Headline
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.
"LIBUR telah tiba. Hore!" Pasti akan seperti itu reaksi orang, terutama anak sekolah, ketika mendengar kata libur. Yang muncul ialah rasa lega, sukacita, dan gembira. Mengapa? Karena hanya pada saat liburlah kita tidak dituntut untuk seratus persen produktif. Menurut ahli, libur ialah saat seseorang bisa menemukan keseimbangan antara relaksasi dan produktivitas.
Libur memang asyik. Semakin banyak libur, semakin asyik. Karena itu, bersyukurlah para pecinta libur yang hidup di Indonesia. Fenomena yang terjadi di sini, mungkin dalam satu dekade terakhir, jumlah hari libur yang ditetapkan pemerintah banyak dan berderet.
Selain hari libur nasional yang ditandai dengan tanggal warna merah di kalender, ada pula 'jenis' hari libur baru yang kesannya 'diada-adakan'. Namanya cuti bersama. Itu adalah hari libur tambahan yang diselipkan menyertai hari libur nasional. Statusnya enggak terlalu jelas, abu-abu. Libur, tapi bukan. Tanggal merah bukan, tapi libur.
Tahun ini saja, misalnya, selain 17 hari libur nasional yang ditetapkan pemerintah, ada pula 10 hari cuti bersama. 'Perintah' soal cuti bersama juga resmi dari pemerintah, diteken tiga menteri dalam selembar surat keputusan bersama (SKB). Jadi total sepanjang 2025 terdapat 27 hari libur di luar libur akhir pekan.
Contoh saja, saat tulisan ini ditayangkan, hari ini, Jumat (30/5) juga merupakan cuti bersama yang diagendakan sebagai penambah libur lantaran posisi harinya yang 'kejepit' antara libur nasional Hari Kenaikan Yesus Kristus (Kamis, 29/5) dan libur akhir pekan. Jadilah, pekan ini liburnya menjadi empat hari berurutan.
Dengan adanya beberapa hari libur nasional yang digandengkan dengan cuti bersama, tersaji banyak hari libur yang periodenya cukup panjang. Minimal berderet selama tiga hari, paling banyak tujuh hari. Jadi, tak perlu menunggu liburan kenaikan kelas atau semesteran bagi anak sekolah, atau cuti tahunan buat para pekerja, mereka sudah bisa menikmati libur lumayan panjang. Istilah populernya long weekend.
Niat pemerintah mengadakan hari cuti bersama memang itu. Hari libur model long weekend yang banyak diharapkan akan menggerakkan orang untuk pergi berlibur. Pada gilirannya aktivitas dan belanja konsumsi masyarakat selama berlibur itu akan menggairahkan bisnis pariwisata, industri kreatif, dan terutama perhotelan yang belakangan ini memang tengah merana.
Mimpinya tak berhenti di situ. Peningkatan aktivitas wisata dan okupansi hotel diharapkan pula bakal berdampak pada sektor lain, seperti transportasi, restoran, ritel, termasuk toko oleh-oleh. Rantai ekonomi yang positif tercipta, perekonomian daerah pun diyakini akan terangkat.
Namun, mengasyikkan buat satu-dua pihak, belum tentu menyenangkan bagi pihak lain. Respons berbeda akan muncul ketika kita tanyakan soal banyaknya hari libur itu ke pelaku usaha atau pebisnis, utamanya yang bergerak di sektor produksi.
Sebagian besar dari mereka, kalau bisa dan kalau boleh, pasti akan menolak kebijakan pemerintah terkait dengan libur nasional yang dalam beberapa tahun ini dinilai sudah terlalu banyak. Bukan isapan jempol bahwa jumlah hari libur yang terlalu banyak akan berdampak negatif pada produktivitas kerja di sektor industri dan bisnis.
Barangkali, kalau cuma libur nasionalnya yang berjibun, mereka masih bisa toleransi. Bagaimanapun, dengan banyaknya agama dan keyakinan yang diakui di Indonesia, mau tidak mau, kebijakan penentuan libur nasional pemerintah juga mesti akomodatif. Di negara lain pun seperti itu, hari libur nasional diadakan salah satunya sebagai penghormatan dari negara untuk warga mereka supaya bisa merayakan hari besar keagamaan secara khidmat.
Akan tetapi, penambahan libur cuti bersama hingga 10 hari itulah yang mungkin membuat para pengusaha itu pening. Bagi sektor industri dan bisnis, 'kehilangan' sebanyak 27 hari selama setahun itu tentu memberatkan. Mereka yang di satu sisi didesak untuk menggeber produktivitas, di lain sisi malah terkesan dipaksa untuk bekerja 'santuy' lantaran banyaknya hari libur.
Sejumlah ekonom bahkan meyakini jumlah libur yang berlebihan dalam setahun juga dapat berpengaruh pada sektor investasi. Di mana-mana investor pasti akan mencari negara atau daerah yang produktivitasnya tinggi. Manpower yang murah memang bisa menjadi daya tarik, tapi kalau produktivitasnya rendah, ya, sama juga bohong. Investor pasti akan berpikir ulang sebelum mau menanamkan modal mereka.
Boleh jadi alasan kita kalah bersaing dengan Vietnam dan beberapa negara ASEAN lain dalam menggaet investasi asing salah satunya gara-gara persoalan hari libur itu. Coba kita bandingkan, ketika jumlah hari libur nasional di Indonesia tahun ini sampai 27 hari, di Vietnam cuma 18 hari. Malaysia dan Myanmar sama, 17 hari. Filipina juga hanya 19 hari. Thailand dan Kamboja 22 hari. Lantas produktivitas macam apa yang bisa kita tawarkan kepada investor?
Kiranya untuk tahun-tahun depan pemerintah perlu mempertimbangkan lagi soal penentuan jumlah libur tahunan itu. Yang pasti, jumlah hari libur nasional sebanyak 17 hari sudah cukup moderat. Kalaupun mau ditambah dengan cuti bersama, ya secukupnya saja, tak perlu juga sampai 10 hari.
Itu penting agar roda ekonomi dapat bergerak seimbang di setiap bagiannya. Jangan keasyikan pemerintah menambah hari libur justru jadi bumerang, bisa-bisa buntutnya malah menambah jumlah orang menganggur.
'Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan'.
VONIS untuk Thomas Trikasih Lembong dalam kasus korupsi importasi gula disikapi secara berbeda.
BANYAK yang bangga dengan Sahdan Arya Maulana, termasuk saya. Di usianya yang masih amat muda, 19, ia berani menolak pemberian uang yang bagi dia kurang pas untuk diterima
IBARAT bunga layu sebelum berkembang, itulah sikap Rektor Universitas Gadjah Mada 2002-2007 Profesor Sofian Effendi terkait dengan dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.
ANDAI pemohon tidak meninggal dunia, kontroversi soal boleh-tidak wakil menteri (wamen) merangkap jabatan komisaris, termasuk merangkap pendapatan, bisa segera diakhiri.
MANA yang benar: keputusan Amerika Serikat (AS) mengurangi tarif pajak resiprokal kepada Indonesia dengan sejumlah syarat merupakan keberhasilan atau petaka?
PAK Jokowi, sapaan populer Joko Widodo, tampaknya memang selalu akrab dengan 'agenda besar'.
SANG fajar belum juga merekah sepenuhnya ketika ratusan orang memadati pelataran salah satu toko ritel di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (14/7).
Bagi kita, kesepakatan itu juga bisa menjadi jembatan emas menuju kebangkitan ekonomi baru.
TUBUHNYA kecil, tapi berdiri gagah seperti panglima perang yang memimpin pasukan dari ujung perahu yang melaju kencang di atas sungai.
KESIGAPAN Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka patut diacungi dua jempol. Ia menyatakan kesiapannya untuk berkantor di Papua sesuai dengan instruksi Presiden Prabowo Subianto.
DIPLOMASI itu bukan cuma soal politik. Pun, diplomasi atau negosiasi dagang tidak melulu ihwal ekonomi. Diplomasi dan negosiasi juga soal sejarah, kebudayaan, dan bahkan seni.
PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.
ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.
Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved