Headline
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.
SAYA termasuk orang yang suka mendengar berita baik. Setiap datang good news di tengah belantara bad news, saya merasakannya seperti oase di tengah padang gersang. Namun, saya juga tipe orang yang agak ragu-ragu bila ada pihak yang mempertanyakan datangnya good news itu dengan kalimat, "Coba cek lagi, jangan-jangan bukan begitu keadaan yang sebenarnya."
Itu termasuk ketika Menteri Keuangan Sri Mulyani membawa kabar baik dengan memaparkan bahwa kinerja APBN mencatatkan surplus Rp4,3 triliun pada akhir April 2025. Padahal, di tiga bulan sebelumnya, APBN tekor, selalu defisit karena pendapatan pajak anjlok, perdagangan juga sedang tidak baik-baik saja. Kabar APBN surplus di tengah realitas tiga bulan sebelumnya yang selalu defisit, jelas berita baik.
Namun, saya agak terganggu dengan pernyataan Bu Menkeu ihwal alasan mengapa, kok, tiba-tiba anggaran negara bisa surplus. Kata Bu Sri, itu terjadi karena akselerasi pendapatan negara, terutama penerimaan dari pajak dan bea cukai, telah mengikuti 'ritme akselerasi' yang cukup baik, bahkan 'melampaui realisasi belanja negara'.
Secara lengkap, ia memaparkan bahwa pendapatan negara per 30 April 2025 telah mencapai Rp810,5 triliun atau 27% dari target APBN tahun ini. Sementara itu, belanja negara telah direalisasikan sebanyak Rp806,2 triliun atau 22,3% dari pagu anggaran. Dengan demikian, APBN mengalami surplus anggaran sebanyak Rp4,3 triliun atau 0,02% dari produk domestik bruto (PDB).
Pendapatan negara antara lain disokong penerimaan pajak sebanyak Rp557,1 triliun, penerimaan kepabeanan dan cukai sebesar Rp100,0 triliun, serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang mencapai Rp153,3 triliun. “Di sini terlihat bahwa sudah terjadi akselerasi dari pendapatan negara, terutama untuk pajak bea cukai mengikuti ritme yang cukup baik,” ujar Menteri Keuangan dalam konferensi pers APBN Kita yang digelar akhir pekan lalu.
Di sisi lain, pemerintah telah membelanjakan Rp806,2 triliun, yang berarti 22,3% dari total belanja negara di 2025 yang sebesar Rp3.621,3 triliun. Belanja tersebut terdiri dari belanja pemerintah pusat sebanyak Rp546,8 triliun serta transfer ke daerah sebesar Rp259,4 triliun. Dilihat dari persentasenya terhadap total pagu, belanja pemerintah pusat masih berada pada kisaran 20%. “Maka kita lihat kecepatan dari pendapatan negara sudah mendahului dari sisi kecepatan untuk belanja negara,” jelas Sri Mulyani.
Dengan capaian pendapatan negara tersebut, postur APBN di akhir April mulai mencatatkan surplus sebanyak Rp4,3 triliun. Hal itu cukup berbeda jika dibandingkan dengan situasi pada tiga bulan pertama 2025. Januari hingga Maret waktu itu anggaran negara membukukan defisit, terutama akibat penerimaan pajak yang mengalami beberapa shock, seperti restitusi dan adanya adjustment terhadap penghitungan tarif efektif. Dengan demikian, pada April terjadi pembalikan dari yang tadinya tiga bulan berturut-turut defisit.
Keraguan saya tertuju pada klausa 'kecepatan pendapatan negara mendahului kecepatan belanja negara'. Saya ragu karena memang bukankah belanja negara sedang diredam? Bukankah efisiensi berakibat banyak institusi pemerintah mengerem belanja? Karena itu, wajar bila anggaran negara surplus. Sudah hukum alam kalau yang satu mengerem, sedangkan satu tetap melaju (walau tanpa ngegas), yang ngerem pasti bakal tersalip.
Jadi, jangan salahkan kalau ada pihak-pihak yang berpendapat bahwa surplus semacam itu bukan pencapaian yang membanggakan. Ketika belanja baru di kisaran 20% alias seperlima dari target, padahal putaran waktu pada 2025 sudah mencapai sepertiga, itu artinya urusan rem-mengerem masih terjadi. Pada titik itu, sulit kiranya kita meyakinkan publik bahwa surplus pada April itu sebagai prestasi yang layak dibanggakan.
Keraguan itu kian bertambah setelah muncul analisis yang menyebutkan ada watak menggenjot pendapatan, khususnya pajak, secara gaspol bila muncul 'badai' kritik ihwal pendapatan pajak yang merosot. Juga, muncul kritik bahwa rasio perpajakan kita seolah berhenti di kisaran 10% hingga 11% dalam satu dekade karena sistem yang tambal sulam.
Intinya, kritik itu menyebutkan bahwa bisa saja tiba-tiba pendapatan pajak naik saat dipersoalkan. Begitu suasana tenang, upaya mengejar pendapatan pajak dan memperbaiki sistem perpajakan kembali ke 'setelan pabrik'. Akan tetapi, itu baru dugaan, belum hipotesis. Namun, boleh jadi dugaan awal itu beranjak menjadi hipotesis bila dari waktu ke waktu model penerimaan pajak kita begini-begini saja.
Saya ingin mengutip pendapat Wakil Menkeu Suahasil Nazara yang menyebut anggaran negara mesti menggunakan pendekatan kebijakan fiskal yang lebih fleksibel, akuntabel, dan efisien. Dengan begitu, APBN 2025 diyakini akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi serta meningkatkan kesejahteraan rakyat. Apalagi, APBN itu kira-kira 15% dari total PDB kita.
Saya memang baru sampai tahap meragukan, belum di level 'tidak percaya'. Ibarat makan gado-gado pakai cabai, level cabainya masih tiga, belum sebelas. Karena itu, biar lebih jelas kemampuan fiskal kita dalam menggenjot pendapatan berada di jalur yang prima, adulah dua jalur itu (pendapatan dan pembelanjaan) di trek yang sama, dengan prinsip 'injak gas' yang setara pula.
'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.
VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.
BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima
IBARAT bunga layu sebelum berkembang, itulah sikap Rektor Universitas Gadjah Mada 2002-2007 Profesor Sofian Effendi terkait dengan dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.
ANDAI pemohon tidak meninggal dunia, kontroversi soal boleh-tidak wakil menteri (wamen) merangkap jabatan komisaris, termasuk merangkap pendapatan, bisa segera diakhiri.
MANA yang benar: keputusan Amerika Serikat (AS) mengurangi tarif pajak resiprokal kepada Indonesia dengan sejumlah syarat merupakan keberhasilan atau petaka?
PAK Jokowi, sapaan populer Joko Widodo, tampaknya memang selalu akrab dengan 'agenda besar'.
SANG fajar belum juga merekah sepenuhnya ketika ratusan orang memadati pelataran salah satu toko ritel di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (14/7).
Bagi kita, kesepakatan itu juga bisa menjadi jembatan emas menuju kebangkitan ekonomi baru.
TUBUHNYA kecil, tapi berdiri gagah seperti panglima perang yang memimpin pasukan dari ujung perahu yang melaju kencang di atas sungai.
KESIGAPAN Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka patut diacungi dua jempol. Ia menyatakan kesiapannya untuk berkantor di Papua sesuai dengan instruksi Presiden Prabowo Subianto.
DIPLOMASI itu bukan cuma soal politik. Pun, diplomasi atau negosiasi dagang tidak melulu ihwal ekonomi. Diplomasi dan negosiasi juga soal sejarah, kebudayaan, dan bahkan seni.
PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.
ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.
Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved