunikasinya pun sembarangan, bahkan ada yang menganggap asal niatnya baik, hasilnya akan baik.
BERBICARA penuh semangat, menggebu-gebu, Presiden Prabowo Subianto menegaskan akan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
KEGUNDAHAN Ustaz Das’ad Latif bisa dipahami. Ia gundah karena rekeningnya diblokir.
Pemimpin dianggap berhasil bila ia mampu memainkan peran sebagai pelayan bagi rakyat.
FENOMENA bendera Jolly Roger yang diambil dari anime One Piece sungguh menarik dan kiranya layak dijadikan kajian.
KATANYA di negeri ini setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum.
PEOPLE use all available information to form rational expectations about the future
USIA 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia sebentar lagi kita rayakan. Sebagian besar rakyat Indonesia menyambutnya dengan sukacita.
BISIK-BISIK tentang orang kuat di pasar gelap peradilan semakin santer.
PENGUASA juga manusia. Karena itu, watak kemanusiaan akan muncul seiring dengan berjalannya waktu.
KEKALAHAN tim nasional U-23 dari Vietnam pada laga final Piala AFF U-23 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta,
ENGKAU yang berinsinuasi, engkau yang sibuk mengklarifikasi. Kau yang melempar tuduhan, kau pula yang repot melakukan bantahan.
TULISAN saya di rubrik Podium edisi Sabtu, 26 Juli 2025, berjudul Rojali-Rohana, memantik sejumlah tanya dari beberapa kawan dan kerabat.
FENOMENA keserakahan dalam menjarah sumber daya ekonomi atau hajat hidup orang banyak sebenarnya bukan perkara baru di Tanah Air.
JIKA melintasi Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, hingga Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, Anda akan menemukan tiang beton. Terdapat 90 tiang beton yang dibangun sejak 2004.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved